Selera Seni Berimplikasi Politik

KORAN SINDO/ AHMAD RIDWAN

Pilihan lukisan yang dipilih oleh para pemimpin politik bukan selera dan rasa semata.

Namun, koleksi karya seni juga merefleksikan politik yang dipilihnya. Selera itu juga memengaruhi kebijakan dalam bidang seni. Saat Barack Obama merebut Gedung Putih, dia bukan hanya mengubah banyak kebijakan pemerintahan pendahulunya, seperti perawatan kesehatan, regulasi finansial, hingga lingkungan.

Dia juga ternyata mengubah koleksi seni Gedung Putih. Gedung Putih yang sebelumnya dikenal dengan lukisan tentang kehidupan dan alam, Obama mengubahnya dengan lukisan yang abstrak dan kontemporer.

Pilihan lukisan juga memiliki implikasi politik, bukan sekadar selera. Lihat saja ketika mantan Presiden Bill Clinton memilih Simmie Knox, seniman Afro-Amerika dari Alabama yang dikenal dengan lukisan potret.

Kemudian, pemerintahan George W Bush lebih memilih lukisan ”The Builders,” karya seni dari Jacob Lawrence, seniman kulit hitam. Meskipun, lukisan itu dikritik karena menggambarkan pria kulit hitam yang bekerja kasar.

Lukisan yang dipilih Obama adalah tujuh karya seni yang dipinjam dari Museum Hirshhorn dan Sculpture Garden di Washington termasuk ”Sky Light” dan ”Watusi (Hard Edge),” lukisan abstrak karya seniman tak terkenal kulit hitam Alma Thomas beraliran abstrak.

Para kolektor mengatakan, nilai pasar seniman yang dipilih Obama akan naik. ”Diskusi Presiden Obama dan Michelle menunjukkan mereka suka dengan seni yang abstrak,” kata William Allman, kurator seni Gedung Putih, dilansir New York Times.

”Koleksi Gedung Putih sebelumnya tidak memiliki lukisan abstrak,” paparnya. Bill Kloss, sejarawan seni, mengungkapkan bahwa meski selera seni Obama mengarah ke modern dan kontemporer, ternyata dia tetap mempertahankan formalitas.

Di beberapa ruangan Gedung Putih, Obama tetap mempertahankan lukisan kuno dan patriotik. Kemudian, Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi merupakan pemimpin yang memiliki nilai seni yang tinggi.

Dia bahkan sering memberikan hadiah berupa lukisan atau karya seni lainnya ketika bertemu dengan tokoh atau pemimpin dunia. Tak segan-segan Modi juga kerap membawa oleh-oleh berupa lukisan untuk diberikan kepada orang-orang yang bertamu kepadanya atau orang yang akan dikunjunginya di luar negeri.

April 2015 lalu, saat berkunjung ke Jerman, Modi memberikan hadiah berupa lukisan Madhubani-lukisan yang dilukis dengan jari-kepada Walikota Hannover Steven Schostok. Lukisan itu dilukis di atas kanvas oleh seniman ternama India bernama Baua Devi.

Karya seni itu bercerita tentang tahapan bervariasi kehidupan yang berasosiasi dengan alam. Gaya lukisan Madhubani merupakan salah satu karya seni yang disukai Modi.

Itu merupakan lukisan yang mengacu kepada seni pedesaan yang dikembangkan para perempuan dari Mithila, Negara Bagian Bihar, India. Lukisan itu dibuat dengan jari dengan pola geometris.

Sebagian besar lukisan Madhubani menggambarkan seorang pria yang diasosiasikan dengan alam. Lukisan itu jua kerap menggambarkan festival. Selain kerap memberikan hadiah lukisan, Modi juga kerap menerima barang seni dari siapa pun, termasuk warga asing.

Dua seniman asal China memberikan karya seni mereka kepada Modi saat dia berkunjung ke Beijing pada Mei 2015. Salah satu seniman itu adalah Tian Dan yang memberikan karikatur Modi bersama Presiden China Xi Jingpin.

Kemudian, Modi juga menerima hadiah berupa gambar panjang dari Profesor Yue Yu, Direktur Institut Seni Keagamaan dari North West University di Xian. Yue juga memberikan buku berjudul” TrueandFree: PortraitsoftheEighteen Arhats in Buddhism” dengan berbagai lukisan yang dibuatnya sendiri.

