HAM Masih Jadi Batu Sandungan
Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi sebuah ”batu sandungan” dalam diplomasi bilateral yang dilakukan Indonesia. Langkah Indonesia dalam menjalin diplomasi dengan berbagai negara kadangkadang harus terganjal oleh isu pelanggaran HAM.
Dari tahun ke tahun,isu tetap itu masih melekat pada Indonesia. Penegakan HAM yang belum maksimal dilaksanakan oleh pemerintah menjadikan posisi diplomasi Indonesia serba salah.Bahkan,banyak kebijakan pemerintah yang tidak memiliki sinergi dengan diplomasi bilateral yang dilaksanakan Indonesia.
Ketika Indonesia berhadapan dengan negara yang mensyarakatkan penyelesaian pelanggaran HAM dalam hubungan bilteral,Indonesia dalam posisi bagaimana buah simalakama. Kasus HAM yang masih menonjol adalah pelanggaran HAM di Timor Leste yang belum kelar,penanganan buruh migran yang tidak jelas, kemudian kasus kekerasan terhadap kasus suku,agama, ras dan kepercayaan.
Kasus yang paling menjadi perhatian banyak negara adalah pelanggaran HAM di Papua. Menurut pakar hubungan internasional dari Universitas Indonesia Haryadi Wiryawan, pelanggaran HAM merupakan suatu hal yang ironi dalam diplomasi bilateral yang dilakukan Indonesia. ”Padahal,Indonesia memiliki proyek mercusuar,Bali Democracy Forum (BDF),” katanya kepada SINDO.
Dalam BDF,Indonesia merupakan penggerak untuk mengumandangkan demokrasi ke berbagai negara. Salah satu elemen terpenting dalam demokrasi adalah penegakan HAM bagi warga negaranya.Indonesia menggelar BDF yang keempat pada tanggal 8-9 Desember 2011. Lebih dari 50 perwakilan negara-negara di seluruh dunia menghadiri pertemuan di Bali itu. Sebenarnya,tujuan utama Indonesia sebagai pelopor BDF adalah pemposisian sebagai model demokrasi bagi negara lain.
Meskipun,BDF hanya dijadikan sebagai ajang curahan hati dalam membicarakan demokrasi. Mereka saling belajar dari berbagai pengalaman berbagai negara mengenai arti penting demokrasi. ”Melihat Bali Democracy Forum,posisi Indonesia sangat ironis,”sindir Haryadi. Komnas HAM menyebutkan laporan dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan negara dalam tiga tahun terakhir yang diterima Komnas HAM justru cenderung meningkat.
Pada 2008 terdapat 4.800,2009 ada 5000-an lebih,kemudian 2010 ada 6.000 lebih.Itu 2010 yang terakhir jadi 6.000 lebih yang disampaikan kepada Komnas HAM.Angka itu bukanlah angkat yang sedikit. Bagaimana solusi agar pelanggaran HAM tidak menjadi hambatan dalam diplomasi bilateral Indonesia? Haryadi mengungkapkan perlunya identifikasi terhadap persoalan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.
”Perlunya koordinasi dengan berbagai instansi terkait, terutama instansi keamanan, mengenai pemahaman mengenai HAM,”kata Haryadi. Tentunya,perlu adanya perubahan strategi mengenai bagaimana agar pelanggaran HAM dapat diminalisir di Indonesia. ”Semua pihak yang berada di lapangan harus melakukan koordinasi.Semua aparat di lapangan harus paham dan menahan diri,” terang Haryadi.”Pemahaman mengenai HAM harus selalu ditingkatkan sehingga ada kesamaan persepsi mengenai HAM.”
TKI Jadi Masalah Abadi
PermasalahanTenaga Kerja Indonesia (TKI) yang menjadi fokus adalah pelanggaran HAM terhadap buruh migran.Faktanya,para TKI kerap menjadi korban HAM karena upah tidak dibayar,upah rendah,beban kerja berlapis,jam kerja yang tidak ada batas,penyiksaan, dan pembunuhan.Parahnya, pahlawan devisa itu menjadi korban sejak pra-penempatan, penempatan di luar negeri dan purna penempatan.
