AS-NATO Berpikir Seribu Kali Menyerang Suriah
Amerika Serikat (AS) dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) sepertinya tidak masukan terlalu dalam kekisruhan Suriah. Meskipun, Partai Republik memaksa Gedung Putih untuk bertindak lebih keras terhadap Suriah. Tapi, Presiden Barack Obama lebih banyak pertimbangan mengikuti kritikan oposisinya itu.
Kenapa AS dan NATO terlalu hati-hati? Jawabannya adalah Suriah bukan seperti Libya atau Tunisia. Suriah sangat berbeda. Itulah yang sangat dipahami oleh AS dan NATO.
“Militer Suriah merupakan salah satu kekuatan yang sangat tertata baik dan sangat siap untuk kemungkinan berperang dengan Israel,” kata Wayne White, pakar Timur Tengah, dikutip Xinhua. Suriah berbatasan langsung dengan Israel. Kedua Negara itu juga dikenal sebagai musuh bebuyutan yang saling menyimpan bara dendam kesumat.
Tentunya itu sangat berbeda dengan operasi militer NATO di Libya. NATO memahami bahwa militer Libya tidak memiliki perlengkapan dan persenjata militer yang mumpuni dan serta bukan sebagai angkatan bersenjata yang kompeten. “NATO tidak memberlakukan operasi militer melawan Suriah,” kata mantan deputi Biro Intelijen dan Penelitian Departemen Luar Negeri AS. Tapi, dia menegaskan sikap skeptic itu di luar kemampuan militer NATO.
Selain kemampuan militer, factor geografi menjadi factor penghambat bagi AS dan NATO untuk menyerang Suriah. Geografis Suriah sangat berbeda dengan Libya yang memiliki garis pantai. Posisi Suriah sangat menyulitkan pesawat tempur NATO dalam menumbangkan kekuatan militer musuhnya.
Salah satu kekhawatiran utama AS dan NATO adalah kemungkinan Suriah memiliki senjata kimia. Pemerintahan Obama juga telah menyiapkan segala kemungkinan jika Assad menggunakan senjata kimia sebagai solusi dalam menangani krisis politik kali ini. “Pemerintah Suriah bertanggungjawab untuk menyimpan cadangan senjata kimianya. Dunia internasional juga menuntut akuntabilitas pejabat Suriah yang tidak memenuhi komitmen itu,” kata Juru Bicara Gedung Putih Jay Carney dikutip New York Times.
Tak kalah penting adalah pertimbangan dukungan diplomasi yang sangat kuat dari Moskow dan Beijing terhadap Damaskus. Dukungan itu sangat kuat karena Moskow merupakan sekutu yang sangat dekat bagi Damaskus. Bahkan adalah laporan kalau Rusia menyuplai senjata dan perlengkapan militer untuk Suriah.
Kemudian, Damaskus juga memiliki hubungan yang sangat mesra dengan Teheran. Dikhawatir jika menyerang Suriah, maka Timur Tengah bakal memanas dan meluas. Apalagi, AS dan NATO sangat mengkhawatir jika Iran menggunakan kekuatan militernya untuk membantu Suriah. Apalagi, Iran dan Suriah masih dalam satu kawasan.
Dukungan Hezbullah terhadap Assad juga mengkhawatirkan. Hezbullah pernah memberikan kejutan bagi Israel ketika Negeri Zionis itu menyerang basis mereka di Lebanon. Jaringan Hezbullah yang tersebar di berbagai belahan dunia mengkhawatir Negara-negara Barat jika mereka melakukan aksi balasan.
Gedung Putih pada Rabu (18/7) menegaskan bahwa militer AS tidak akan melibatkan diri dalam kekerasan yang memuncak di Suriah.
Sikap diam Gedung Putih mendapatkan kecaman kubu Republik yang menginginkan adanya intervensi lebih keras. “Saya tidak berpikir bahwa kita melakukan sesuatu yang cukup,” kata Senator Republik Lindsey Graham dikutip FoxNews.
Graham berpandangan bahwa tumbangnya Presiden Suriah Bashar al-Assad secepatnya merupakan kepentingan keamanan nasional Suriah. “Iran sedang mengamati apa yang kita lakukan,” katanya. Selain itu, Graham juga meminta agar AS mempersenjatai pemberontak dan menjadi koalisi yang menyerukan zona larangan terbang.
