Politik Paksa Reformasi Demokrasi Malaysia
KUALA LUMPUR – Perdana Menteri (PM) Najib Razak berjanji akan membuang jauh sistem otoriter Malaysia. Najib menegaskan, tekanan publik menginginkan demokrasi yang sesungguhnya semakin meningkat.
Banyak pihak percaya bahwa tuntutan itu tidak dapat ditawar-tawar lagi. Malaysia memang dikenal dengan sistem otoriter yang mengekang kebebasan warganya. Selama 50 tahun lamanya, politik Malaysia didominasi oleh koalisi Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO). UMNO mengutamakan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Tapi,koalisi itu justru tidak memberikan kebebasan demokrasi dan politik bahkan permasalahan ras dan agama juga menjadi suatu hal yang pelik di Malaysia.
Dominasi UMNO yang diidentikkan dengan korupsi dan kebijakan yang mengutamakan etnik Melayu dan mengabaikan etnis minoritas lainnya terus mendapatkan tekanan publik. Masyarakat Malaysia sadar bahwa ketidakadilan yang dilakukan pemerintah sangat terasa dan berdampak buruk bagi negara itu.
Najib pun merasa tertekan. Najib kini berpikir ke depan. Dia masih ingin berkuasa. Mau tak mau,dia ingin kembali menarik simpati rakyat. Pada beberapa bulan ke depan dia bakal menyerukan percepatan pemilu. Pekan lalu Najib bakal mengganti undang-undang yang memperbolehkan penahanan tanpa pengadilan.
”Kebijakan itu untuk menunjukkan bahwa UMNO memang menginginkan demokrasi yang modern dan matang,” kata Najib dikutip dari AFP.Namun, niat itu dianggap setengah hati. UMNO tak bisa dilepaskan dari kesan koalisi antidemokrasi. Pencitraan Najib pun diubah. Najib dalam beberapa waktu belakangan terlihat layaknya memiliki agenda seorang bintang pop.
Dalam kurun dua pekan terakhir, Najib tampil di sebuah konser rock, melakukan wawancara di acara radio, dan menawarkan minuman gratis kepada sekitar 200.000 pengikut di akun Twitter miliknya. Politisi berusia 58 tahun itu tengah berusaha keras menarik hati pemilih muda. Sementara,menurut Karim Raslan, pakar politik dan sosial, keterbukaan merupakan sesuatu yang tidak bisa ditunda- tunda lagi.
Namun, menurut dia, langkah itu bakal mendapatkan perlawanan dari para ”penjaga” tua. ”Kita bukan lagi sebagai negara demokrasi yang kuat.Tapi, kita masih memiliki keinginan untuk maju. Kita tidak mengetahui sejauh mana dan seberapa cepat kita mampu terbuka,” katanya. Perubahan telah terlihat tanda-tandanya. Itu semua disebabkan olwh kubu oposisi yang telah mampu menarik pengaruh sebagian warga Malaysia pada pemilu nasional 2008. UMNO pun mengubah desain kekuasaan.
Situs berita online semakin kritis terhadap pemerintah. Media jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter pun digunakan sebagai kampanye untuk menyerukan perubahan oleh berbagai kelompok. Sayang, Najib tidak memberikan informasi lengkap mengenai perubahan positif.”Anda dapat mengubah semua hukum jika Anda menginginkannya.
Jika Anda tidak menginginkan perubahan institusi– pemerintah dan polisi–terus apa perubahannya?”tanya analis dari Universitas Manajemen Singapura Bridget Welsh. Salah satu hal perubahan yang paling sulit di Malaysia adalah sistem peradilan dan polisi. Kedua institusi itu dianggap sebagai kepanjangan tangan UMNO.
