Rakyat Suriah Menanti Kemenangan di Bulan Suci
DAMASKUS – Tidak ada ketenangan dan ketentraman di Suriah. Perang sipil melanda negara yang kaya akan perabadan Islam itu. Mereka pun menanti kemenangan sebenarnya di bulan suci ini meski diawali dengan penderitaan.
Rakyat Suriah harus melalui bulan suci kali dengan dentuman artileri dan rentetan suara senapan mesin yang selalu membahana di sepanjang siang hingga malam hari. Jalanan yang umumnya ramai dipenuhi oleh anak-anak yang bersuka cita menyambut datangnya bulan suci, kini hanya dilalui oleh tentara Suriah yang selalu waspada terhadap serangan kubu oposisi.
Tidak ada lagi teriakan anak kecil dan candaan dari orang tua yang menggoda anak mereka karena membatalkan puasa. Tidak ada lagi menu makanan yang enak dan lezat karena pasar dan toko bahan makanan tutup karena takut menjadi korban perang sipil. Tidak ada keramaian untuk merayakan Ramadan.
Namun, seluruh rakyat Suriah memimpin mereka memperoleh kemenangan lahir batin, yakni tumbangnya Presiden Bashar al-Assad. “Ramadan bakal menjadi bulan kemenangan bagi pencari kebenaran yang menuntut kebebasan, keadilan dan martabat bagi rakyat kita,” demikian diumumkan kubu oposisi Dewan Nasional Suriah (SNC). Pengumuman itu diungkapkan sebagai ucapan selamat bagi warga Muslim Suriah yang memulai puasa sejak Jumat (20/7) lalu. SNC menginginkan bulan Ramadan sebagai bulan yang penuh rahmat dan barokah bagi rakyat Suriah.
Para pejuang oposisi rela meninggalkan keluarga mereka demi satu tujuan untuk menumbangkan Presiden Bashar al-Assad. Umumnya, para pejuang oposisi itu merupakan para tentara yang disersi dan membelot dari militer yang dipimpin Asad. Mereka menganggap itu sebagai bentuk perjuangan menuju masa depan Suriah yang lebih baik.
Kemudian, banyak juga rakyat Suriah mengutamakan kepentingan masa depan dan keselamatannya dengan mengungsi ke negara tetangga. Seperti halnya dilakukan seorang pegawai swasta dari Dael, Provinsi Daraa, Suriah. Dia lebih memilih mengungsi karena menganggap Suriah tidak lagi aman untuk ditinggali. Dia dan istri dan lima anaknya mengungsi ke Jordania.
“Tetangga saya tewas karena terkena misil,” katanya. Dia memutuskan untuk mengungsi sebelum anaknya menjadi korban.
Kemudian, para penduduk ibukota Suriah, Damaskus, juga harus terbiasa dengan ketidaknyamanan. Apalagi, pasukan pemberontak telah memasuki Damaskus. Para warga lebih memilih mengamankan diri mereka di rumah. “Jalanan ditutup. Banyak tank yang berterbaran di jalanan,” kata Wajeeh, pekerja swasta, kepada Reuters.
Suasana mencekam itu mereka hidup dalam ketidaknyamanan dalam menjalankan ibadah puasa. Seorang penduduk Mezzeh, distrik kelas menengah di Damaskus, helikopter militer selalu terbang rendah dengan membawa senapa mesin. “Para pemberontak berperang dengan senapan otomatis,” kata penduduk yang enggan disebutkan namanya.
Kemudian, seorang penduduk di Barzeh, pemukiman kelas menengah di Damaskus, mengungkapkan dirinya telah terbiasa dengan suara dentuman mortir. Dia juga terbiasa dengan banyaknya penembak jitu yang ditempatkan di sekitar pemukiman minoritas Alawi yang dikenal sebagai pendukung utama Assad.
Dikarenakan situasi semakin memburuk, banyak warga Suriah lebih memilih beribadah di rumah dibandingkan di masjid. Suasana di rumah Tuhan itu tidak terlalu ramai dibandingkan dengan kondisi sebelum perang sipil. Sebagian warga lebih memilih aman dibandingkan resiko harus menjadi salah sasaran tembak baik dari pasukan pemerintah dan pemberontak. (andika hendra m)
Komentar