Revolusi Tak Jamin Demokrasi
KAIRO(SINDO) – Presiden Mesir Hosni Mubarak memang sudah tumbang. Namun,adakah jaminan revolusi rakyat menghasilkan pemerintahan demokratis? Jawabannya adalah tak ada.
Euforia revolusi Mesir boleh saja dirayakan seluruh rakyatnya.Namun, diperlukan waktu lama untuk membangun masyarakat yang adil dan demokratis.Tidak mudah memenuhi keinginan ribuan demonstran untuk sebuah masyarakat yang sejahtera dan kebebasan politik yang mutlak serta dilindungi pemerintah.
Adanya revolusi rakyat di Mesir dan Tunisia menjadi tanda tanya besar tentang masa depan kedua negara tersebut.Ada banyak kajian dan penelitian yang menunjukkan bahwa revolusi rakyat justru menjadikan negaranya tidak berkembang dan terjebak dalam kasus yang sama seperti rezim pendahulunya yang korup dan lalim.
“Banyak transisi dari pemerintahan ototarian tidak menuju kepada kebebasan,” demikian laporan kelompok pemerhati Hak Asasi Manusia (HAM) Freedom House pada 2005. Laporan berjudul “Bagaimana kebebasan bisa menang: perjuangan sipil menuju demokrasi yang dapat bertahan lama” itu menyimpulkan bahwa kesempatan untuk mendapatkan kebebasan setelah terbukanya politik dengan kejatuhan pemimpin otoriter tidak menjamin sepenuhnya hasil yang optimal dalam kebebasan jangka panjang.
Kesimpulan itu diperoleh dari penelitian terhadap 67 negara yang pernah mengalami transisi dari pemerintahan diktator menuju pemerintahan demokrasi.Sebanyak 35 negara di antaranya dianggap sebagai negara yang “bebas”. Sebanyak 23 negara lainnya dilaporkan mengalami “setengah kebebasan atau kebebasan yang tidak sepenuhnya”. Sementara sembilan negara lainnya tidak mendapatkan “kebebasan sama sekali”.
Faktor-faktor terbentuknya demokrasi yang abadi meliputi keberadaan koalisi masyarakat sipil yang kuat dan solid sebelum adanya revolusi dan taktik tanpa kekerasan yang dilancarkan kubu oposisi. Sebaliknya,para analis memperingatkan, kesempatan membangun sebuah negara demokrasi yang kuat dapat rusak ketika oposisi memutuskan hubungan dengan pasukan keamanan yang dapat menggulingkan kekuasaan.
Kondisi ini yang bisa terjadi di Mesir. Daniel Serwer,mantan pejabat Kementerian Luar Negeri (kemlu) Amerika Serikat (AS) menyatakan, seperti yang terjadi di Serbia, para demonstran berjanji kepada aparat keamanan bahwa mereka tidak akan mengungkapkan permasalahan masa lalu jika mereka membantu menggulingkan Presiden Yugoslavia Slobodan Milosevic pada 2000.“Kesepakatan itu justru mengganggu proses transisi demokrasi Serbia.
Bahkan, hingga saat ini, arah perjuangan demokrasi tidak sesuai harapan,” tutur Serwer yang kini bekerja di Johns Hopkins School of Advanced International Studies. Menurut Serwer,yang terjadi di Serbia bakal terulang di Mesir. “Rakyat Mesir sepertinya menghadapi masalah serupa. Mereka bergantung pada militer untuk menumbangkan Mubarak.Pertanyaan kini, apakah militer akan mendapatkan izin untuk bersama-sama melakukan revolusi?”tanyanya.
Beberapa pakar percaya bahwa demokrasi yang abadi dapat didukung sejarah bangsa tersebut. Seperti Filipina ketika menggulingkan diktator Fredinand Marcos,negara itu pun menjadi negara demokrasi yang solid. Berbeda dengan negara-negara pecahan Uni Soviet yang masih jauh dari harapan tentang penerapan demokrasi sebenarnya. Sementara itu, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Iran Ali Larijani kemarin mengungkapkan,AS berusaha membajak revolusi Mesir agar sesuai agenda Israel.
“Jatuhnya orang kuat AS,yakni Mubarak merupakan bentuk kejayaan revolusi rakyat Mesir,”ujarnya. Namun, sebelum dan sesudah kemenangan itu, Larijani memperingatkan, bisa dilihat adanya konspirasi AS yang ingin mengambil alih kemenangan rakyat Mesir. Larijani menuding AS berkomplot agar tuntutan Israel bisa dipenuhi. “Amerika menginjak-injak kedaulatan nasional Mesir sebagai negara besar dan berpendidikan, demi kerja sama dengan rezim Zionis.
