Mantan Komandan Militer Kudeta Pemerintah
PORT MORESBY – Mantan komandan militer Papua Nugini Kolonel Purnawirawan Yaura Sasa kemarin menegaskan telah mengambil alih pasukan bersenjata.
Dia meminta agar mantan perdana menteri (PM) Michael Somare yang digulingkan agar dikembalikan posisinya. Aksi dramatik itu berkaitan dengan perang kekuasaan antara Somare dan PM berkuasa Peter O’Neill yang memperebutkan kepemimpinan di negara kaya sumber daya alam itu.
Yaura Sasa mendeklarasikan diri sebagai pemimpin militer di kantor pusat militer di ibukota Port Moresby. Pemimpin pemberontakan Kolonel Purnawirawan Yaura Sasa mendeklarasikan dirinya sebagai komandan angkatan bersenjata setelah memberlakukan status tahanan rumah Menteri Pertahanan Brigadir Jenderal Francis Agwi. Brigjen Francis Agwi dikenal sebagai salah satu pendukung Peter O'Neill.
“Tugas saya adalah mengembalikan integritas dan menghormati konstitusi dan sistem peradilan,” kata Sasa dikutip AFP. “Saya menyerukan kepala negara untuk secepatnya mengimplementasikan kepeutusan posisi Michael Somare sebagai perdana menteri,” imbuhnya.
Sasa juga menyerukan O’Neill untuk mengaktifkan kembali parlemen dan memberikan tenggat waktu selama tujuh hari bagi anggota parlemen untuk memberlakukan kembali Somare sebagai PM. “Jika seruan ini tidak dilaksanakan, saya terpaksa akan menempuh langkah-langkah untuk melindungi dan menegakkan integritas konstitusi,” katanya. Hanya saja, dia tidak menyebutkan langkah-langkah yang bakal dilaksanakan.
Sementara itu, kubu Somare menegaskan bahwa tindakan Sasa hanya mewakili kepentingan pribadinya. “Saya menyatakan bahwa Michael dan kabinetnya akan menunjuk komandan militer baru,” kata juru bicara Somare kepada AFP. Padahal, sebelumnya Kolonel Sasa membantah telah melakukan pemberontakan. Dia bersikeras tindakannya itu adalah perintah dari Somare.
Sementara Deputi Perdana Menteri Belden Namah mengatakan 15 dari sekitar 30 orang anak buah Kolonel Sasa telah ditahan. Namah menegaskan tindakan sejumlah prajurit itu tidak mendapat dukungan luas angkatan bersenjata. Dia menegaskan Sasa bakal menghadapi hukuman mati karena kudeta itu.
“Mereka telah melakukan tindakan di luar perintah komanda dan komisioner polisi,” kata Namah. “Saya meminta personel militer yang membelot dan warga sipil yang menduduki kantor komandan militer untuk menyerah kepada polisi karena tindakan mereka ilegal,” katanya. Dia mengecam Somare karena menggunakan tentara pembelot untuk memenuhi keinginannya dan egonya sendiri.
Sementara kantor Kementerian Luar Negeri Australia menyarankan “kekacauan” di barak militer Port Moresby untuk segera diselesaikan. “Duta Besar Austalia memberikan dukungan kepada O’Neill dan atase pertahanan Australia juga telah menghubungi Francis Agwi,” kata juru bicara Kemlu Australia.
Sebenarnya, kudeta ini merupakan konflik terkini dari sengketa kekuasaan antara Peter O'Neill dan Somare yang memperebutkan kursi perdana menteri. Pada Maret 2011, Sir Michael berangkat ke luar negeri untuk menjalani perawatan jantungnya. Kemudian pada Juni, keluarga Sir Michael mengatakan dia mengundurkan diri dari panggung politik, sebuah pernyataan yang kemudian dibantah Sir Michael Somare.
Somare selanjutnya tetap berada di luar negeri selama lima bulan. Namun pada bulan Agustus parlemen Papua Nugini mengumumkan posisi perdana menteri yang kosong dan memutuskan Somare tak lagi menjabat perdana menteri negeri itu.
Dalam pemungutan suara di parlemen 70 suara memilih Peter O'Neill untuk menggantikan pejabat Perdana Menteri Sam Abal. Namun pada Desember 2011, Mahkamah Agung menyatakan tindakan parlemen memilih O'Neill menjadi perdana menteri menyalahi peraturan. Tiga dari lima hakim Mahkamah Agung menyatakan bahwa jabatan Somare sebagai perdana menteri harus dikembalikan.