AS dan NATO juga belajar dari Turki dalam memahami kehati-hatian dalam menyerang Suriah. Turki, sebagai anggota NATO dan tetangga Suriah, berpikir seribu kali jika ingin melakukan tindakan responsive. Diungkapkan Fouad Ajami dari pengamat politik dari Hoover Institution, Perdana Menteri (PM) Turki Recep Tayyip Erdogan, sangat tertekan untuk menyelamatkan rakyat Suriah.
“Turki memiliki angkatan militer yang solid. Luas wilayah Turki itu empat kali lipat lebih luas dibandingkan Suriah,” kata Ajami kepada CNN. Turki dapat saja menyerang Suriah ketika pesawat tempurnya ditembak jatuh rezim Assad. Tapi, itu tidak dilakukan Ankara.
Sebenarnya apa yang ditakutkan Turki adalah dampak setelah serangan, seperti pengungsi yang bakal membanjiri Negara. Selain itu, Ankara sangat dikhawatir jika pemerintahan Suriah nantinya bakal dikuasai oleh etnik Kurdi. Pasalnya, Turki kerap berperang dengan para pemberontak Kurdi.
Semantara dalam pandangan Kiro K Skinner, Direktur Hubungan Internasional dan Politik dari Universitas Carnegie Mellon, menegaskan AS harus belajar dari pengalaman masa lalu. Pada 23 Oktober 1983, bom bunuh diri menewaskan 241 tentara AS dan 60 tentara Prancis di barak Marinir di bandara Beirut. Saat itu, AS memberikan dukungan terhadap invasi Israel ke Lebanon dan Suriah.
Pengalaman itu sangat berharga bagi AS. Sejak saat itu, Presiden Ronald Reagan menggunakan pendekatan diplomasi dalam melakukan upaya untuk menjinakkan Suriah dan Lebanon. Ada kekhawatiran yang sangat mendalam jika AS memberikan dukungan untuk menyerang Suriah saat ini, tragedy itu bakal terjadi kembali. Sepertinya, pelajaran itu membekas pada pemerintahan Obama karena khawatir menyerang Suriah sama saja bunuh diri.
Tidak Ada Happy Ending
Jika AS dan NATO memainkan skenario terburuk dengan menyerang Suriah, maka Timur Tengah bakal dilanda perang besar. Ketidakstabilitas keamanan bakal merambat ke Israel, Iran, Arab Saudi, Jordania, Lebanon dan negara Timur Tengah Lainnya. “Konflik yang makin meruncing tidak hanya terjadi di Suriah, tetapi seluruh wilayah Timur Tengah,” tutur Nabil el-Arabi, Sekjend Liga Arab.
Menurut Aaron David Miller, peneliti dari Pusat Kajian Internasional Woodrow Wilson di Washington, kalau rezim Assad berhasil ditumbangkan, maka itu bakal memicu aksi balas dendam dari etnik minoritas Syiah Alawi yang menjadi pendukung utama rezim diktator itu. Kelompok etnik Alawi dikenal sebagai pejuang yang sangat setia terhadap para pemimpin mereka. Selain itu, mereka juga dekat dengan para pejuang Hizbullah dan Iran.
Sekutu utama Assad, Iran dan Rusia bakal menjadi pihak yang kalah jika transisi kekuasaan Suriah ke kubu oposisi. Konflik Suriah bakal menjadi perang pengaruh antara kekuatan Barat dan non-Barat.
Miller berpandangan bahwa nasib Suriah bakal seperti Irak setelah Assad tumbang. Perang antar faksi bakal terjadi. Minoritas Alawi yang ingin berkuasa. Apalagi, sebagian besar etnik Alawi menguasai kekayaan negara dan aset militer. Mayoritas Sunni yang tentunya mendukung oposisi dan melakukan aksi balas dendam kepada Alawi. Serta minoritas Kristen dan Kurdi yang lebih memilih stabilitas. “Perpercahan antar faksi sangat mungkin terjadi dan semakin membahayakan,” katanya.
Parahnya, jika Suriah mengalami kevakuman kekuasaan yang cukup lama. Ada kemungkinan teroris dan para gerilyawan radikal bakal menguasai Damaskus. “Meskipun Assad turun, Suriah tetap menjadi pusat ketidakstabilan regional minimal selama satu dekade,” kata Aram Nerguizian, peneliti Center for Strategic and International Studies di Washington. (andika hendra m)
Komentar