Mereka pun mengatakan bahwa masa depan demokrasi di Mesir seharusnya menghargai pakta Camp David,” papar Larijani di gedung parlemen. Larijani menegaskan,AS tidak akan bisa melunakkan kemarahan pemuda Mesir dan menyesatkan revolusi mereka dengan memberi dukungan ke beberapa pihak dalam pemerintahan Mesir. Dia menambahkan, Angkatan Bersenjata Mesir memiliki sejarah pergulatan melawan penguasa Zionis.
Larijani juga menyinggung mantan pejuang seperti Khalid Islambouli, yang menewaskan mantan pre-siden Mesir Anwar Sadat pada 1981. Sebelumnya, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad mengungkapkan, revolusi Mesir menandakan munculnya Timur Tengah yang baru, yang sama sekali tidak tersentuh campur tangan Israel dan Amerika Serikat. Ahmadinejad mengatakan, rakyat Mesir memiliki hak hidup merdeka dan memilih sendiri pemerintahannya.
WikiLeak Mengaku Berperan dalam Revolusi
Pendiri situs peretas WikiLeaks Julian Assange kemarin mengklaim bahwa situsnya memberikan kontribusi positif dalam kejatuhan pemimpin Tunisia Zine El Abidine ben Ali dan Presiden Mesir Hosni Mubarak. Bagi Assange, tidak ada keraguan lagi bahwa pecahnya revolusi di Timur Tengah juga atas sumbangsih WikiLeaks.
“Materi yang kami publikasikan melalui sebuah harian di Lebanoan, Al Kahbar, memberikan dampak besar terhadap apa yang terjadi Tunisia.Tak ada keraguan sedikit pun bahwa yang terjadi di Tunisia pun telah terjadi di Mesir. Kini bakal menjalar ke Yaman dan Jordania.Semua demonstrasi akan menggoyang pemerintahan di sana,” tutur Assange.
Sebelumnya,WikiLeaks melaporkan sebuah kawat diplomatik AS yang menyebutkan bahwa Wakil Presiden Mesir Omar Suleiman, sudah lama dilihat Israel sebagai kandidat yang cocok menggantikan Presiden Hosni Mubarak. Kabel diplomatik yang bocor itu menunjukkan, Suleiman sejak lama berusaha melakukan pembusukan terhadap oposisi terbesar di Mesir, Ikhwanul Muslimin, dalam berbagai kontak dengan para pejabat AS. Akibatnya, posisi Suleiman saat ini tampaknya tergeser dalam pemerintahan transisi yang kini dikuasai militer Mesir. (Rtr/AFP/ andika hm)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/381689/
Euforia revolusi Mesir boleh saja dirayakan seluruh rakyatnya.Namun, diperlukan waktu lama untuk membangun masyarakat yang adil dan demokratis.Tidak mudah memenuhi keinginan ribuan demonstran untuk sebuah masyarakat yang sejahtera dan kebebasan politik yang mutlak serta dilindungi pemerintah.
Adanya revolusi rakyat di Mesir dan Tunisia menjadi tanda tanya besar tentang masa depan kedua negara tersebut.Ada banyak kajian dan penelitian yang menunjukkan bahwa revolusi rakyat justru menjadikan negaranya tidak berkembang dan terjebak dalam kasus yang sama seperti rezim pendahulunya yang korup dan lalim.
“Banyak transisi dari pemerintahan ototarian tidak menuju kepada kebebasan,” demikian laporan kelompok pemerhati Hak Asasi Manusia (HAM) Freedom House pada 2005. Laporan berjudul “Bagaimana kebebasan bisa menang: perjuangan sipil menuju demokrasi yang dapat bertahan lama” itu menyimpulkan bahwa kesempatan untuk mendapatkan kebebasan setelah terbukanya politik dengan kejatuhan pemimpin otoriter tidak menjamin sepenuhnya hasil yang optimal dalam kebebasan jangka panjang.
Kesimpulan itu diperoleh dari penelitian terhadap 67 negara yang pernah mengalami transisi dari pemerintahan diktator menuju pemerintahan demokrasi.Sebanyak 35 negara di antaranya dianggap sebagai negara yang “bebas”. Sebanyak 23 negara lainnya dilaporkan mengalami “setengah kebebasan atau kebebasan yang tidak sepenuhnya”. Sementara sembilan negara lainnya tidak mendapatkan “kebebasan sama sekali”.
Faktor-faktor terbentuknya demokrasi yang abadi meliputi keberadaan koalisi masyarakat sipil yang kuat dan solid sebelum adanya revolusi dan taktik tanpa kekerasan yang dilancarkan kubu oposisi. Sebaliknya,para analis memperingatkan, kesempatan membangun sebuah negara demokrasi yang kuat dapat rusak ketika oposisi memutuskan hubungan dengan pasukan keamanan yang dapat menggulingkan kekuasaan.
