Hong Kong Batalkan Pemberian Status Penduduk Tetap Bagi PRT
HONG KONG – Pengadilan Hong Kong kemarin membatalkan keputusan mengenai pengajuan status penduduk tetap bagi Pembantu Rumah Tangga (PRT). Dengan demikian, para PRT dari luar negeri tidak memiliki hak untuk menetap di Hong Kong.
Keputusan pengadilan itu sebagai kemenangan bagi Pemerintah Hong Kong. Mereka sangat khawatir jika keputusan pemberian status penduduk tetap maka bakal memicu ribuan PRT asing untuk mengajukan hak untuk tinggal di kota itu.
“Itu tergantung dengan otoritas kedaulatan untuk memutusan untuk mempertimbangkan status penduduk yang diberikan kepada warga asing,” kata Hakim Andrew Cheung dalam keputusan pengadilan setebal 66 halaman dikutip AFP. Cheung pun menerima banding yang diajukan pemerintah.
Pengadilan Tinggi Hong Kong pada 30 September lalu mengabulkan permohonanan PRT asal Filipina Evangeline Banao Vallejos mengenai hak pengajuan status penduduk tetap. Awalnya, keputusan disambut hangat karena aturan itu tidak pernah diterima oleh otoritas Hong Kong.
Pemerintah Hong Kong mengungkapkan bahwa mereka memiliki kekuatan memilih untuk memutuskan siapa yang layak menjadi penduduk. Mereka juga menolak argumen bahwa pembatasan hak menjadi penduduk tetap bagi PRT dianggap tidak konstitusional dan diskriminasi.
Panel tiga hakim di pengadilan banding diterima dengan suara bulat. Mereka sepakat bahwa argumen yang menyebutkan bahwa Pengadilan Tinggi tidak dapat mengesampingkan kewenangan pemerintah untuk memutuskan siapa yang bisa hidup di kota dan siapa yang tidak bisa. Keputusan pengadilan banding ini menjadi pukulan besar bagi puluhan ribu PRT yang memenuhi syarat mendapatkan status tinggal jika kasus Vallejos ditetapkan secara hukum.
“Ini merupakan prinsip dasar dalam hukum internasional bahwa negara berdaulat memiliki kekuasaan untuk mengakui, mengecualikan, dan mengusir orang asing,” kata Cheung.
Sayangnya, para pengacara Vallejos tidak hadir di pengadilan. Sebelumnya, mereka sebelumnya mengindikasikan bahwa mereka akan membawa kasus ini ke pengadilan tertinggi Hongkong, bahkan kalau perlu ke pengadilan tingkat kasasi. “Ada sejumlah persoalan terkait hukum yang cukup ketat dan juga prinsip. Kami yakin bisa memenanginya,” kata Mark Daly kepada BBC. “Interpretasi hukum menciptakan penduduk kelas dua.”
Para pendukung hak-hak warga sipil pun menyebutkan keputusan banding itu memberikan pesan salah kepada bangsa Asia lain bahwa mereka tergantung dengan PRT yang dibayar murah dari negara-negara miskin. “Itu bukan hanya mengenai upaya hak tinggal di Hong Kong. Kita tidak ingin dikecualikan,” ujar kelompok Dewan Koordinasi Migran Asia (AMCB) Eni Lestari di luar pengadilan.
AMCB itu beranggotakan 10.000 PRT di Hong Kong, termasuk 300.000 orang dari Indonesia dan Filipina. Lestari mengungkapkan PRT asing seharusnya tidak diperlakukan berbeda dengan warga asing lainnya yang bekerja sebagai pengacara, bankir, akuntan, dan manajer.
“Apa yang membuat kita berbeda dengan orang lain? Kita bekerja keras, kita mendukung keluarga kita juga,” kata Lestari. “Kita terikat dengan kebijakan imigrasi Hong Kong yang mengecualikan kita. Ini merupakan bentuk diskriminasi yang sangat jelas,” imbuhnya.
