PM Gilani Didakwa Hina Pengadilan
ISLAMABAD – Perdana Menteri (PM) Pakistan Yousuf Raza Gilani kemarin dinyatakan resmi didawa menghina Mahkamah Agung.
Pengadilan menunjuk Jaksa Agung Maulvi Anwar ul-Haq untuk memimpin penuntutan.
Hakim Nasir ul-Mulk membacakan dakwaan dan menanyai apakah Gilani mendengarkannya. “Ya,” jawab Gilani. “Apakah Anda mengaku bersalah,” tanya Hakim Mulk. “Tidak,” jawab Gilani.
Dakwaan itu dapat melengserkan Gilani dari jabatannya. Tapi, dia tak putus asa. Langkah banding pun ditempuhnya karena menganggap tak bersalah dalam kasus penolakan untuk membuat surat kepada otoritas Swiss agar membuka kembali kasus korupsi Presiden Asif Ali Zardari.
Jika dinyatakan bersalah, Gilani dapat menjatuhi hukuman selama enam tahun penjara dan dipecat dari jabatannya. Itu bakal menciptakan ketidakstabilan dan memaksa dilakukannya pemilu dipercepat di Pakistan.
Zardani dan mendiang istrinya, mantan PM Benazair Bhutto, diduga menggunakan rekening bank Swiss sebesar USD12 juta untuk pencucian uang. Rekening itu digunakan kedua pasangan untuk menampung suap dari perusahaan asing yang memiliki kontrak dan bisnis di Pakistan pada 1990-an.
Gilani mengaku dirinya tidak bersalah. Dia bersikeras bahwa Zardari memiliki kekebalan hukum sebagai presiden. Adanya motivasi politik dituduhkan Gilani menanggapi keputusan pengadilan itu.
“Ada banyak kasus yang dituduhkan terhadapnya (Zardari). Semua bermotif politik,” tutur Gilani dikutip Reuters. “Dia (Zardari) memiliki imunitas. Bukan hanya di Pakistan, tetapi imunitas transnasional, bahkan di seluruh dunia.”
Dalam wawancara dengan Al-Jazeera pada akhir pekan lalu, Gilani mengaku tidak akan mengundurkan diri jika dinyatakan bersalah. “Saya bahkan seharusnya tidak menjadi anggota parlemen,” lanjutnya.
Gilani sendiri hadir dalam pembacaan dakwaan itu. Kantor Mahkamah Agung dijaga ketat oleh polisi dan militer. Dia sendiri tiba di gedung itu menggunakan helikopter dengan jas berwarna gelap dan berdasi abu-abu.
Sebenarnya kasus Zardari menjadi duri dalam daging dalam pemerintahan. Pemerintah Swiss pengesampingkan kasus korupsi Zardari pada 2008 karena sangat tidak mungkin membuka kasus itu selama Zardari menjadi presiden dan memiliki kekebalan hukum. Tapi, Zardari yang dikenal dengan “Bapak 10 Persen” itu pernah dipenjara selama 11 tahun di Pakistan atas tuduhan korupsi dan pembunuhan. Padahal, selama ini dia tidak pernah divonis oleh pengadilan.
Sementara para pejabat pemerintah dan parlemen menyebut para hakim melangkahi wewenang terlalu jauh karena ingin menjatuhkan PM dan presiden. “Itu merupakan suatu hal yang menyedihkan bagi Pakistan,” ujar Qamar Zaman Kaira, anggota senior Partai Rakyat Pakistan (PPP) yang dipimpin Zardari dan Gilani, kepada AFP.
Para pengamat menyebutkan prospek masa depan Gilani sepertinya suram. “Saya pikir ini merupakan masa akhir bagi seorang PM berhadapan dengan pengadilan,” kata Rasool Bux Rais, apakar politik di Lahore, Pakistan, dikutip CNN.
