Akhiri Krisis Politik, PM Thailand Tawarkan Referendum
BANGKOK – Perdana Menteri (PM) Thailand Yingluck Shinawatra kemarin mengusulkan referendum sebagai solusi untuk mengakhiri krisis politik yang membelenggu pemerintahannya.
Referendum itu menanyakan apa yang diinginkan oleh rakyat Thailand mengenai pemerintahannya. PM Yingluck mengungkapkan jika rakyatnya menginginkan dia mundur, makan dia akan mengundurkan diri. Usulan referendum itu dianggap sebagai solusi tepat menjelang aksi demonstrasi anti-pemerintah pada Senin (hari ini).
Dalam pidatonya di stasiun televisi, Yingluck mengungkapkan pemerintahannya telah berusaha mencari berbagai cara untuk menyelesaikan konflik. “Kita seharusnya melaksanakan referendum di mana rakyat dapat menentukan apa yang seharusnya kita lakukan,” usul Yingluck dikutip Reuters.
Yingluck tidak mendeskripsikan detail mengenai referendum. Tapi referendum dianggap Yingluck sesuai dengan konstitusi Thailand. Berbeda dengan usulan kubu anti-pemerintah yang mengusulkan pembentukan “dewan rakyat” yang terdiri dari orang pilihan untuk menggantikan pemerintahan. Adik mantan PM Thaksin Shinawatra itu mengklaim usulan oposisi itu tidak sesuai dengan konstitusi.
“Saya akan mendengarkan usulan dari para demonstran. Saya bukan orang yang kecanduan jabatan,” tutur Yingluck. “Saya siap mengundurkan diri dan membubarkan parlemen jika memang mayoritas rakyat Thailand menginginkannya.”
Dengan konstitusi Thailand, pemerintah dapat menggelar referendum dalam kurun waktu 60 hari. Namun, Yingluck mengungkapkan jika para demonstran atau partai politik tidak menerima itu atau tidak menerima hasil pemilu hanya akan memperpanjang konflik.
“Pemerintahan yang tidak dipilih rakyat akan berdampak terhadap reputasi dan stabilitas negara,” tegas Yingluck. “Jika para demonstran menginginkan itu, maka seharusnya ditanyakan kepada mayoritas.
Kemungkinan para pemimpin oposisi akan menolak usulan PM Yingluck tersebut. Pasalnya, mereka lebih memilih pembentukan “dewan rakyat” dibandingkan dengan pemilu atau pun referendum. Kelompok anti-pemerintah mengetahui kalau jumlah mereka tidak terlalu besar dibandingkan dengan para pendukung PM Yingluck yang berbasis di pedesaan.
Para demonstran anti-pemerintah telah turun ke jalanan di Bangkok selama beberapa pekan untuk menuntut pembubaran pemerintahan PM Yingluck. Mereka juga ingin membersihkan pemerintahan dari rezim Thaksin yang masih bercokol. PM Yingluck dianggap hanya “boneka” kakaknya, Thaksin, yang masih berlindung di pengasingan.
Kisruh politik Thailand telah menewaskan sedikitnya lima orang dan melukai lebih dari 200 orang dalam beberapa pekan terakhir. Polisi dan demonstran menggelar gencatan senjata pada Rabu (4/12) lalu untuk menghormati ulang tahun Raja Thailand Bhumibol Adulyadej.
Kubu oposisi telah menegaskan kalau Senin (hari ini) merupakan “hari penghakiman” bagi pemerintah. “Jika kita tidak menang besok (hari ini), kita tidak akan kembali ke rumah. Kita akan membawa kemenangan ini pulang,” terang salah satu pemimpin demonstran, Satit Wongnongtauy dikutip AFP.
Polisi telah siap siaga menghadapi aksi demonstrasi. Barikade di kantor pemerintahan juga telah dipasang kembali oleh aparat keamanan. “Polisi mengutamakan negoisasi dan mencoba menghindari timbulnya korban luka dan tewas,” kata Juru Bicara Polisi Nasional Thailand, Piya Utayo. Dia juga menyarankan agar para demonstan menghormati hukum.
Aksi demonstran itu disebabkan karena usulan Undang-Undang Amnesti yang diusulkan oleh PM Yingluck. Dengan adanya aturan itu menjadi jembatan agar Thaksin dapat kembali ke Thailand. Upaya itu memicu kemarahan kubu anti-pemerintah turun ke jalanan. (andika hendra m)
Komentar