Jika UMNO kehilangan pengaruh di dua institusi itu, ada kekhawatiran kebobrokan mereka bakal terbongkar. Akar pengaruh institusi keamanan juga dijadikan ja-minan untuk menjaga keharmonisan mayoritas Melayu dan minoritas China serta India. Etnik Melayu bakal merasa kecewa jika hak keistimewaan
”bumiputra” dihapuskan meski semakin banyak warga Melayu mengeluhkan para politisi yang hanya mencari kekuasaan dan keuntungan. ”Militer yang duduk di kekuasaan juga ingin tetap bertahan. Sistem itu pun seperti predator karena identik dengan korupsi dan telah menjadi endemi,”kata Welsh. andika hendra m
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/430143/
Banyak pihak percaya bahwa tuntutan itu tidak dapat ditawar-tawar lagi. Malaysia memang dikenal dengan sistem otoriter yang mengekang kebebasan warganya. Selama 50 tahun lamanya, politik Malaysia didominasi oleh koalisi Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO). UMNO mengutamakan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Tapi,koalisi itu justru tidak memberikan kebebasan demokrasi dan politik bahkan permasalahan ras dan agama juga menjadi suatu hal yang pelik di Malaysia.
Dominasi UMNO yang diidentikkan dengan korupsi dan kebijakan yang mengutamakan etnik Melayu dan mengabaikan etnis minoritas lainnya terus mendapatkan tekanan publik. Masyarakat Malaysia sadar bahwa ketidakadilan yang dilakukan pemerintah sangat terasa dan berdampak buruk bagi negara itu.
Najib pun merasa tertekan. Najib kini berpikir ke depan. Dia masih ingin berkuasa. Mau tak mau,dia ingin kembali menarik simpati rakyat. Pada beberapa bulan ke depan dia bakal menyerukan percepatan pemilu. Pekan lalu Najib bakal mengganti undang-undang yang memperbolehkan penahanan tanpa pengadilan.
”Kebijakan itu untuk menunjukkan bahwa UMNO memang menginginkan demokrasi yang modern dan matang,” kata Najib dikutip dari AFP.Namun, niat itu dianggap setengah hati. UMNO tak bisa dilepaskan dari kesan koalisi antidemokrasi. Pencitraan Najib pun diubah. Najib dalam beberapa waktu belakangan terlihat layaknya memiliki agenda seorang bintang pop.
Dalam kurun dua pekan terakhir, Najib tampil di sebuah konser rock, melakukan wawancara di acara radio, dan menawarkan minuman gratis kepada sekitar 200.000 pengikut di akun Twitter miliknya. Politisi berusia 58 tahun itu tengah berusaha keras menarik hati pemilih muda. Sementara,menurut Karim Raslan, pakar politik dan sosial, keterbukaan merupakan sesuatu yang tidak bisa ditunda- tunda lagi.
Namun, menurut dia, langkah itu bakal mendapatkan perlawanan dari para ”penjaga” tua. ”Kita bukan lagi sebagai negara demokrasi yang kuat.Tapi, kita masih memiliki keinginan untuk maju. Kita tidak mengetahui sejauh mana dan seberapa cepat kita mampu terbuka,” katanya. Perubahan telah terlihat tanda-tandanya. Itu semua disebabkan olwh kubu oposisi yang telah mampu menarik pengaruh sebagian warga Malaysia pada pemilu nasional 2008. UMNO pun mengubah desain kekuasaan.
Situs berita online semakin kritis terhadap pemerintah. Media jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter pun digunakan sebagai kampanye untuk menyerukan perubahan oleh berbagai kelompok. Sayang, Najib tidak memberikan informasi lengkap mengenai perubahan positif.”Anda dapat mengubah semua hukum jika Anda menginginkannya.
Jika Anda tidak menginginkan perubahan institusi– pemerintah dan polisi–terus apa perubahannya?”tanya analis dari Universitas Manajemen Singapura Bridget Welsh. Salah satu hal perubahan yang paling sulit di Malaysia adalah sistem peradilan dan polisi. Kedua institusi itu dianggap sebagai kepanjangan tangan UMNO.
Jika UMNO kehilangan pengaruh di dua institusi itu, ada kekhawatiran kebobrokan mereka bakal terbongkar. Akar pengaruh institusi keamanan juga dijadikan ja-minan untuk menjaga keharmonisan mayoritas Melayu dan minoritas China serta India. Etnik Melayu bakal merasa kecewa jika hak keistimewaan
”bumiputra” dihapuskan meski semakin banyak warga Melayu mengeluhkan para politisi yang hanya mencari kekuasaan dan keuntungan. ”Militer yang duduk di kekuasaan juga ingin tetap bertahan. Sistem itu pun seperti predator karena identik dengan korupsi dan telah menjadi endemi,”kata Welsh. andika hendra m
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/430143/
Komentar