Budaya Senjata Hantui Rakyat AS
COLORADO – Terjadinya penembakan massal di bioskop di Aurora, Colorado, Amerika Serikat (AS) memicu isu mengenai amandemen kedua konstitusi dan undang-undang penjualan senjata.
Sedikitnya, tragedi Aurora itu menambahkan jumlah kasus penembakan massal yang pernah terjadi sebelumnya, seperti (1999), Virginia Tech (2007) dan Tucson (2011). Rakyat AS pun tidak belajar dari tragedi memilukan itu.
Rakyat AS mampu membeli senjata seperti mereka membeli burger. Tak mengherankan jika kepemilikan senjata menjadi sebuah budaya yang sangat kental. Bahkan ada pameo yang dianggap sebagai sebuah kelaziman bahwa “jangan mengaku menjadi warga AS jika tidak memiliki senjata”.
Adanya alasan untuk melindungi diri sendiri dari gangguan senjata menjadi alasan utama kebanyakan rakyat AS. Apalagi, persepsi yang beredar di masyarakat AS bahwa misalnya ada aturan pembatasan penjualan senjata sebagai pembatasan hak warga negara dan itu merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Wali Kota New York Michael Bloomberg termasuk pihak yang mengkritis keras ketidakbecusan Pemerintah AS dalam mengendalikan peredaran senjata api. Dia menegaskan, semua walikota di AS memiliki masalah mengenai senjata sebagai isu jalanan.
“Anda dan saya tidak dapat memecahkan masalah itu. Tetapi kita dapat meminta para presiden yang terpilih (Presiden Barack Obama dan kandidat Republik Mitt Romney) untuk memberikan solusi mengenai isu itu,” katanya dikutip CNN. Sebagai pemimpin Aliansi Walikota Anti Senjata Ilegal itu menyebutkan walikota tidak memiliki kebijakan yang mengatur penjualan senjata.
Kandidat presiden Romney sudah jelas tidak mendukung pengubahan aturan hukum soal senjata api. Dia mengatakan aturan senjata tidak cukup dan bukan sebagai solusi. “Saya tidak percaya dengan undang-undang baru bakal meniadakan tragedi (penembakan massal),” tuturnya. Menurut dia, tantangan terletak pada orangnya yang tidak dapat berpikir, tidak bisa berimajinasi dan tidak dapat memahami lingkungannya.
Sementara Obama sepertinya bakal mendukung revisi undang-undang mengatur pembelian dan penjualan senjata. Hanya belum jelas seperti apa amandemen aturan tersebut. “Saat ini bukan saatnya untuk merundingkan aturan baru mengenai senjata,” kata Obama.
Suara pengetatan aturan kepemilikan senjata juga menyeruak dari warga AS. Gitaris band Anthrax, Scott Ian, meminta dengan sangat agar aturan baru ihwal kepemilikan senjata di AS diperbarui berkenaan dengan tragedi itu. Dia juga mendukung gerakan stop penjualan senjata, agar tidak jatuh ke tangan orang yang salah.
“Saya adalah pencinta senjata, yang mempunyai masalah besar ihwal bagaimana dengan mudahnya setiap orang mampu memiliki barang mematikan itu. Ujaran lawas yang mengatakan, ‘Jika senjata adalah melawan hukum, dan hanya orang-orang melawan hukum saja yang memiliki senjata,’ sudah tidak ada artinya lagi,” kata Ian dalam status Twitter-nya.
Buktinya, orang-orang melawan hukum itu mendapatkan senjata mereka dengan cara ilegal, dan menggunakan senjata mereka demi mendapatkan sejumlah keuntungan finansial. Tapi mereka tidak menembakkan senjatanya kepada orang-orang tidak bersalah di dalam gedung bioskop. Soalnya tidak ada uang di gedung bioskop,” tegas Ian.
Namun ada juga warga AS yang menolak amanden konstitusi itu. John Oberly, 51, pelatih rugby, menegaskan tidak pantas menyalahkan senjata sebagai pemicu masalah. “Jika saya ada di lokasi kejadian, saya akan menghentikan aksi itu,” tuturnya. Oberly mengatakan kalau membeli senjata di AS memang sangat mudah, tentunya jika pembelinya bukan seorang pelaku kriminal.
Sementara itu, dengan rambut bercat oranye dan tatapan mata yang kosong, terdakwa kasus pembunuhan massal James Holmes, pada Senin (23/7) waktu setempat hadir di pengadilan. Pria yang mengaku sebagai “Joker” itu harus menghadapi dakwaan pembunuhan yang menewaskan 12 orang dan 58 orang terluka. Mengenak pakaian penjara berwarna merah, dia tidak banyak berbicara. Dia hanya diam ketika para jaksa penuntut umum membacakan dakwaan di Pengadilan Distrik Arapahoe.
Mantan kandidat doktor dalam bidang ilmu syaraf tampak bingung saat mengikuti persidangan. Ketika menghela nafas, Holmes menutup matanya sebentar. Terkadang tatapan mantanya tegas tetapi memandang sesuatu yang hampa. Dia memasuki ruang sidang pada pukul 9.30 waktu setempat.
Holmes menghadapi 12 dakwaan terkait pembunuhan tingkat pertama. Dia juga terancam dijerat dakwaan soal penyerangan dan kepemilikan senjata-senjata berbahaya. Secara resmi kejaksaan baru akan memasukkan dakwaan pada 30 Juli mendatang. Selama menunggu proses pengadilan, hakim memutuskan Holmes ditahan di Tahanan Centennial, Colorado tanpa kemungkinan bebas dengan jaminan.
Sementara, seorang jaksa mengatakan sidang James Holmes ini kemungkinan besar akan berlangsung lama setidaknya selama satu tahun. Dia menambahkan kator jaksa Carol Chambers tengah mempertimbangkan untuk memaksakan hukuman mati untuk Holmes.
“Tetapi keputusan soal mendesak hukuman mati akan dikonsultasikan dengan keluarga korban,” kata jaksa yang tidak disebutkan namanya itu.
Dalam tragedi itu 12 orang tewas termasuk seorang anak perempuan berusia enam tahun dan dua orang anggota militer AS. Dikhawatirkan jumlah korban tewas bertambah karena dari 58 orang yang kini dirawat di rumah sakit sembilan orang di antaranya masih dalam kondisi kritis.
Saat ini Biro Penyelidik Federal (FBI) saat ini sedang mengumpulkan barang bukti dan para penyelidik mengatakan komputer yang ditemukan di dalam apartemen Holmes diharap bisa memberikan bukti-bukti penting. Dalam beberapa bulan terakhir polisi menduga Holmes telah mengumpulkan 6.300 butir peluru, 3.000 butir untuk senapan semi otomatis AR-15 dan 3.000 butir lainnya untuk pistol Glock kaliber 40mm, 22 pistol serta 300 dus peluru senapan berburu. (andika hendra m)
Komentar