Dalam pertemuan dengan seniman di Bombay Art Society pada awal tahun ini, Modi mengungkapkan, seni se-harusnya tidak hanya dimiliki dinding rumah orang kaya, tetapi seni harus menjadi kekuatan masyarakat. ”Seni itu lebih baik dibandingkan pidato,” tuturnya dilansir India Times.

Modi juga menyerukan agar karya seni juga beralih ke digital untuk generasi mendatang. Dia menegaskan, seni tidak terikat dengan usia, agama, dan waktu. ”Seni juga seharusnya tidak tergantung dengan dukungan negara, tetapi seni seharusnya dihargai negara,” tegasnya.

Berbeda dengan PM India Modi, Presiden China Xi Jinping justru memiliki kebijakan yang keras terhadap seni. Dia menyarankan kepada para seniman, penulis, dan aktor, karya mereka seharusnya merepresentasikan nilai-nilai sosialis, bukan hanya mementingkan uang semata.

Seniman seharusnya tidak menjadi budak pasar dan menghilangkan diri dalam gelombang ekonomi pasar. ”Karya seni murni seharusnya seperti matahari bersinar dari langit biru dan menyegarkan di musim gugur yang mampu menginspirasi pikiran, menghangatkan hati, memupuk rasa dan membersihkan gaya kerja yang tidak diinginkan,” kata Xi pada Oktober 2014.

China menerapkan kontrol ketat terhadap seni dan budaya sejak 1970. Namun, kini kontrol itu tidak sekuat dulu. ”Karya seni seharusnya menghadirkan patriotisme sebagai tema dan memperkuat sudut pandang sejarah, nasionalisme dan budaya.

Seni juga harus memperkuat kebanggaan sebagai warga China,” katanya dilansir Xinhua. Pidato Xi itu seperti mengulang dan menegaskan pidato Mao Zedong pada 1942 yang terkenal. Saat itu Mao menyatakan, karya sastra dan seni harus berkontribusi terhadap Komunisme.

Berdasarkan laporan terakhir, hampir seperempat pasar seni global dikuasai China. Namun, Xi Jinping masih menjadi pemimpin yang anti kritik. Seniman ternama Inggris, Ai Weiwei, dilarang bepergian keluar negeri karenadiakerapmengkritik Pemerintah China melalui karya seninya sejak 2011 silam. ”China memiliki masyarakat yang mengorbankan hak-hak rakyat dan kebahagiaan untuk mendapatkan keuntungan,” katanya.

Juni 2015, seniman Shanghai Dai Jianyong juga dilaporkan berurusan dengan otoritas China karena memasang foto Presiden Xi Jinping yang memiliki kumis tebal dan mengerutkan wajahnya. Independen menyampaikan, Dai menyebut gambar itu adalah wajah krisan, nama bunga.

Namun, nama itu diambil karena merupakan kata slang di China yang bermakna anus. Seniman ternama itu pun langsung ditangkap karena mendistribusikan foto tersebut melalui Instagram dengan ancaman hukuman mencapai lima tahun jika terbukti bersalah.

Bukan hanya Dai yang pernah membuat meme yang disebar di media sosial. Seniman Ai Weiwei juga pernah menyebarkan meme berjudul ”Leg Gun”. Sementara, Wendy Lin dari kelompok advokasi Chinese Human Rights Defenders (CHRD) mengatakan, otoritas China telah memperbarui upaya mereka untuk memerangi kebebasan sipil.

”Penahanan Dai menunjukkan humor, kebebasan berekspresi juga dalam bahaya,” ujarnya. Kemudian, Theresa May dikabarkan akan mengganti beberapa karya seni yang digantung di Downing Stree - kantor Perdana Menteri ( PM) Inggris.

Dia akan memajang beberapa kutipan pidatonya saat dilantik menjadi pemimpin Inggris. Beberapa lukisan yang diturunkan itu milik Koleksi Seni Pemerintah Inggris. Kutipan yang akan dipasang berupa pernyataannya tentang perlawanan hak-hak istimewa dan memerangi ketidakadilan hukum.

”Perubahan itu dimaksudkan untuk mengingatkan para staf bahwa mereka itu melayani rakyat,” demikian The i melaporkan. Kutipan itu ingin menegaskan pemerintahan May ingin meningkatkan kehidupan warga Inggris. Bahkan, kutipan itu akan diganti setiap tiga atau enam bulan berisi laporan kemajuan pemerintahan.

andika hendra m
http://koran-sindo.com/news.php?r=0&n=11&date=2016-09-26

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Snowden Tuding NSA Retas Internet Hong Kong dan China

Teori Pergeseran Penerjemahan Catford

Bos Gudang Garam Tutup Usia