Para PRT di Hong Kong mendapatkan upah minimun senilai USD480 (Rp4,3 juta) per bulan. Mereka juga mendapatkan bonus dan garansi libur selaman satu hari setiap pekan. (andika hendra m)
Keputusan pengadilan itu sebagai kemenangan bagi Pemerintah Hong Kong. Mereka sangat khawatir jika keputusan pemberian status penduduk tetap maka bakal memicu ribuan PRT asing untuk mengajukan hak untuk tinggal di kota itu.
“Itu tergantung dengan otoritas kedaulatan untuk memutusan untuk mempertimbangkan status penduduk yang diberikan kepada warga asing,” kata Hakim Andrew Cheung dalam keputusan pengadilan setebal 66 halaman dikutip AFP. Cheung pun menerima banding yang diajukan pemerintah.
Pengadilan Tinggi Hong Kong pada 30 September lalu mengabulkan permohonanan PRT asal Filipina Evangeline Banao Vallejos mengenai hak pengajuan status penduduk tetap. Awalnya, keputusan disambut hangat karena aturan itu tidak pernah diterima oleh otoritas Hong Kong.
Pemerintah Hong Kong mengungkapkan bahwa mereka memiliki kekuatan memilih untuk memutuskan siapa yang layak menjadi penduduk. Mereka juga menolak argumen bahwa pembatasan hak menjadi penduduk tetap bagi PRT dianggap tidak konstitusional dan diskriminasi.
Panel tiga hakim di pengadilan banding diterima dengan suara bulat. Mereka sepakat bahwa argumen yang menyebutkan bahwa Pengadilan Tinggi tidak dapat mengesampingkan kewenangan pemerintah untuk memutuskan siapa yang bisa hidup di kota dan siapa yang tidak bisa. Keputusan pengadilan banding ini menjadi pukulan besar bagi puluhan ribu PRT yang memenuhi syarat mendapatkan status tinggal jika kasus Vallejos ditetapkan secara hukum.
“Ini merupakan prinsip dasar dalam hukum internasional bahwa negara berdaulat memiliki kekuasaan untuk mengakui, mengecualikan, dan mengusir orang asing,” kata Cheung.
Sayangnya, para pengacara Vallejos tidak hadir di pengadilan. Sebelumnya, mereka sebelumnya mengindikasikan bahwa mereka akan membawa kasus ini ke pengadilan tertinggi Hongkong, bahkan kalau perlu ke pengadilan tingkat kasasi. “Ada sejumlah persoalan terkait hukum yang cukup ketat dan juga prinsip. Kami yakin bisa memenanginya,” kata Mark Daly kepada BBC. “Interpretasi hukum menciptakan penduduk kelas dua.”
Para pendukung hak-hak warga sipil pun menyebutkan keputusan banding itu memberikan pesan salah kepada bangsa Asia lain bahwa mereka tergantung dengan PRT yang dibayar murah dari negara-negara miskin. “Itu bukan hanya mengenai upaya hak tinggal di Hong Kong. Kita tidak ingin dikecualikan,” ujar kelompok Dewan Koordinasi Migran Asia (AMCB) Eni Lestari di luar pengadilan.
AMCB itu beranggotakan 10.000 PRT di Hong Kong, termasuk 300.000 orang dari Indonesia dan Filipina. Lestari mengungkapkan PRT asing seharusnya tidak diperlakukan berbeda dengan warga asing lainnya yang bekerja sebagai pengacara, bankir, akuntan, dan manajer.
“Apa yang membuat kita berbeda dengan orang lain? Kita bekerja keras, kita mendukung keluarga kita juga,” kata Lestari. “Kita terikat dengan kebijakan imigrasi Hong Kong yang mengecualikan kita. Ini merupakan bentuk diskriminasi yang sangat jelas,” imbuhnya.
Para PRT di Hong Kong mendapatkan upah minimun senilai USD480 (Rp4,3 juta) per bulan. Mereka juga mendapatkan bonus dan garansi libur selaman satu hari setiap pekan. (andika hendra m)
Komentar