Dalam pandangan Imtiaz Gul, penulis dan pakar politik, meskipun Zardari dinyatakan bersalah, maka dia tidak dipenjara. “Zardari masih memiliki pengampunan sebagai tameng terakhir,” kata Gul. (andika hendra m)
Pengadilan menunjuk Jaksa Agung Maulvi Anwar ul-Haq untuk memimpin penuntutan.
Hakim Nasir ul-Mulk membacakan dakwaan dan menanyai apakah Gilani mendengarkannya. “Ya,” jawab Gilani. “Apakah Anda mengaku bersalah,” tanya Hakim Mulk. “Tidak,” jawab Gilani.
Dakwaan itu dapat melengserkan Gilani dari jabatannya. Tapi, dia tak putus asa. Langkah banding pun ditempuhnya karena menganggap tak bersalah dalam kasus penolakan untuk membuat surat kepada otoritas Swiss agar membuka kembali kasus korupsi Presiden Asif Ali Zardari.
Jika dinyatakan bersalah, Gilani dapat menjatuhi hukuman selama enam tahun penjara dan dipecat dari jabatannya. Itu bakal menciptakan ketidakstabilan dan memaksa dilakukannya pemilu dipercepat di Pakistan.
Zardani dan mendiang istrinya, mantan PM Benazair Bhutto, diduga menggunakan rekening bank Swiss sebesar USD12 juta untuk pencucian uang. Rekening itu digunakan kedua pasangan untuk menampung suap dari perusahaan asing yang memiliki kontrak dan bisnis di Pakistan pada 1990-an.
Gilani mengaku dirinya tidak bersalah. Dia bersikeras bahwa Zardari memiliki kekebalan hukum sebagai presiden. Adanya motivasi politik dituduhkan Gilani menanggapi keputusan pengadilan itu.
“Ada banyak kasus yang dituduhkan terhadapnya (Zardari). Semua bermotif politik,” tutur Gilani dikutip Reuters. “Dia (Zardari) memiliki imunitas. Bukan hanya di Pakistan, tetapi imunitas transnasional, bahkan di seluruh dunia.”
Dalam wawancara dengan Al-Jazeera pada akhir pekan lalu, Gilani mengaku tidak akan mengundurkan diri jika dinyatakan bersalah. “Saya bahkan seharusnya tidak menjadi anggota parlemen,” lanjutnya.
Gilani sendiri hadir dalam pembacaan dakwaan itu. Kantor Mahkamah Agung dijaga ketat oleh polisi dan militer. Dia sendiri tiba di gedung itu menggunakan helikopter dengan jas berwarna gelap dan berdasi abu-abu.
Sebenarnya kasus Zardari menjadi duri dalam daging dalam pemerintahan. Pemerintah Swiss pengesampingkan kasus korupsi Zardari pada 2008 karena sangat tidak mungkin membuka kasus itu selama Zardari menjadi presiden dan memiliki kekebalan hukum. Tapi, Zardari yang dikenal dengan “Bapak 10 Persen” itu pernah dipenjara selama 11 tahun di Pakistan atas tuduhan korupsi dan pembunuhan. Padahal, selama ini dia tidak pernah divonis oleh pengadilan.
Sementara para pejabat pemerintah dan parlemen menyebut para hakim melangkahi wewenang terlalu jauh karena ingin menjatuhkan PM dan presiden. “Itu merupakan suatu hal yang menyedihkan bagi Pakistan,” ujar Qamar Zaman Kaira, anggota senior Partai Rakyat Pakistan (PPP) yang dipimpin Zardari dan Gilani, kepada AFP.
Para pengamat menyebutkan prospek masa depan Gilani sepertinya suram. “Saya pikir ini merupakan masa akhir bagi seorang PM berhadapan dengan pengadilan,” kata Rasool Bux Rais, apakar politik di Lahore, Pakistan, dikutip CNN.
Dalam pandangan Imtiaz Gul, penulis dan pakar politik, meskipun Zardari dinyatakan bersalah, maka dia tidak dipenjara. “Zardari masih memiliki pengampunan sebagai tameng terakhir,” kata Gul. (andika hendra m)
Komentar