Kerusuhan di Ukraina Tewaskan 25 Orang
KIEV – Sedikitnya 25 orang tewas dalam kerusuhan antara polisi Ukraina dengan para demonstran anti-pemerintah sejak Selasa lalu (18/2) hingga kemarin. Kerusuhan itu pecah setelah upaya perundingan antara Presiden Ukraina Viktor Yanukovych dengan para pemimpin oposisi menemui jalan buntu.
Kementerian Kesehatan Ukraina kemarin menyatakan jumlah korban tewas dari kubu demonstran dan polisi mencapai 25 orang. Sembilan petugas polisi gugur dalam bertugas. Seorang jurnalis juga dilaporkan menjadi korban dalam kerusuhan tersebut. CNN melaporkan 241 orang dirawat di rumah sakit, banyak pihak khawatir jumlah korban akan terus bertambah.
Polisi menembakkan gas air mata ke arah demonstran, sedangkan para pengunjuk rasa membalas dengan melemparkan bom molotov dan petasan. Banyak mobil di jalanan yang dibakar dan pusat perbelanjaan yang terbakar. Para demonstran tetap bertahan dengan membangun garis pertahanan dengan membakar ban bekas.
Ribuan aparat keamanan telah mengepung Lapangan Maidan sebagai basis pertahanan demonstran sejak Selasa (18/2) lalu. Polisi memberikan tenggat waktu pada pukul 18:00 waktu setempat pada Selasa untuk meninggalkan Lapangan Maidan yang menjadi kamp demonstran sejak November lalu. Ketika tenggat waktu berakhir, polisi anti-huru hara langsung merobohkan barikade dan menghancurkan tenda-tenda.
Selain di Kiev, seperti dilaporkan Reuters, kerusuhan juga melanda sedikitnya tiga kota di bagian barat Ukraina. Polisi berhasil menangkapi para demonstran yang berusaha telah mengambil-alih pusat pemerintahan di kota Ivano-Frankivsk and Lviv. Para demonstran juga dikabar juga membakar kantor polisi di kota Ternopil.
Sikap represif aparat justru menimbulkan sentiment anti-pemerintah semakin kuat. Banyak warga Ukraina yang memilih bergabung dengan para demonstran untuk melawan polisi. Kerusuhan pun semakin menanas sejak Selasa malam waktu setempat hingga kemarin. Belum ada sinyal kalau kerusuhan akan semakin mereda.
Dalam pidatonya, Pemimpin Partai Udar, partai oposisi Ukraina, Vitaly Klitschko, meminta semua orang untuk tetap berada di lokasi. “Kami tidak akan beranjak dari sini,” kata Klitschko. “Ini adalah tanah kebebasan dan kami akan memperjuangkannya.” Sikap keras itu setelah Klitschko mengaku tidak dapat mencapai kesepakatan saat mengikuti perundingan dengan Presiden Yanukovych agar pemerintah menarik pasukannya.
Pimpinan oposisi lain, Arseniy Yatsenyuk, meminta Presiden Yanukovych untuk menghentikan pertumpahan darah dan melakukan gencatan senjata. “Kita berbicara tentang nyawa manusia dan masa depan negara yang bisa dibanjiri oleh darah. Hentikan, Viktor Yanukovych, hentikan,” katanya.
Sementara itu, Presiden Yanukovych kemarin justru menyalahkan para pemimpin oposisi atas kerusuhan yang semakin memburuk dalam beberapa bulan terakhir. Dia menyarankan agar kubu oposisi menjauhi dari kelompok radikal.
“Pemimpin oposisi tidak menghargai prinsip demokrasi di mana salah satu cara mendapatkan kekuasaan bukan di jalanan atau Maidan, tetapi melalui pemilu,” kata Yanukovych dikutip AFP. “Mereka telah melintasi batas dengan menyerukan rakyat untuk angkat senjata.” Dia memperingatkan siapapun yang melakukan kekerasan akan diajukan ke pengadilan.
Yanukovych meminta semua pihak untuk duduk dalam satu menje untuk menyelesaikan krisis melalui dialog dan kompromi. “Belum terlalu terlambat untuk menghentikan konflik,” pintanya. Sebelumnya Yanukovych dan koalisinya telah menawarkan beberapa posisi di pemerintahan kepada oposisi, tetapi tawaran itu ditolak mentah-mentah.
Wakil Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden telah mengintervensi krisis politik di Ukraina dengan menghubungi Yanukovych agar menghentikan kekerasan. “Biden meminta Yanukovych untuk menarik pasukannya,” demikian pernyataan Gedung Putih.
Sedangkan Rusia, sebagai sekutu utama Yanukovych, menuding Washington telah mencampuri urusan dalam negeri Ukraina. Moskow telah mengucurkan dana tunai senilai USD2 miliar pada Senin (17/2) lalu dari USD15 miliar paket bantuan. Rusia juga telah meminta Yanukovych untuk mengakhiri demonstrasi dan mengajak pemimpin oposisi masuk dalam pemerintahan.
Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki-moon telah mengutuk kekerasan yang terjadi. “Ban meminta semua pihak untuk menahan diri,” kata juru bicara PBB, Martin Nesirky. Sedangkan Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Catherine Ashton, meminta pemerintahan Ukraina untuk mencari akar penyebab krisis.
Aksi unjuk rasa dimulai pada November lalu setelah pemerintah Ukraina memutuskan untuk tidak menandatangani perjanjian kerja sama dengan Uni Eropa. Demonstrasi semakin parah ketika Perdana Menteri (PM) Mykola Azarov dan seluruh anggota kabinet mundur pada akhir Januari lalu. Parahnya lagi, Presiden Yanukovych justru memilih untuk mempererat hubungannya dengan Rusia. (andika hendra m)
Komentar