Yanukovych Dinyatakan Buron
KIEV – Mantan Presiden Ukraina Viktor Yanukovych kemarin dinyatakan sebagai buronan karena dianggap sebagai dalang kerusuhan dan pembunuhan massal. Kiev kemarin meminta bantuan Barat senilai USD35 miliar atau Rp405,60 triliun untuk mengatasi krisis ekonomi.
Pengumuman dramatis itu setelah parlemen pada akhir pekan lalu telah sepakat untuk menggulingkan Yanukovych, 63, yang berpihak kepada Rusia. Pemerintahan transisi Ukraina telah menunjukkan sinyal untuk mendekat ke Uni Eropa (UE) dan menjauhi Rusia setelah tiga bulan krisis politik yang mengakibatkan sekitar 100 orang meninggal.
Menurut Menteri Dalam Negeri sementara, Arsen Avakov, Yanukovych dijerat dengan kasus pembunuhan massal terhadap para demonstran yang berunjuk rasa dengan damai. “Yanukovych dan sejumlah pejabat pemerintahannya telah dimasukkan dalam daftar buron,” tegas Avakov dikutip AFP.
Yanukovych dikabarkan mencoba melarikan diri keluar dari Ukraina pada Sabtu (22/2) di kota Dontesk – basis pertahanan warga yang pro-Rusia. Dia langsung melarikan diri ke Crimea bersama para pengawalnya dengan persenjataan lengkap pada Minggu (23/2). “Yanukovych dan kepala pemerintahannya, Andriy Klyuev, telah pergi ke lokasi yang tidak diketahui dengan tiga mobil. Mereka telah mematikan semua alat komunikasi,” kata Avakov.
Selepas tumbangnya Yanukovych, sementara menyatakan prioritas Ukraina adalah bergabung dengan UE. Presiden transisi Ukraina, Oleksandr Turchynov, mengatakan Ukraina memusatkan upaya pada penyatuan dengan UE. Turchynov ditunjuk sebagai kepala pemerintahan setelah lengsernya Yanukovych dalam sebuah sidang parlemen hari Sabtu (22/02).
“Tidak ada pemerintahan di Ukraina yang bekerja dalam kondisi yang ektrim,” kata pemimpin yang berusia 49 tahun itu. Dia mengungkapkan untuk mengganti bantuan Rusia senilai USD13 miliar atau Rp 150,65 triliun, maka Ukraina harus bergantung pada negara-negara Barat. “Kita harus kembali ke pangkuan keluarga negara Eropa,” katanya.
Terhadap Rusia yang mendukung Yanukovych, Turchynov mengatakan pihaknya siap berdialog. Sementara Turchynov memperingatkan Rusia agar Kremlin menghormati sikap Ukraina yang berpihak ke Barat. “Hubungan Ukraina dengan Rusia berpijak pada kesetaraan dan tetangga yang baik serta pengakuan terhadap pilihan Kiev berpihak ke UE,” ujarnya dikutip Reuters.
Sebagai respon krisis politik di Ukraina, Rusia menarik pulang duta besarnya ke Moskow untuk berkonsultasi pada Minggu (23/2) lalu. Perdana Menteri (PM) Rusia Medvedev kemarin mempertanyakan legitimasi pemerintahan baru Ukraina.
Sementara itu, Menteri Keuangan sementara Ukraina, Yuriy Kolobov, mengungkapkan Ukraina membutuhan dana senilai USD35 miliar atau Rp405,60 triliun hingga akhir tahun. Dia meminta negara-negara Barat dan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mengucurkan donor dalam dua pekan mendatang. “Fokus bantuan itu untuk memodernisasi dan mereformasi Ukraina,” kata Kalobov.
Pemerintahan Ukraina kemarin juga belum sepenuhnya terbentuk. Presiden sementara Turchynov masih mencari perdana menteri yang akan membentuk kabinetnya untuk mencari solusi atas krisis ekonomi sebelum pemilu presiden pada 25 Mei mendatang.
Rusia Kirim Pasukan ke Ukraina?
Sinyal kekhawatiran terhadap reaksi Moskow, Oleh Tyahnybok, salah satu pemimpin oposisi, meminta Kementerian Pertahanan untuk mengecek laporan kalau pasukan Rusia telah berkumpul di perbatasan Ukraina. Tyahnybok sendiri tidak memberikan laporan detail seperti pergerakan pasukan. Dia hanya mengatakan sebuah kapal yang mengangkut 200 pasukan komando telah berlabuh di Pelabuhan Sevastopol, Crimea, Ukraina. Belum lagi, armada Laut Hitam Rusia yang berbasis di Sevastopol juga dapat datang dan pergi dengan bebas.
Seperti dilaporkan kantor berita Interfax, pasukan penjaga perbatasan Ukraina mengungkapkan tidak ada tanda-tanda pergerakan pasukan Rusia di perbatasan.
AS telah memperingatkan Rusia mengenai kemungkinan pengiriman pasukan ke Ukraina. “Itu akan menjadi kesalahan besar,” kata Susan Rice, penasehat keamanan nasional Presiden Barack Obama. Dia mengatakan, bukan kepentingan Ukraina atau Rusia atau Eropa atau AS untuk melihat sebuah bangsa terpecah belah. “Tidak ada kepentingan siapapun untuk melihat kembalinya situasi kekerasan,” tegas Rice dikutip Guardian.
Rice jga meminta agar Presiden Rusia Vladimir Putin agar tidak menghidupkan Perang Dingin antara Timur dan Barat. Perspektif itu tidak merefleksikan pandangan rakyat Ukraina. “Ini bukan tentang AS dan Rusia,” tuturnya. Sedangkan Menteri Luar Negeri Inggris, William Hague, mengungkapkan Rusia tidak memiliki kepentingan apapun untuk melakukan penyerangan.
Kekhawatiran Moskow menyerang Ukraina setelah seorang penasehat Kremlin pernah memperingatkan kalau Moskow dapat mengintervensi Kiev. Apalaigi, Putin ingin Ukraina menjadi bagian Rusia. Belum lagi jajak pendapat yang menyebutkan 56% warga Rusia memandang Crimea sebagai territorial Rusia. (andika hendra m)
Komentar