Parahnya,data yang diungkapkan oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyebutkan sebanyak 303 buruh migran asal Indonesia menghadapi hukuman mati. Mereka tersebar di Arab Saudi, Malaysia,Brunai Darussalam, serta Singapura. Belum lagi, banyak lagi TKI yang meringkuk di jeruji besi di tempat seharusnya mereka menggapai impian mereka.
Diplomasi bilateral dalam perlindungan TKI yang dilakukan oleh pemerintah sangatlah minim.Sepertinya, janji perlindungan TKI masih hanya sekedar mimpi semata. Perlindungan TKI hanya sekedar retorika yang diputar berulang kali untuk menghibur rakyat Indonesia. Itu menunjukkan posisi tawar Indonesia di mata mitra bilateral sangatlah lemah.
”KasusTKI yang bermasalah di luar negeri terus berulang.Suka dan tidak suka diperlukan kerangka hukum yang jelas,”kata Haryadi.”Kita harus merumuskan hukum yang jelas.” Hal yang paling parah dalam memandang TKI, diplomasi bilateral yang ditempuh Indonesia lebih mengutamakan paradigma ekonomi semata.TKI hanya dianggap sebagai aset semata, padahal mereka adalah warga negara yang hak-haknya dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Indonesia seharusnya dapat belajar lebih banyak dari Filipina.
Manila memiliki kesepakatan kerjasama bilateral dengan beberapa negara yang mempekerjakan buruh Filipina dengan jaminan perlindungan HAM dan gaji yang layak.Bahkan, Filipina dikabarkan memiliki negoisasi yang hebat dengan Arab Saudi untuk memberikan perlindungan dasar bagi pekerja Filipina yang tidak memiliki keahlian, seperti pembantu rumah tangga,supir,dan pekerja kebun.
Indonesia seharusnya bisa melakukan seperti apa yang dilakukan Filipina. Filipina juga berhasil mengajukan permintaan kepada pemerintah Malaysia untuk memperbaiki nasib pembantu rumah tangga (PRT) asing yang bekerja di negara itu dengan mendesak kenaikan upah,pemberian hari libur dan hak untuk memegang paspor. Baru-baru ini,PRT asal Filipina sukses mendapatkan hak untuk tinggal secara permanen di Hong Kong. Keputusan ini disambut baik semua pekerja migran,meski meninggalkan kontroversi di Hong Kong. andika hendra m
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/452886/
Dari tahun ke tahun,isu tetap itu masih melekat pada Indonesia. Penegakan HAM yang belum maksimal dilaksanakan oleh pemerintah menjadikan posisi diplomasi Indonesia serba salah.Bahkan,banyak kebijakan pemerintah yang tidak memiliki sinergi dengan diplomasi bilateral yang dilaksanakan Indonesia.
Ketika Indonesia berhadapan dengan negara yang mensyarakatkan penyelesaian pelanggaran HAM dalam hubungan bilteral,Indonesia dalam posisi bagaimana buah simalakama. Kasus HAM yang masih menonjol adalah pelanggaran HAM di Timor Leste yang belum kelar,penanganan buruh migran yang tidak jelas, kemudian kasus kekerasan terhadap kasus suku,agama, ras dan kepercayaan.
Kasus yang paling menjadi perhatian banyak negara adalah pelanggaran HAM di Papua. Menurut pakar hubungan internasional dari Universitas Indonesia Haryadi Wiryawan, pelanggaran HAM merupakan suatu hal yang ironi dalam diplomasi bilateral yang dilakukan Indonesia. ”Padahal,Indonesia memiliki proyek mercusuar,Bali Democracy Forum (BDF),” katanya kepada SINDO.
Dalam BDF,Indonesia merupakan penggerak untuk mengumandangkan demokrasi ke berbagai negara. Salah satu elemen terpenting dalam demokrasi adalah penegakan HAM bagi warga negaranya.Indonesia menggelar BDF yang keempat pada tanggal 8-9 Desember 2011. Lebih dari 50 perwakilan negara-negara di seluruh dunia menghadiri pertemuan di Bali itu. Sebenarnya,tujuan utama Indonesia sebagai pelopor BDF adalah pemposisian sebagai model demokrasi bagi negara lain.
