10 Tahun Invasi, Kekerasan Terus Berlanjut
BAGHDAD – Serangkaian bom mobil dan penembakan di wilayah Syiah dan di sekitar Baghdad kemarin menewaskan sedikitnya 50 orang. Aksi kekerasan itu terjadi pada peringatan ulang tahun ke 10 invasi ke Irak yang juga mengakibatkan sedikitnya 160 orang terluka.
Polisi dan aparat keamanan telah meningkatkan keamanan dengan membangun pos pemeriksaan dan penutupan jalanan utama. Namun, situasi justru semakin memburuk. Sebagian serangan mengarah ke pemukiman warga Syiah baik di Baghdad maupun di sekitarnya, seperti Husseiniyah, Mashtal, Zafraniyah, Baghdad Jadidah, Kadhimiyah, Sadr City dan Shuala.
Bom mobil kemarin juga terjadi di dekat Zona Hijau. “Saya sedang mengemudikan taksi. Tiba-tiba mobil bergoyang dan asap di sekitar mobilku. Saya melihat dua jenazah bergelimpangan di jalanan. Semua orang berlarian dan berteriak,” kata Al Radi, pengemudi taksi, dikutip Reuters.
Sebanyak 10 bom mobil meledak, termasuk dua diantaranya adalah bom bunuh diri. Dua serangan bersenjata juga mewarnai peringatan tersebut. Belum ada kelompok yang mengaku bertanggungjawab atas insiden kekerasan tersebut. Tetapi gerilyawan Sunni memang kerap menargetkan warga sipil Syaih dan petugas pemerintah untuk melakukan aksi destabilisasi di Irak. Kekerasan memang mengalami peningkatan menjelang peringatan invasi Irak yang dimulai 2003.
Berlangsungnya aksi kekerasan itu menjadi sinyal lemahnya kemampuan otoritas keamanan Irak dalam menangani gerilyawan bersenjata. Sejak penarikan pasukan Amerika Serikat (AS) dimuli pada 2011, militer dan polisi Irak dianggap mampu oleh pejabat AS untuk memelihara keamanan internal. Namun, hingga kini, mereka belum mampu melindungi perbatasan negara, wilayah udara dan teritorial maritim. Ketidakmampuan otoritas keamanan Irak ditambah dengan perang sektarian antar beberapa faksi di Irak.
Sementara itu, Iraq Body Count yang berbasis di Inggris menyebutkan lebih dari 112.000 warga sipil telah tewas sejak invasi 2003. Penelitian yang dilakukan The Lancet menjelaskan jumlah korban tewas mencapai 116.000 dari 2003 hingga Desember 2011, ketika pasukan AS telah ditarik mundur.
Pertanyaan kini, bagaimana nasib Irak setelah 10 tahun invasi AS? Dalam pandangan, Gareth Stansfield, pakar Timur Tengah di Universitas Exeter, Inggris, Irak bakal jatuh ke dalam perpecahan yang semakin parah. Banyaknya intrik, persaingan tidak sehat, aliansi tidak sehat dan kebencian menjadi faktor-faktor yang memperkeruh Irak. “Tidak adanya rasa persatuan menjadi salah hal yang menyulitkan Irak,” katanya dikutip Gulf News.
Stansfield memprediksi bakal terjadi permainan berbahaya di Irak. Pemerintahan Irak yang didominasi Syiah, dan itu menjadikan kubu Sunni semakin termarjinalkan dan tidak dihargai. Suku Kurdi juga mendapatkan otonomi penuh dan tetap menginginkan penentuan masa depan mereka sendiri. “Masa depan Irak tak bisa diprediksi,” tegasnya.
Selanjutnya, dalam 10 tahun ulang tahun invasi Irak, rakyat AS masih memiliki perbedaan pendapat mengenai kebenaran dan kesalahan atas penggulingan Presiden Irak Saddam Hussein. Jajak pendapat Gallup menyimpulkan adanya perpecahan pandangan rakyat AS. 53% responden menyatakan mereka kecewa dengan keputusan invasi Irak. 42% mengungkapkan kalau serangan itu sebagai sebuah kesalahan.
Seperti dikutip AFP, jajak pendapat yang digelar dari pendukung Republik, 66% responden menyebut invasi itu bukan sebuah kesalahan. Bagi loyalis Demokrat, 73% mengungkapkan invasi itu sebagai sebuah kesalahan.
Jajak pendapat itu mengindikasi sedikit perubahan opini publik sejak jajak pendapat pada 2008 di mana mayoritas rakyat AS mendukung keputusan mantan Presiden George W. Bush untuk melancarkan perang. Penentangan terhadap perang Irak terjadi puncaknya pada April 2008, di mana 63% responden menyebut invasi itu sebagai kesalahan.
Pemerintahan Bush melancarkan invasi ke Irak untuk menggulingkan diktator Saddam Hussein yang dianggap memiliki senjata pemusnah massal. Namun, selama invasi itu berlangsung, tak ditemukan satu pun senjata massal. (andika hendra m)
Komentar