525 Tewas, Loyalis Mursi Terus Melawan

KAIRO– Para pendukung mantan Presiden Mesir Muhammad Mursi pantang mundur. Mereka tetap menggelar aksi demonstrasi dan menyerang kantor pemerintahan. Aksi itu dilakukan sehari setelah kerusuhan berdarah yang menewaskan sedikitnya 525 orang dan 3.717 orang terluka. Korban tewas pun dipastikan akan terus berjatuhan dengan perlawanan dari loyalis Mursi. Ratusan pendukung Mursi itu membakar sebuah gedung pemerintah di Kairo. Selain itu, para loyalis Mursi juga kemarin dikabarkan membunuh dua petugas polisi Mesir. “Demonstrasi direncanakan berangkat dari Masjid al-Iman untuk memprotes banyaknya korban tewas,” demikian keterangan Ikhwanul Muslim. Kebanyakan para demonstran itu keluarga korban para pengunjuk rasa yang ditembak aparat keamanan. Demonstrasi itu jelas bertentangan dengan jam malam yang diberlakukan oleh militer Mesir di Kairo dan 14 provinsi lainnya. Juru Bicara Ikhwanul Muslimin, Gehad al-Haddad, mengungkapkan, demonstrasi akan terus berlanjut dan akan menumbangkan pemerintahan yang didukung militer. “Kita tetap kuat, menentang dan memiliki kebulatan tekad,” kata Haddad melalui akun Twitter-nya. Haddad juga menegaskan Ikhwanul Muslimin akan terus bergerak hingga mengalahkan kudeta militer. “Kita tidak akan menunduk, kita tidak akan takut,” kata Haddad. Aksi demonstrasi juga digelar di kota kedua terbesar di Mesir, Alexandria. Unjuk rasa itu hanya diikuti ratusan pendukung Mursi. Mereka memprotes kekerasan yang dilakukan aparat keamanan. “Kita akan kembali lagi untuk membalas pengorbanan para martir,” demikian teriakan para demonstran. Sebagian para demonstran membawa gambar mantan Presiden Mursi yang digulingkan pada 3 Juli silam. Unjuk rasa itu berpotensi memicu kerusuhan berdarah kembali di Mesir. Apalagi, militer tidak akan menoleransi aksi demonstrasi, terutama di Kompleks Masjid Rabaa al- Adawiya. Namun, proses penguburan jenazah para demonstran yang dilakukan kemarin dan Jumat (hari ini) dapat memicu warga yang marah untuk turun ke jalanan. “Saya pikir besok (hari ini) akan menjadi hari besar untuk berdemonstrasi di seluruh Mesir. Potensi aksi kekerasan semakin tinggi,” ungkap Yasser el-Shimy, analis Mesir dari International Crisis Group,dikutip Reuters. Sementara jumlah korban tewas dalam kerusuhan antara loyalis mantan Presiden Muhammad Mursi dan aparat keamanan sebanyak 525 orang. Seorang juru bicara Kementerian Kesehatan Mesir, Khaled al-Khatib, menyebutkan, jumlah korban tersebut termasuk 43 polisi yang tewas dalam kerusuhan tersebut. Sebanyak 3.717 orang terluka dalam kerusuhan yang berlangsung pada Rabu (14/8). “Khusus 202 orang tewas dalam aksi pembubaran aksi demonstrasi oleh polisi di Kompleks Masjid Rabaa al-Adawiya,” katanya, dikutip AFP. Jumlah resmi korban itu berdasarkan informasi dari rumah sakit. Padahal, banyak korban dari pendukung Mursi yang langsung dibawa ke masjid. Sementara Ikhwanul Muslimin sebagai kelompok pendukung utama Mursi menyebutkan, 300 jenazah telah dibawa ke Masjid al-Iman di Kairo. Sementara itu, Reuters melaporkan lebih dari 228 jenazah yang dimutilasi di sebuah Masjid al-Iman di Kairo. Jumlah korban tewas tersebut tidak masuk hitungan pihak otoritas. Penguburan jenazah itu menunggu keluarga korban terlebih dahulu. “Kementerian tidak mengakui mereka. Polisi juga,” kata Wafaa Hefny, profesor di Universitas al-Azhar yang membantu identifikasi jenazah. Pemerintah Mesir membela diri atas tindakan brutal terhadap para demonstran tersebut. Perdana Menteri (PM) Hazel el-Beblawi menyampaikan penyesalannya atas jatuh korban jiwa. Dia juga berjanji keadaan darurat nasional akan segera dicabut. Beblawi membela penyerbuan tersebut dan mengatakan itu harus dilakukan demi keamanan. “Bukan hal mudah untuk membubarkan pendukung Mursi dengan paksa. Pemerintah telah menawarkan mediasi,” bela Beblawi, dikutip Al Jazeera. Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Mesir Mohamed Ibrahim menjelaskan, pembubaran aksi demonstrasi loyalis Mursi itu karena aksi mereka telah menjadi ancaman keamanan, memicu kekerasan dan pembunuhan. “Polisi sangat terkejut karena para demonstran yang memulai menembakkan senjata api,” katanya. Pemerintahan transisi Mesir sedikit terpecah setelah kerusuhan berdarah tersebut. Wakil Presiden Mohammed ElBaradei mengumumkan pengunduran dirinya dari pemerintah sementara. “Saya tidak bisa terus menanggung beban atas keputusan yang tidak saya setujui dan saya takuti konsekuensinya. Saya tidak bisa bertanggung jawab atas setiap tetes darah,” kata ElBaradei. Selain ElBaradei, Ahram Online juga menyebut dua deputi PM Mesir yakni Hossam Eissa dan Ziad Bahaa el-Din juga mengajukan pengunduran diri. DK PBB Diminta Turun Tangan Dari Turki, PM Turki Tayyip Erdogan kemarin meminta Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) bertindak cepat untuk menangani pembunuhan massal di Mesir. “Siapa yang tetap diam melihat pembunuhan itu sama bersalahnya dengan pihak yang melakukannya. Dewan Keamanan PBB harus bergerak cepat,” kata Erdogan di Ankara, dikutip Reuters. Erdogan mengkritik negaranegara Eropa yang hanya diam dalam isu Gaza, Suriah, dan Mesir. “Bagaimana Anda berbicara tentang demokrasi, kebebasan, nilai-nilai global, serta hak asasi manusia (HAM),” sindirnya. Sedangkan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) John Kerry mengungkapkan, rekonsiliasi politik Mesir menghadapi tekanan yang serius. “Ini momen puncak bagi seluruh rakyat Mesir,” kata Kerry. Dia menjelaskan, kekerasan hanya menciptakan ketidakstabilan, bencana ekonomi, dan pengangguran. Pemerintah Indonesia mengharapkan agar para elite politik di Mesir dapat duduk bersama dan menghentikan konflik. Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), para elite dapat mencari formula yang disebut sebagai win-win solution. “Barangkali masih terbuka peluang (kompromi) itu meskipun barangkali sempit yang disebut dengan window opportunity,” ucap Presiden dalam keterangan persnya di Istana Negara, Jakarta. Terhadap warga negara Indonesia yang berada di Mesir, Presiden menginstruksikan kepada Dubes RI di Kairo untuk menjaganya dengan baik, terutama para mahasiswa. “Tolong dijaga WNI kita dan menjauhi tempat-tempat yang berbahaya dan tidak boleh berpihak kemana pun karena ini urusan Mesir,” katanya. Berbeda dengan kebanyakan negara yang menyalahkan Pemerintah Mesir, Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain justru mendukung tindakan pembubaran demonstrasi tersebut. “Pemerintah Mesir telah menahan diri maksimal,” demikian keterangan Kementerian Luar Negeri UEA. Hal senada diungkapkan Bahrain yang menyebutkan langkah Mesir untuk memulihkan perdamaian dan stabilitas demi melindungi hak-hak rakyat Mesir. Baik UEA maupun Bahrain tetap menyarankan dialog bagi semua pihak yang berkepentingan di Mesir. ● andika hendra m/ rarasati syarief

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Snowden Tuding NSA Retas Internet Hong Kong dan China

Inovasi Belanda Tak Terpisahkan dari Bangsa Indonesia

Teori Pergeseran Penerjemahan Catford