Kondisi ini yang bisa terjadi di Mesir. Daniel Serwer,mantan pejabat Kementerian Luar Negeri (kemlu) Amerika Serikat (AS) menyatakan, seperti yang terjadi di Serbia, para demonstran berjanji kepada aparat keamanan bahwa mereka tidak akan mengungkapkan permasalahan masa lalu jika mereka membantu menggulingkan Presiden Yugoslavia Slobodan Milosevic pada 2000.“Kesepakatan itu justru mengganggu proses transisi demokrasi Serbia.
Bahkan, hingga saat ini, arah perjuangan demokrasi tidak sesuai harapan,” tutur Serwer yang kini bekerja di Johns Hopkins School of Advanced International Studies. Menurut Serwer,yang terjadi di Serbia bakal terulang di Mesir. “Rakyat Mesir sepertinya menghadapi masalah serupa. Mereka bergantung pada militer untuk menumbangkan Mubarak.Pertanyaan kini, apakah militer akan mendapatkan izin untuk bersama-sama melakukan revolusi?”tanyanya.
Beberapa pakar percaya bahwa demokrasi yang abadi dapat didukung sejarah bangsa tersebut. Seperti Filipina ketika menggulingkan diktator Fredinand Marcos,negara itu pun menjadi negara demokrasi yang solid. Berbeda dengan negara-negara pecahan Uni Soviet yang masih jauh dari harapan tentang penerapan demokrasi sebenarnya. Sementara itu, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Iran Ali Larijani kemarin mengungkapkan,AS berusaha membajak revolusi Mesir agar sesuai agenda Israel.
“Jatuhnya orang kuat AS,yakni Mubarak merupakan bentuk kejayaan revolusi rakyat Mesir,”ujarnya. Namun, sebelum dan sesudah kemenangan itu, Larijani memperingatkan, bisa dilihat adanya konspirasi AS yang ingin mengambil alih kemenangan rakyat Mesir. Larijani menuding AS berkomplot agar tuntutan Israel bisa dipenuhi. “Amerika menginjak-injak kedaulatan nasional Mesir sebagai negara besar dan berpendidikan, demi kerja sama dengan rezim Zionis.
Mereka pun mengatakan bahwa masa depan demokrasi di Mesir seharusnya menghargai pakta Camp David,” papar Larijani di gedung parlemen. Larijani menegaskan,AS tidak akan bisa melunakkan kemarahan pemuda Mesir dan menyesatkan revolusi mereka dengan memberi dukungan ke beberapa pihak dalam pemerintahan Mesir. Dia menambahkan, Angkatan Bersenjata Mesir memiliki sejarah pergulatan melawan penguasa Zionis.
Larijani juga menyinggung mantan pejuang seperti Khalid Islambouli, yang menewaskan mantan pre-siden Mesir Anwar Sadat pada 1981. Sebelumnya, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad mengungkapkan, revolusi Mesir menandakan munculnya Timur Tengah yang baru, yang sama sekali tidak tersentuh campur tangan Israel dan Amerika Serikat. Ahmadinejad mengatakan, rakyat Mesir memiliki hak hidup merdeka dan memilih sendiri pemerintahannya.
WikiLeak Mengaku Berperan dalam Revolusi
Pendiri situs peretas WikiLeaks Julian Assange kemarin mengklaim bahwa situsnya memberikan kontribusi positif dalam kejatuhan pemimpin Tunisia Zine El Abidine ben Ali dan Presiden Mesir Hosni Mubarak. Bagi Assange, tidak ada keraguan lagi bahwa pecahnya revolusi di Timur Tengah juga atas sumbangsih WikiLeaks.
“Materi yang kami publikasikan melalui sebuah harian di Lebanoan, Al Kahbar, memberikan dampak besar terhadap apa yang terjadi Tunisia.Tak ada keraguan sedikit pun bahwa yang terjadi di Tunisia pun telah terjadi di Mesir. Kini bakal menjalar ke Yaman dan Jordania.Semua demonstrasi akan menggoyang pemerintahan di sana,” tutur Assange.
Sebelumnya,WikiLeaks melaporkan sebuah kawat diplomatik AS yang menyebutkan bahwa Wakil Presiden Mesir Omar Suleiman, sudah lama dilihat Israel sebagai kandidat yang cocok menggantikan Presiden Hosni Mubarak. Kabel diplomatik yang bocor itu menunjukkan, Suleiman sejak lama berusaha melakukan pembusukan terhadap oposisi terbesar di Mesir, Ikhwanul Muslimin, dalam berbagai kontak dengan para pejabat AS. Akibatnya, posisi Suleiman saat ini tampaknya tergeser dalam pemerintahan transisi yang kini dikuasai militer Mesir. (Rtr/AFP/ andika hm)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/381689/
Komentar