Meskipun,BDF hanya dijadikan sebagai ajang curahan hati dalam membicarakan demokrasi. Mereka saling belajar dari berbagai pengalaman berbagai negara mengenai arti penting demokrasi. ”Melihat Bali Democracy Forum,posisi Indonesia sangat ironis,”sindir Haryadi. Komnas HAM menyebutkan laporan dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan negara dalam tiga tahun terakhir yang diterima Komnas HAM justru cenderung meningkat.
Pada 2008 terdapat 4.800,2009 ada 5000-an lebih,kemudian 2010 ada 6.000 lebih.Itu 2010 yang terakhir jadi 6.000 lebih yang disampaikan kepada Komnas HAM.Angka itu bukanlah angkat yang sedikit. Bagaimana solusi agar pelanggaran HAM tidak menjadi hambatan dalam diplomasi bilateral Indonesia? Haryadi mengungkapkan perlunya identifikasi terhadap persoalan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.
”Perlunya koordinasi dengan berbagai instansi terkait, terutama instansi keamanan, mengenai pemahaman mengenai HAM,”kata Haryadi. Tentunya,perlu adanya perubahan strategi mengenai bagaimana agar pelanggaran HAM dapat diminalisir di Indonesia. ”Semua pihak yang berada di lapangan harus melakukan koordinasi.Semua aparat di lapangan harus paham dan menahan diri,” terang Haryadi.”Pemahaman mengenai HAM harus selalu ditingkatkan sehingga ada kesamaan persepsi mengenai HAM.”
TKI Jadi Masalah Abadi
PermasalahanTenaga Kerja Indonesia (TKI) yang menjadi fokus adalah pelanggaran HAM terhadap buruh migran.Faktanya,para TKI kerap menjadi korban HAM karena upah tidak dibayar,upah rendah,beban kerja berlapis,jam kerja yang tidak ada batas,penyiksaan, dan pembunuhan.Parahnya, pahlawan devisa itu menjadi korban sejak pra-penempatan, penempatan di luar negeri dan purna penempatan.
Parahnya,data yang diungkapkan oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyebutkan sebanyak 303 buruh migran asal Indonesia menghadapi hukuman mati. Mereka tersebar di Arab Saudi, Malaysia,Brunai Darussalam, serta Singapura. Belum lagi, banyak lagi TKI yang meringkuk di jeruji besi di tempat seharusnya mereka menggapai impian mereka.
Diplomasi bilateral dalam perlindungan TKI yang dilakukan oleh pemerintah sangatlah minim.Sepertinya, janji perlindungan TKI masih hanya sekedar mimpi semata. Perlindungan TKI hanya sekedar retorika yang diputar berulang kali untuk menghibur rakyat Indonesia. Itu menunjukkan posisi tawar Indonesia di mata mitra bilateral sangatlah lemah.
”KasusTKI yang bermasalah di luar negeri terus berulang.Suka dan tidak suka diperlukan kerangka hukum yang jelas,”kata Haryadi.”Kita harus merumuskan hukum yang jelas.” Hal yang paling parah dalam memandang TKI, diplomasi bilateral yang ditempuh Indonesia lebih mengutamakan paradigma ekonomi semata.TKI hanya dianggap sebagai aset semata, padahal mereka adalah warga negara yang hak-haknya dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Indonesia seharusnya dapat belajar lebih banyak dari Filipina.
Manila memiliki kesepakatan kerjasama bilateral dengan beberapa negara yang mempekerjakan buruh Filipina dengan jaminan perlindungan HAM dan gaji yang layak.Bahkan, Filipina dikabarkan memiliki negoisasi yang hebat dengan Arab Saudi untuk memberikan perlindungan dasar bagi pekerja Filipina yang tidak memiliki keahlian, seperti pembantu rumah tangga,supir,dan pekerja kebun.
Indonesia seharusnya bisa melakukan seperti apa yang dilakukan Filipina. Filipina juga berhasil mengajukan permintaan kepada pemerintah Malaysia untuk memperbaiki nasib pembantu rumah tangga (PRT) asing yang bekerja di negara itu dengan mendesak kenaikan upah,pemberian hari libur dan hak untuk memegang paspor. Baru-baru ini,PRT asal Filipina sukses mendapatkan hak untuk tinggal secara permanen di Hong Kong. Keputusan ini disambut baik semua pekerja migran,meski meninggalkan kontroversi di Hong Kong. andika hendra m
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/452886/
Komentar