Tak Ada Peringatan Sebelum Insiden

WASHINGTON– Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) menyatakan tidak mendapat informasi intelijen yang memperingatkan akan terjadi serangan mematikan di Konsulat AS di Benghazi, Libya, bulan lalu. Pernyataan pejabat Deplu AS itu berbeda dengan laporan awal dari pejabat AS,bahwa di sana terjadi unjuk rasa mengecam film anti-Islam. Deplu AS menjelaskan bahwa beberapa jam sebelum serangan,jalanan di luar kompleks Konsulat itu tenang. Lantas,puluhan pria bersenjata menyerbu Konsulat AS, membakar dan memburu para staf. “Serangan 11 September lalu yang menewaskan duta besar AS di Libya dan tiga orang diplomat AS lainnya,merupakan hal yang tidak terduga dalam sejarah diplomatik,” ujar pejabat Deplu ASyangtidakdisebutkan namanya,dikutip AFP. Penjelasan itu merupakan kesaksian para pejabat Deplu AS pada Kongres AS kemarin waktu setempat. Kongres AS kerap mengkritik penanganan Deplu dalam menghadapi serangan di Libya itu. Deplu AS juga menjelaskan tidak ada laporan intelijen yang menyebutkan ancaman serangan bakal terjadi.Apalagi,beberapa jam sebelum serangan, jalanan di depan Konsulat AS di Benghazi juga tenang. Pejabat tinggi Deplu AS menjelaskan sangat sulit untuk mengatakan metode pengamanan seperti apa yang dibutuhkan untuk memukul mundur serangan semacam itu.“Serangan mematikan dan banyak jumlah orang bersenjata yang menyerang konsulat tak dapat diduga.Sebelumnya tidak pernah ada serangan semacam itu di Libya,Tripoli atau Benghazi, atau di mana pun pada waktu kita berada di sana,”ujarnya. Deplu AS bakal memberikan pengarahan detail tampak menjadi upaya untuk mencegah kritik dari kongres.Sidang kongres tersebut merupakan bagian dari penyelidikan situasi keamanan di Benghazi menjelang serangan dan merupakan penyidikan publik pertama di Capitol Hill. Dua pejabat Deplu AS yang bersaksi di kongres sebelumnya mengatakan bahwa Washington menolak permohonan keamanan tambahan.Salah seorang di antaranya, Eric Nordstorm, mengatakan dalam dokumen kepada komite kongres bahwa seorang pejabat Deplu bernama Charlene Lamb, menginginkan kehadiran keamanan di Benghazi tetap rendah. Saat berbicara kepada jurnalis, dua pejabat Deplu itu menjelaskan kronologi serangan mematikan itu. Serangan terjadi pada pukul 09.40 malam waktu setempat pada 11 September. Insiden itu hanya beberapa saat sebelum Dubes Chris Stevens hendak tidur. Stevens dan tiga staf diplomatik lainnya tewas akibat serangan bersenjata. Ledakan dan rentetan senjata api pertama terjadi di luar kompleks Konsultan AS. Para agen keamanan AS melihat dari kamera keamanan yang menunjukkan sejumlah pria bersenjata memasuki kompleks konsulat. Beberapa penyerang kemudian mulai memasuki kompleks dan membakar perabotan di sana. “Seorang petugas keamanan AS langsung membangunkan Stevens; dan bersama manajer informasi AS Sean Smith, mereka berusaha menyelamatkan diri di kloset kamar tidur yang dirancang seperti benteng yang aman,dilengkapi dengan suplai medis dan air,”kata pejabat Deplu itu. Namun,ketiga orang itu mengalami kesulitan bernapas dan setelah ke kamar mandi dengan jendela terbakar.Mereka memutuskan keluar meskipun masih ada tembakan dan ledakan di dalam kompleks konsulat. Saat upaya menyelamatkan diri, ketiganya terpisah. Smith meninggal karena terbakar dan jasadnya ditemukan saat pencarian oleh personel keamanan AS.Adapun Stevens sempat dilarikan ke rumah sakit, dan jasadnya kemudian dikembalikan ke staf diplomatik AS malam itu. Seperti dikutip BBC,dua pegawai Deplu yang dijadwalkan memberikan keterangan kemarin adalah dua petugas keamanan yang ditugaskan di Libya. Mereka mengatakan bahwa Deplu menolak permintaan untuk penambahan keamanan. Salah satu petugas keamanan itu, Eric Nordstrom, mengatakan dalam dokumen yang dikirim ke komite kongres bahwa pejabat Deplu Charlene Lamb menjelaskan tentang jumlah petugas keamanan di Benghazi sangat sedikit. Pegawai Deplu Patrick Kennedy dan Letnan Kolonel Andrew Wood yang bertugas di Kedubes AS di Tripoli, juga bakal memberikan kesaksian. Insiden di Benghazi, Libya itu menjadi senjata bagi kampanye Partai Republik untuk menyerang Partai Demokrat yang ingin mempertahankan kekuasaan. Sebelumnya, Duta Besar AS untuk PBB Susan Rice menyebut serangan itu terjadi spontan pascaprotes mengecam film anti-Islam yang dibuat di AS. Penyelidikan kongres itu menjadi sangat sensitif karena berlangsung hanya beberapa pekan sebelum pemilu AS pada 6 November. Kandidat presiden Republik Mitt Romney menggunakan isu Libya itu untuk melancarkan kritikan pedas terhadap Presiden Barack Obama. ●andika hendra m http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/534203/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Snowden Tuding NSA Retas Internet Hong Kong dan China

Inovasi Belanda Tak Terpisahkan dari Bangsa Indonesia

Teori Pergeseran Penerjemahan Catford