Indonesia Harus Ambil Untung

Indonesia memiliki peranan yang sangat sentral ketika Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama mengubah orientasi kebijakan luar negerinya dari Timur Tengah ke Asia Pasifik. Indonesia sebagai negara besar dan strategi sangat dilirik oleh Washington untuk menjadi mitra utama dalam mengembangkan pengaruh dan kekuasaannya, terutama dalam bidang militer dan pertahanan. Namun, apa yang harus didapatkan oleh Indonesia dari fokus Asia Pasifik-nya Washinton? Menurut pengamat politik hubungan luar negeri dari Universitas Paramadina, Dinna Wisnu, pivot AS to Asia sebenarnya menguntungkan Indonesia, tetapi Indonesia harus tetap kritis. Karena AS ingin sungguh hadir (atau tetap) hadir di Asia, maka ia bersedia menjadi mitra kerjasama dalam beragam dimensi kegiatan dengan Indonesia. Jika AS dulu lebih mengutamakan pembentukan pakta kerjasama atau pembentukan sekutu baru untuk memblok kekuatan besar baru seperti yang sekarang muncul dari Timur, yakni China, maka sekarang kita menyaksikan pendekatan yang lebih "friendly" dan memudahkan Indonesia untuk bermanuver secara politik. “Dengan kata lain, pintu dialog mungkin jauh lebih terbuka ketimbang waktu sebelumnya,” papar Dinna kepada Harian SINDO. Lebih lanjut, menurut Dinna, Indonesia tetap bisa mempertahankan prinsip politik luar negeri calculative-pragmatism untuk memanfaatkan ruang kerjasama yang dibuka lebih besar oleh AS. Secara politik, dijelaskan Dinna, calculative-pragmatism ini menguntungkan Indonesia, karena dengan AS bersikap demikian, China yang gelisah terhadap AS juga, meningkatkan daya tawarnya dengan cara lebih mendengarkan Indonesia juga. Indonesia lihat sendiri bahwa China sebenarnya mengalami kegelisahan yang luar biasa jika Indonesia tidak memperhatikannya. “Indonesia adalah barometer untuk menjaga kestabilan Asia Tenggara,” terang Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy. Nah, bagaimana dengan dampak orientasi AS ke Asia Pasifik terhadap peningkatan kerjasama militer Indonesia dan AS? Dinna memaparkan kerjasama militer AS dengan Indonesia perlu dipandang secara hati-hati karena dimensinya yang komplek dan menimbulkan polemik di dalam dan luar negeri. “Di satu sisi, kehadiran militer di AS tidak terlalu luar biasa karena memang AS selalu memandang penting urusan penjagaan pertahanan demi akses ekonomi yang lancar dan aman, apalagi karena Indonesia merupakan wilayah yang penting secara geo-strategis, geo-ekonomi dan geo-politik,” ungkapnya. Ditambahkan Dinna, yang menarik adalah karena kerjasama militer itu terjadi ketika ada kegelisahan dari negara-negara lain terkait persepsi akan menurunnya hegemoni (kepemimpinan) AS dalam politik ekonomi global. Apalagi ada kasus Laut China Selatan. Kesannya jadi terjadi kontestasi senjata. “Jangan lupa bahwa kegiatan kerjasama militer AS-Indonesia cukup banyak yg terfokus ke urusan maritim. Dan cukup banyak kegiatan kerjasama militer ini karena terkait upaya mengatasi kriminalitas yang masuk lewat jalur laut (seperti human dan drug trafficking), kegiatan terorisme, dan upaya mengatasi bencana alam besar,” tuturnya. Apalagi, diungkapkan oleh Dinna, Indonesia tidak berniat untuk masuk menjadi aliansi AS. Tidak sama sekali dan tidak ada indikasi ke arah sana dalam berbagai diskusi yang saya temui. Tanggapan Indonesia terhadap pivot AS to Asia sebenarnya cukup tepat yakni dengan menanggapinya secara positif. “Ada pekerjaan rumahnya sekarang ada dua, pertama, Indonesia harus membuat pivot juga ke negara lain --- supaya kita tidak terjebak pada pusaran ketegangan AS dengan China (dan juga Jepang yang sekutu AS itu dengan China). Kita perlu mewujudkan kerjasama strategis militer juga dengan China dan India. Kedua, peluang kerjasama militer dari AS sebenarnya sangat baik untuk memperbaiki standar penjagaan perbatasan, kualitas SDM dan melengkapi teknologi maritim kita. Pihak pemerintah perlu bergerak cepat mengambil kesempatan ini,” terang Dinna. Sementara itu, dalam pandangan pakar hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Hariyadi Wiryawan, Indonesia harus mengambil untung secara nyata dalam kebijakan AS yang berorientasi ke Asia. “Indonesia jangan hanya diminta untuk bertanggungjawab mengenai keamanan semata, tetapi harus ada imbal balik yang jelas dan menguntung,” katanya. Seperti apa imbalan nyatanya? Hariyadi menjelaskan Indonesia harus mendapatkan bantuan pertahanan untuk memperkuat militer. “Jika Indonesia membeli peralatan militer, bukan dengan harga pasar, tetapi mendapatkan harga khusus,” tuturnya. Posisi Indonesia, dalam pandangan Hariyadi, sangat menguntungkan dalam perubahan orientasi kebijakan luar negeri AS. Dengan posisi yang menguntungkan tersebut, Indonesia juga harus dapat mengambil keuntungan yang nyata. Apalagi, Indonesia memiliki potensi yang cukup kuat dan strategi pertahanan yang terarah. Hanya saja, menurut Hariyadi, Indonesia juga harus berhati-hati dalam mengembangkan kerjasama pertahanan dengan AS. Pasalnya, China juga ikut mempelajari permainan diplomasi AS di Indonesia. Apalagi, China juga bakal meningkatkan kerjasama dengan Indonesia di berbagai bidang. “Untuk itu perlunya integrasi kebijakan antara Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan dalam hal kerjasama militer,” katanya. (andika hendra m)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Snowden Tuding NSA Retas Internet Hong Kong dan China

Inovasi Belanda Tak Terpisahkan dari Bangsa Indonesia

Teori Pergeseran Penerjemahan Catford