Tunisia Menuju Demokrasi

TUNIS(SINDO) – Menumbangkan sebuah pemerintah tidak menjamin negara itu bakal menjadi sebuah demokrasi. Demokrasi merupakan sebuah proses yang memerlukan waktu dan pengorbanan.

Hasil manis demokrasi pun tak bisa dirasakan dalam hitungan hari, bulan, bahkan tahun sekalipun. Itu semua karena demokrasi membutuhkan komitmen akan perubahan. Satu hal yang sebenarnya bisa dicatat bahwa setiap sejarah selalu memiliki dua sisi, yakni sisi positif dan negatif.Tumbangnya Presiden Zine El Abidine Ben Ali juga memiliki dua sisi yang berbeda. Satu sisi,tumbangnya Ben Ali memberikan kontribusi dalam demokrasi dan kesempatan politik.

Sisi lainnya adalah kerusakan dan masa depan yang belum pasti. Itulah yang bisa dipetik dari revolusi rakyat Tunisia menggulingkan Presiden Ben Ali. Revolusi itu menyisakan permasalahan yang belum menemui titik jelas. Permasalahan utama yang menjadi riak demokrasi di Tunisia adalah membersihkan “Ben Ali-nisasi”, yakni orang-orang dekat Ben Ali. Selain itu, masalah serius lainnya adalah budaya korupsi yang mengakar di Tunisia. Ben Ali-nisasi merupakan sumber korupsi di Tunisia.

Tanpa penghapusan Ben Ali-nisasi itu, mustahil korupsi bakal hangus. Mengikis habis orang-orang Ben Ali di dalam pemerintahan saja sepertinya sangat sulit. Pasalnya, pemerintahan saat ini dipimpin perdana menteri yang pernah menjadi bawahan Ben Ali. Pemerintahan baru yang dipimpin Perdana Menteri Mohammed Ghannouchi tetap dihantui rasa takut. Mereka takut bakal kembali digulingkan rakyat Tunisia.

Rakyat Tunisia memiliki keberanian dalam memobilisasi massa di akar rumput dan menciptakan kerusuhan agar kudeta bisa terlaksana. Semangat kudeta itu masih menyala terbukti dengan masih banyaknya aksi demonstrasi. Para politisi baru Tunisia memang berbahagia dengan kejatuhan Ben Ali.Namun, mereka harus menunjukkan sikap, semangat, pencitraan,dan toleransi terhadap perbedaan gaya politik yang berbeda pada masa Ben Ali dan setelah Ben Ali.Pertanyaan adalah bagaimana mereka menunjukkan itu semua?

Sepertinya,kompromi menjadi salah satu jalan meski ada pihakpihak oposisi di Tunisia memilih sikap tegas.Namun,itu saja belum selesai agar Tunisia menjadi negara demokrasi sejati.Visi yang jelas dan memiliki orientasi yang solid sangat dibutuhkan untuk membangun pemerintahan yang bebas dari sikap otoritarian. Namun, Tunisia kini lebih memilih berkompromi dengan Ben Ali-nisasi.

Jika itu tetap dipertahankan, kekuatan rakyat bakal sia-sia. Memang Ben Ali sudah hengkang ke Arab Saudi, tetapi kroni-kroninya masih bercokol. Bahasa politik dan simbol Ben Alinisasi pun masih melekat bukan hanya tetap hadirnya para menteri era Ben Ali, tetapi atmosfer dan semangat perubahan yang sulit dilaksanakan. Politik Tunisia pun membutuhkan restorasi moral sebagai solusi jangka panjang.

Gerakan masyarakat yang mampu mengalahkan sistem otoriter kini harus dibuktikan dengan memasuki fase transisi dan rekonstruksi. Solusinya adalah membentuk citra baru politik Tunisia saat ini.Seperti apa citranya? Tentunya pemerintahan Tunisia yang bebas dari Ben Ali-nisasi dan bebas korupsi dengan mengutamakan keberpihakan kepada masyarakat. Fase transisi juga harus diisi dengan pembelajaran demokrasi. Ini mulai dari kesetaraan hak warga, keputusan yang populer, dan menerapkan tradisi kritik membangun.

Sejarah telah mencatat bahwa Tunisia bukan negara yang bersih dalam proses demokrasi. Pembelajaran demokrasi di negara itu dimulai sejak semangat Pakta Fundamental 1857. Kini, Tunisia menginginkan kembali Pakta Fundamental jilid kedua Namun,23 tahun sudah Tunisia dikuasai rezim Ben Ali.Para politisi muda dan pemain politik baru pun tidak memiliki pengalaman di parlemen atau di tingkat eksekutif. Dengan demikian, proses pembelajaran demokrasi bagi rakyat Tunisia baru saja dimulai.

Proses belajar pun bakal terjadi uji coba. Kebebasan politik yang juga melibatkan kesetaraan sosial ekonomi tidak boleh dilupakan karena masyarakat juga membutuhkan makanan untuk hidup. Rute peta demokrasi pun harus dibangun dan dipelajari rakyat Tunisia, baik jangka pendek dan jangka panjang.Semuanya harus diperjelas. Dalam jangka pendek, pemilu bakal digelar dalam jangka waktu dua bulan mendatang dan harus menghasilkan pemerintahan yang kuat.

Namun, pemilu yang digelar tergesa-gesa bisa saja menciptakan partai politik yang lemah. Sementara dalam proses tersebut, keterlibatan politik dan partisipasi rakyat Tunisia harus intensif. Dalam jangka panjang, pemerintahan baru harus membubarkan sistem presidensial dan mengalihkan ke sistem parlemen. Dengan demikian, ada sistem pengawasan yang kuat. Pemerintahan juga harus memberikan kebebasan pers dan memberikan sikap terbuka terhadap oposisi.

Meski begitu, minimal ada beberapa hal penting dari 29 hari kekisruhan politik di Tunisia. Pertama, kerusuhan roti yang menghasilkan gerakan rakyat pertama di dunia Arab memberikan catatan terhadap pentingnya perubahan. Kedua,dukungan negara Barat terhadap sebuah rezim tidak menjadi jaminan.

Ketiga,tidak ada gerakan politik yang mampu berdiri sendiri. Empat, politik memintal hanya berujung pada kegagalan. Kelima, WikiLeaks yang membeberkan tentang kebobrokan pemerintahan Ben Ali, ditambah kekuatan jaringan sosial seperti Twitterdan Facebook. (Al Jazeera/Le Monde/ andika hm)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Snowden Tuding NSA Retas Internet Hong Kong dan China

Inovasi Belanda Tak Terpisahkan dari Bangsa Indonesia

Teori Pergeseran Penerjemahan Catford