Iran, Korut dan Suriah Tolak Pakta Perdagangan Senjata
NEW YORK – Iran, Korea Utara (Korut) dan Suriah pada Kamis (28/3) lalu menolak pakta global perdagangan senjata senilai USD80 miliar atau senilai Rp776,96 triliun. Dengan penolakan ketiga negara itu telah berlangsung dua kali untuk mengadopsi konsensus untuk mengakhir perundingan selama 10 hari di kantor pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Awalnya, pakta itu akan disetujui oleh seluruh 193 negara anggota PBB. Meskipun mendapatkan penolakan dari tiga negara itu, pakta tersebut diperkirakan akan lolos dengan dukungan mayoritas anggota PBB pada Sidang Umum. “Ini bukan kegagalan, sukses hari ini tertunda dan penundaannya tidak akan lama,” kata negosiator utama Inggris untuk kesepakatan ini, Jo Adamson, dikutip AFP.
Adamson menyebut draf kesepakatan itu bagus dan tegas. Dia menambahkan kalau pakta yang ditolak Korut, Iran dan Suriah itu sebenarnya diinginkan oleh dunia. “Dunia menginginkan regulasi dan suara itu butuh didengar,” imbuhnya.
Draf kesepakatan yang semula diusulkan negara-negara yang terikat perjanjian harus memastikan bahwa semua senjata konvensional tidak boleh melintas batas wilayah kedaulatan mereka jika senjata tersebut kelak dipakai untuk urusan penindasan HAM. Siapapun yang melanggar, bakal mendapatkan sanksi dari PBB.
Sebenarnya, penyusunan pakta tersebut berlangsung selama hampir 10 tahun terakhir. Pakta itu bertujuan untuk menghentikan laju perdagangan senjata tanpa hambatan sama sekali. Dengan perjanjian ini negara anggota PBB dilarang menjual senjata pada negara lain yang sedang dikenai embargo pembelian senjata atau senjata yang akan dipakai untuk tindak genosida, tindak kejahatan terhadap kemanusiaan atau kejatahan perang atau terorisme. Negara asal senjata juga wajib memastikan produksinya tidak jatuh ke pasar gelap.
Sementara itu, delegasi Iran, Mohammad Khazaee, mengatakan pakta ini sangat mencurigakan telah dipolitisasi dan diskriminatif. “Perjanjian sama sekali tak mengindahkan pentingnya aturan tentang perpindahan senjata dari dan ke negara yang melakukan agresi, pertahanan negara, perlawanan terhadap agresi dan mempertahankan integritas teritorial,” kata Khazaee dikutip BBC.
Hal senada diungkapkan Deputi Duta Besar Korut di PBB, Ri Tong-il. Ri menyerukan pakta tersebut merupakan drfat yang terlalu berisiko karena dengan mudahnya dimanipulasi oleh eksportir senjata. Dia juga mengejek langkah embargo senjata sebagai hukuman seperti yang diberlakukan kepada negaranya.
Kemudian, Duta Besar Suriah Bashar Jaafari keberatan dengan draf perjanjian ini gagal memasukkan unsur embargo pada kelompok teroris bersenjata dan pelaku yang bukan negara. “Sayangnya apa yang jadi persoalkan di negara kami sama sekali tak digubris,” kritiknya.
Sementara itu, Kelompok pemerhati HAM, Amnesty International (AI), mengungkapkan aksi penolakan tersebut merupakan sikap sinis. Sedangkan menurut Anna Macdonald, kepala urusan pembatasan senjata pada lembaga kemanusiaan Oxfam, mengatakan perjanjian ini terlalu sempit. “Kita butuh perjanjian yang mencakup smeua jenis senjata konvensional bukan cuma sebagian,”katanya.
Pada tahun lalu pakta serupa gagal diteken karena AS, Rusia dan China, berdalih butuh waktu lebih lama untuk mempertimbangkan pokok masalahnya. Negara-negara produsen senjata dunia, seperti AS, Rusia, Jerman, Prancis, China dan Inggris sepakat terhadap traktat setelah melalui proses negoisasi sejak 2006. (andika hendra m)
Komentar