Bubarkan Parlemen, PM Thailand Serukan Pemilu
BANGKOK – Perdana Menteri (PM) Thailand Yingluck Shinawatra kemarin membubarkan parlemen dan menyerukan pemilu yang dipercepat.
Tapi, 150.000 demonstran anti-pemerintah mengabaikan seruan pemerintah tersebut dan tetap menuntut pembentukan “dewan rakyat” sebagai lembaga yang mengendalikan pemerintahan. Para demonstran anti-pemerintah menolak bekerjasama dengan pemerintah dan mengabaikan seruan pemilu yang dipercepat itu.
“Pada tahap ini, ketika banyak orang yang menentang pemerintah dari berbagai kelompok, cara terbaik adalah memberikan kekuasaan kepada rakyat Thailand dan menggelar pemilu. Sehingga rakyat Thailand yang akan memutuskan,” kata PM Yingluck dalam pidatonya pada stasiun televisi. Pemilu yang dipercepat itu diperkirakan akan digelar pada 2 Februari mendatang. “Pemerintah tidak ingin ada korban jiwa,” imbuh PM Yingluck.
Pembubaran parlemen oleh PM Yingluck itu disebabkan karena partai oposisi Thailand, Demokrat, mengajukan pengunduran diri massal pada Minggu (8/12) lalu. Timbul pertanyaan mengenai apakah oposisi, Partai Demokrat, akan memboikot pemilu dan menyebabkan Thailand jatuh dalam krisis politik yang berkepanjangan.
Ketua Partai Demokrat, Abhisit Vejjajiva, mengabaikan pertanyaan apakah partainya akan ikut pemilu itu atau tidak. “Pembubaran parlemen merupakan langkah pertama untuk menyelesaikan masalah,” kata Abhisit, kepada Reuters. Dia kemarin juga ikut berdemonstrasi bersama para pengunjuk rasa anti-pemerintah. “Hari ini (kemarin), kita berdemonstrasi. Saya akan berjalan bersama rakyat ke Gedung Pemerintah.”
Berkaca pada peristiwa sebelumnya, pada April 2006, Partai Demokrat menolak dalam ikut pemilu yang dipercepat oleh pemerintahan mantan PM Thaksin Shinawatra. Saat itu juga terjadi aksi di jalanan menentang pemerintahan Thaksin. Setelah lima bulan kemudian, Thaksin digulingkan oleh militer.
Sementara pemimpin gerakan anti-pemerintah, Suthep Thaugsuban, menolak mengabaikan seruan Yingluck itu. “Meskipun parlemen dibubarkan dan akan ada pemilihan umum yang baru, rezim Thaksin masih tetap di tempat,” kata pemimpin gerakan anti-pemerintah, Suthep Thaugsuban. Dia mengungkapkan gerakan itu akan terus dilanutkan untuk mencabut rezim Thaksin. Mereka menginginkan perubahan sistem demokrasi secara menyeluruh. Mereka juga meminta Yingluck dan keluarganya diminta meninggalkan negara itu.
Dalam pandangan Pavin Chachavalpongpun, pakar kajian Asia Tenggara dari Universitas Kyoto, mengungkapkan pemilu dapat tetap berlangsung tanpa keikutsertaan Demokrat. Tapi, pemilu bukan sebagai solusi jika oposisi menggelar boikot. “Itu hanya menjadi solusi jangka pendek karena tidak ada jaminan dari Demokrat akan kembali dan bermain sesuai dengan aturan,” kata Pavin. “Sepertinya Thailand semakin runyam.”
Yingluck yang memenangkan pemilu pada 2011 silam dituding oposisi hanya menjadi boneka mantan PM Thaksin. Dalam pemilu yang dipercepat nanti, partai yang dipimpin Yingluck, Partai Puea Thai, diyakini akan mendapatkan kemenangan yang mudah. Mereka memiliki basis kuat di wilayah pedesaan di Thailand utara.
Apalagi, Yingluck dikabarkan akan maju lagi dalam pemilu parlemen mendatang. “Dia dipastikan akan maju (dalam pemilu),” kata petinggi Partai Puea Thai, Jarupong Ruangsuwan. Dia juga meminta kalau Partai Demokrat untuk ikut dalam pemilu kali ini dan tidak memainkan permainan jalanan.
Sebagai bentuk antisipasi pecahnya kerusuhan karena demonstrasi anti-pemerintah, 60 sekolah di Bangkok diliburkan. Ribuan polisi juga diterjunkan untuk mengamankan aksi unjuk rasa itu. “Polisi tidak bersenjata, hanya membawa perisai dan pentungan. Kami tidak akan menggunakan gas air mata, atau jika kita tidak punya pilihan, penggunaannya akan terbatas” kata Menteri Dalam Negeri Jarupong Ruangsuwan dikutip AFP. Dia yakin kalau pemerintah dalam mengatasi situasi dan fokus menggelar negoisasi.
Sejauh ini belum ada laporan terjadinya kekerasan dalam protes hari Senin (09/12). Sebelumnya, lima orang tewas sepanjang bentrokan yang pecah selama protes pekan lalu. Banyak pihak khawatir krisis politik yang belum berakhir di Thailand akan memicu kudeta militer. Pasalnya, telah terjadi 18 kali kudeta dalam 80 tahun terakhir di Negeri Gajah Putih. (andika hendra m)
Komentar