Momentum ”Shutdown” Bangkok Hilang

BANGKOK– Gerakan ”Shutdown” Bangkok kemarin mulai kehilangan momentum karena jumlah demonstran antipemerintah yang semakin menyusut. Masih efektifkah? Rakyat Thailand sepertinya sudah letih dengan serangkaian demonstrasi yang justru tidak memberikan pencerahan politik. Mereka hanya mendapatkan kebuntuan politik dan situasi politik yang kian keruh. Keinginan para demonstran antipemerintah untuk menggagalkan pemilu 2 Februari mendatang dan menggulingkan pemerintahan sementara Perdana Menteri (PM) Yingluck Shinawatra, diprediksi akan menemui kegagalan. Perjuangan mereka dipatahkan oleh kesolidan pemerintahan PM Yingluck. Sinyal-sinyal resolusi yang mereka perjuangan pun sepertinya sirna dalam hitungan hari mendatang. Menurut Kepala Polisi Nasional Thailand Adul Saengsingkaew, sekitar 7.000 demonstran masih bertahan di jalanan kemarin. Jumlah itu mengalami penurunan dibandingkan sebelumnya yang mencapai 23.000 orang. Penurunan itu disebabkan banyak demonstran yang memilih kembali ke kantor dan bekerja. ”Banyak demonstran yang balik ke selatan atau pulang ke kampung halaman,” ujar Adul dikutip AFP. Apa yang menjadi penyebab kegagalan ”shutdown” Bangkok? Pakar politik luar negeri dari Amerika Serikat (AS), Andrew Marshall, mengungkapkan bahwa para pendukung antipemerintah selalu merepresentasikan dirinya sebagai ”perwakilan rakyat”. Faktanya, mereka justru mewakili kelompok minoritas rakyat Thailand dan memperjuangkan hak-hak minoritas. ”Mereka adalah kalangan menengah ke atas, pengusaha dan penduduk perkotaan. Itu yang menyebabkan Partai Demokrat, partai oposisi, selalu mendapatkan suara yang minim sejak 2001,” papar Marshall dikutip CNN. Ini berbeda dengan pendukung PM Yingluck yang didominasi dari pedesaan dan kota pinggiran. Model demonstrasi antipemerintah juga meniru layaknya model unjuk rasa ala Barat. Nama demonstrasi mereka juga agak populer bertajuk ”Shutdown” Bangkok. Itu sama seperti demonstrasi antikapitalis di AS, ”Occupy Wall Street”. Kesan yang disimpulkan adalah mereka cenderung elite dan tidak merakyat. Padahal, sebagian besar rakyat Thailand hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara itu, pemerintah Thailand kemarin meminta polisi untuk menangkap pemimpin demonstran Suthep Thaugsuban. Deputi Perdana Menteri (PM) Thailand Surapong Tovichakchaikul mengungkapkan sudah menjadi tugas polisi untuk menangkap Suthep, karena dia berusaha melakukan pemberontakan. ”Suthep dikawal 40 pengawal,” ujar Surapong. Sementara itu, Suthep kemarin justru menantang polisi untuk menangkapnya. ”Jika polisi ingin menangkap saya seperti yang diumumkan kepala polisi nasional, silakan saja. Saya siap bertarung,” tutur mantan deputi PM Thailand itu. Mantan politikus senior Partai Demokrat itu menolak kembali berdialog dengan pemerintah yang menginginkan kelanjutan pemilu 2 Februari mendatang. ”Kami tidak akan bernegosiasi ataupun berkompromi. Kami akan bertarung hingga menang,” ujar dia. Adul mengungkapkan bahwa polisi harus menangkap Suthep dan tengah menyiapkan langkah penangkapan untuk membekuk pemimpin demonstrasi antipemerintah itu. ”Proses penangkapan itu akan dilakukan hati-hati dan sabar karena Suthep selalu berada di tengah ribuan demonstran sehingga dikhawatirkan akan memicu kerusuhan,” papar Adul. Perintah penangkapan itu langsung dari Surapong, yang juga menjadi kepala Pusat Administrasi Perdamaian dan Ketertiban (CAPO). Surapong telah memerintahkan polisi untuk menangkap Suthep dan para pemimpin demonstran lainnya. Upaya penangkapan seharusnya dilakukan sebagai pencegahan dari pihak ketiga. andika hendra m http://www.koran-sindo.com/node/359418

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Snowden Tuding NSA Retas Internet Hong Kong dan China

Teori Pergeseran Penerjemahan Catford

Bos Gudang Garam Tutup Usia