Sayangnya, O'Neill yang didukung pegawai pemerintah dan secara efektif telah menjalankan pemerintahan menolak untuk menyerahkan jabatan.Pada pekan lalu, Somare datang ke parlemen sambil membawa keputusan mahkamah agung dan meminta agar jabatannya dipulihkan. Namun parlemen menolak permintaan Somare itu. (andika hendra m)
Dia meminta agar mantan perdana menteri (PM) Michael Somare yang digulingkan agar dikembalikan posisinya. Aksi dramatik itu berkaitan dengan perang kekuasaan antara Somare dan PM berkuasa Peter O’Neill yang memperebutkan kepemimpinan di negara kaya sumber daya alam itu.
Yaura Sasa mendeklarasikan diri sebagai pemimpin militer di kantor pusat militer di ibukota Port Moresby. Pemimpin pemberontakan Kolonel Purnawirawan Yaura Sasa mendeklarasikan dirinya sebagai komandan angkatan bersenjata setelah memberlakukan status tahanan rumah Menteri Pertahanan Brigadir Jenderal Francis Agwi. Brigjen Francis Agwi dikenal sebagai salah satu pendukung Peter O'Neill.
“Tugas saya adalah mengembalikan integritas dan menghormati konstitusi dan sistem peradilan,” kata Sasa dikutip AFP. “Saya menyerukan kepala negara untuk secepatnya mengimplementasikan kepeutusan posisi Michael Somare sebagai perdana menteri,” imbuhnya.
Sasa juga menyerukan O’Neill untuk mengaktifkan kembali parlemen dan memberikan tenggat waktu selama tujuh hari bagi anggota parlemen untuk memberlakukan kembali Somare sebagai PM. “Jika seruan ini tidak dilaksanakan, saya terpaksa akan menempuh langkah-langkah untuk melindungi dan menegakkan integritas konstitusi,” katanya. Hanya saja, dia tidak menyebutkan langkah-langkah yang bakal dilaksanakan.
Sementara itu, kubu Somare menegaskan bahwa tindakan Sasa hanya mewakili kepentingan pribadinya. “Saya menyatakan bahwa Michael dan kabinetnya akan menunjuk komandan militer baru,” kata juru bicara Somare kepada AFP. Padahal, sebelumnya Kolonel Sasa membantah telah melakukan pemberontakan. Dia bersikeras tindakannya itu adalah perintah dari Somare.
Sementara Deputi Perdana Menteri Belden Namah mengatakan 15 dari sekitar 30 orang anak buah Kolonel Sasa telah ditahan. Namah menegaskan tindakan sejumlah prajurit itu tidak mendapat dukungan luas angkatan bersenjata. Dia menegaskan Sasa bakal menghadapi hukuman mati karena kudeta itu.
“Mereka telah melakukan tindakan di luar perintah komanda dan komisioner polisi,” kata Namah. “Saya meminta personel militer yang membelot dan warga sipil yang menduduki kantor komandan militer untuk menyerah kepada polisi karena tindakan mereka ilegal,” katanya. Dia mengecam Somare karena menggunakan tentara pembelot untuk memenuhi keinginannya dan egonya sendiri.
Sementara kantor Kementerian Luar Negeri Australia menyarankan “kekacauan” di barak militer Port Moresby untuk segera diselesaikan. “Duta Besar Austalia memberikan dukungan kepada O’Neill dan atase pertahanan Australia juga telah menghubungi Francis Agwi,” kata juru bicara Kemlu Australia.
Sebenarnya, kudeta ini merupakan konflik terkini dari sengketa kekuasaan antara Peter O'Neill dan Somare yang memperebutkan kursi perdana menteri. Pada Maret 2011, Sir Michael berangkat ke luar negeri untuk menjalani perawatan jantungnya. Kemudian pada Juni, keluarga Sir Michael mengatakan dia mengundurkan diri dari panggung politik, sebuah pernyataan yang kemudian dibantah Sir Michael Somare.
Somare selanjutnya tetap berada di luar negeri selama lima bulan. Namun pada bulan Agustus parlemen Papua Nugini mengumumkan posisi perdana menteri yang kosong dan memutuskan Somare tak lagi menjabat perdana menteri negeri itu.
Dalam pemungutan suara di parlemen 70 suara memilih Peter O'Neill untuk menggantikan pejabat Perdana Menteri Sam Abal. Namun pada Desember 2011, Mahkamah Agung menyatakan tindakan parlemen memilih O'Neill menjadi perdana menteri menyalahi peraturan. Tiga dari lima hakim Mahkamah Agung menyatakan bahwa jabatan Somare sebagai perdana menteri harus dikembalikan.
Sayangnya, O'Neill yang didukung pegawai pemerintah dan secara efektif telah menjalankan pemerintahan menolak untuk menyerahkan jabatan.Pada pekan lalu, Somare datang ke parlemen sambil membawa keputusan mahkamah agung dan meminta agar jabatannya dipulihkan. Namun parlemen menolak permintaan Somare itu. (andika hendra m)
Komentar