Resolusi Suriah Hampir Disepakati
NEW YORK – Komunitas internasional membuat kemajuan penting mengenai resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang penghancuran senjata kimia Suriah.
Seorang diplomat PBB mengungkapkan kesepakatan “hal utama” mengenai draf resolusi Dewan Keamanan PBB dengan sanksi sesuai dengan Bab VII Piagam PBB jika Suriah gagal menyelesaikan kesepakatan itu. Draf tersebut dapat diajukan ke pemilihan 15 anggota Dewan Keamanan PBB untuk diajukan sebagai resolusi PBB.
Tanpa menyebutkan detail, seorang anggota Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) mengakui ada kemajuan. “Tapi kita belum selesai,” kata pejabat yang tidak disebutkan namanya.
Sementara sumber Rusia membantah kesepakatan yang telah dicapai. “Masih ada perundingan yang harus diselesaikan,” kata salah satu pejabat Rusia yang juga menolak disebutkan namanya kepada AFP. Kemudian, seorang pejabat Rusia mengaku “terkejut” dengan klaim yang mengijinkan sanksi bagi Suriah.
Sebelumnya Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, sepakat dengan penghancuran senjata kimia. Namun, dia tidak sepakat dengan usulan Menteri Luar Negeri AS, John Kerry, yang mengancam akan melancarkan serangan militer jika terjadi pelanggaran terhadap kesepakatan.
Baik Lavrov dan Kerry telah menggelar perundingan di sela-sela Sidang Umum PBB pada Selasa lalu. Mereka mendiskusikan paragraf demi paragraf resolusi Dewan Keamanan PBB. Bahkan, Duta Besar Rusia untuk PBB Vitaly Churkin dan koleganya dari AS, Samantha Power, menggelar perundingan hingga Selasa malam dan Rabu malam.
Kemudian, Kerry dan Lavrov juga mengajak para menteri luar negeri dari anggota tetap Dewan Keamanan PBB – Inggris, Prancis dan China – berdiskusi mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB. Perundingan pada Rabu (25/9) lalu juga diikuti Sekjend PBB, Ban Ki-moon.
Sementara itu, Deputi Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Raybkov, mengungkapkan Rusia siap untuk menjaga lokasi senjata kimia milik Suriah. Itu dilakukan sebagai upaya untuk mencegah senjata kimia jatuh ke tangan pemberontak.
Suriah telah menyepakati penyerahan senjata kimia setelah terjadi serangan gas sarin pada 21 Agustus di pinggiran Damaskus yang menewaskan ratusan orang. Dalam penyidikan awal, para pakar senjata kimia tidak menyebutkan siapa di belakang aksi serangan senjata kimia tersebut. Pemerintah Suriah membantah keterlibatan dalam serangan tersebut, meskipun Amerika Serikat (AS) dan sekutunya menuding Damaskus.
Sementara itu, Presiden Suriah Bashar al-Assad mengungkapkan komitmennya untuk menyerahkan senjata kimianya kepada komunitas internasional. Itu ditegaskan oleh Assad dalam wawancara dengan stasiun televisi asal Venezuela, Telesur.
“Suriah berkomitmen untuk semua kesepakatan itu,” tegas Assad. Dia pun mengungkapkan Damaskus telah mengirimkan gambaran mengenai cadangan senjata kimia ke Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW). “Para pakar OPCW datang ke Suriah untuk melihat status senjata kimia tersebut,” tuturnya.
Ketika ditanya mengenai apakah kesepakatan itu akan menghalangi serangan militer ke Suriah? “Kemungkinan agresi tetap selalu ada,” jawab Assad. “Saat ini, pendahuluannya adalah senjata kimia, lain waktu adalah sesuatu yang lain.”
Assad juga menegaskan tidak ada tantangan dalam rencana penyerahan senjata kimia tersebut. Hanya saja, Assad mengungkapkan ada kemungkinan teroris yang akan mengganggu pekerjaan para pakar senjata kimia OPCW tersebut. “Para teroris itu akan menghalangi mereka untuk mengunjungi wilayah-wilayah tertentu,” paparnya.
Komentar Assad itu bersamaan dengan tibanya para pakar senjata kimia PBB di Damaskus. Mereka akan melanjutkan penyidikan terhadap 14 insiden terkait senjata kimia. Tim itu dipimpin oleh Ake Sellstrom dari Swedia. (andika hendra m)
Komentar