Kelas Pekerja Kunci Kemenangan
WASHINGTON – Donald Trump berhasil memenangi Pemilu Presiden Amerika Serikat (AS) berkat dukungan warga kelas pekerja kulit putih.
Kubu Republik mampu merebut simpati kelas pekerja kulit putih yang dikenal sebagai pendukung setia Partai Demokrat dan berhasil menolong Barack Obama pada 2008 dan 2012. Dengan berbagai retorika dan tawaran program Trump, mereka memilih bergabung dengan Republik. Pennsylvania sebagai negara bagian yang dihuni banyak kelas pekerja kulit putih memberikan dukunganbagi Trump. Ohioyang dikenal sebagai basis Demokrat beralih memilih Trump.
Iowa, Wisconsin, Michigan hinggaNew England juga memberikan dukungan bagi Trump. ”Banyak orang meragukan dia (Trump) mampu berlari, tetapi dia bisa berlari. Mereka berpikir dia tidak bisa menanjak pada pemungutan suara, kemudian dia mampu. Mereka mengatakan dia tidak akan menang pada pemilihan pendahuluan, kemudian dia berhasil menang.
Mereka mengatakan dia tidak akan menjadi nomine capres Republik, tetapi dia mendapatkannya,” ungkap Nate Kohn, kolumnis The New York Times. Kemenangan Trump merupakan balas dendam warga pekerja kulit putih yang telah diabaikan selama 40 tahun terakhir. Banyak perusahaan, tambang, toko yang ditutup di komunitas mereka menjadi puncak kekecewaan. Industri baru yang berkembang di kota ternyata tidak mampu menampung kelas pekerja yang termarginalkan.
Frustrasi itu membuat mereka memilih Donald Trump yang banyak berbicara tentang ketakutan ekonomi dan budaya. Pemilu Presiden AS kali ini disebut sebagai ”Brexit ” di AS atau pemberontakan kelas pekerja yang tergusur oleh globalisasi dan perlawanan terhadap kekuatan politik yang mapan di Washington.
Sama seperti Brexit , mayoritas pemilih AS juga menganggap isu ekonomi sebagai hal utama. Maklum, situasi ekonomi pemerintahan Presiden Barack Obama ”tidak baik” selama empat tahun terakhir. Mereka percaya Trump mampu mengelola ekonomi AS lebih baik daripada Hillary Clinton. ”Sungguh bisa dimengerti bagaimana para pekerja itu merasa ditinggalkan,” kata ekonom yang pernah bekerja untuk Wakil Presiden Joe Biden, Jared Bernstein, seperti dilansir The Washington Post.
Pada saat yang bersamaan, negara bagian yang diuntungkan dengan kesejahteraan AS justru menjadi sangat kaya. Mereka adalah kota-kota superstar seperti San Francisco, Boston, dan Washington. Mereka memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pengangguran yang minim. Tapi negara bagian besar itu hanya menguntungkan kelas pekerja yang memiliki ijazah sarjana.
Adapun kelas pekerja tanpa gelar sarjana terus terpinggirkan ke kawasan perdesaan. Faktor lain yang mendukung kemenangan Trump adalah dia ”orang luar” di sistem pemerintahan dan kekuasaan AS. Dia melawan Demokrat. Dia juga melawan para petinggi Partai Republik. Status sebagai ”orang luar” sebenarnya tidak menguntungkan Trump di dalam Partai Republik, tetapi itu menguntungkannya di depan publik AS.
Percaya Insting
Sebagai orang baru dalam dunia politik, Trump sangat percaya dengan insting yang dimilikinya. Dia menjalankan kampanye politik dengan insting yang telah terlatih sebagai seorang pengusaha. Trump menganggap bahwa dirinya lebih tahu daripada semua pakar. Dia percaya diri dengan kampanye yang tidak konvensional. Meskipun kerap menggelar kampanye besar-besaran, tim kampanye Trump fokus dari pintu ke pintu.
Dia menggelar operasi untuk mendapatkan dukungan suara dengan turun langsung ke masyarakat. Mengabaikan jajak pendapat, dia lebih memilih pergi berkampanye di Wisconsin dan Michigan yang jarang disentuh. Berbeda dengan para politikus yang percaya dengan pencitraan dan manajemen agenda, Trump tampil apa adanya. Ternyata itu membuka mata publik AS bahwa Trump bukan politikus polesan.
Meskipun Trump pernah tampil buruk pada beberapa debat, dia mampu menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya. Padahal, Trump pernah menghina veteran perang John McCain yang merupakan petinggi Partai Republik. Dia juga pernah bertengkar dengan presenter populer Fox News Megyn Kelly.
Bahkan tanpa malu-malu dia mengejek pemenang putri kecantikan Hispanik karena terlalu gemuk. Ternyata semua itu tak dipermasalahkan di tempat pemungutan suara. Berbagai kontroversi itu ternyata menguatkan karakter Trump. Apa pun alasannya, Trump merupakan politikus yang tahan terhadap kritikan tajam.
andika hendra m
http://koran-sindo.com/news.php?r=0&n=7&date=2016-11-10
Komentar