Revolusi Menggoyang Dunia Arab
TUNIS(SINDO) – Revolusi merupakan kata yang asing selama beberapa dekade lalu di dunia Arab. Revolusi menjadi hal yang sangat ditakuti para pemimpin Arab yang dikenal dengan tiraninya.
Namun, rakyat Tunisia melalui “Revolusi Melati” mampu menggetarkan kekuasaan tirani di seluruh Jazirah Arab. Para diktator Arab pun kini harus berpikir seribu kali lebih kencang untuk mengamankan takhta mereka. Revolusi Tunisia mengajarkan kepada para pemimpin Arab lainnya bahwa tak ada kekuasaan di dunia yang kekal.Tirani di dunia Arab hanya fatamorgana.Kekuasaan mereka bisa jadi dapat bertahan hanya dalam hitungan hari. Setiap jarum yang selalu bergerak maju merupakan detik-detik menuju sebuah ledakan pemberontakan rakyat yang sangat dahsyat. Rakyat Arab menginginkan demokrasi tumbuh sehat, tanpa adanya kekangan terhadap kebebasan berbicara, berpolitik,ekonomi dan berekspresi.
Perubahan menjadi suatu hal yang mutlak diperlukan. Rakyat di dunia Arab tidak membutuhkan janji, tetapi mereka menginginkan sebuah gerakan yang mampu memberikan jaminan masa depan berupa kebahagiaan dan kebebasan dalam hidup.Tidak ada lagi ketakutan, dan tidak ada lagi kelaparan di sekitar mereka. Stephen Walt, profesor kajian hubungan internasional dari Universitas Harvard,mengungkapkan apa yang terjadi di Tunisia akan berdampak luas ke dunia Arab.Apa yang diungkapkan Walt terbukti benar.
Rakyat Mesir telah mengadopsi model revolusi Tunisia untuk menggoyang kekuasaan Hosni Mubarak yang telah berkuasa selama 30 tahun lamanya. Menurut Walt, dalam teori “gelombang”, semua kejadian di suatu negara akan memberikan inspirasi bagi rakyat di negara lain. Gelombang emosional akan semakin memanaskan situasi dan kondisi politik di negara-negara Arab.“Sejarah revolusi dunia selalu menunjukkan bahwa insiden tersebut selalu meluas meski berjalan lambat,” tulisnya di dalam artikel Foreign Policy. Walt menuturkan bahwa sebagian besar pemerintahan Arab adalah otoriter. Dia mengatakan, semuanya adalah negara merdeka tapi masing-masing negara Arab memiliki institusi politik yang berbeda dan memiliki tujuan utama yakni mempertahankan kekuasaan.
Menurut Walt,jika para pemimpin Arab mampu mengelola dan menghadapi tantangan dengan baik, maka kekuasaan akan tetap berada di genggaman tirani.“Yang terjadi di Tunisia,Presiden (Zine El Abidine) Ben Ali melakukan kesalahan fatal dalam mengelola tantangan dan mengendalikan kekuasaan,” ujar Walt. Apakah revolusi di Tunisia berdampak positif? “Pemerintahan sementara Tunisia juga masih dikuasai para loyalis Ben Ali. Jika orang-orang lama masih dipertahankan, maka kerusuhan akan semakin lama,”papar Walt. Namun, Scott Peterson dari Christian Science Monitor memiliki pandangan berbeda.
Dia menganggap bahwa apa yang terjadi di Tunisia tidak akan dapat memicu semua negara Arab melakukan revolusi.“ Tunisia memiliki kelas menengah yang modern, pendidikan, dan kuat. Sementara, negara Arab lainnya tidak memiliki kekuatan di kelas menengah,”kata dia.Dia menegaskan bahwa karakteristik Tunisia berbeda dengan negara Arab lainnya.
Sekuler Vs Relegius
Saat ini yang mengikuti langkah nyata revolusi Tunisia adalah Mesir.Fokus utamanya adalah siapa yang di belakang gerakan tersebut. Kelompok yang menggerakkan juga menjadi penentu keberhasilan revolusi. Di Tunisia,gerakan perlawanan terhadap Ben Ali diarahkan oleh kaum sekuler nasionalis.Tidak ada golongan kaum religius Islam ekstremis yang ikut berada di belakang revolusi Tunisia. Ulama dan tokoh masyarakat, bagi rakyat Tunisia, hanya kepanjangan tangan Ben Ali yang berkuasa selama 23 tahun. Nah, bagaimana di Mesir?
Gerakan revolusi di Mesir di pelopori kelompok Islam. Kaum religius menjadi warga minor di Mesir karena pemerintahan Mesir sangat sekuler. Seperti kelompok Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslim) dan kelompok keagamaan lainnya,sangat bersemangat untuk menggulingkan Mubarak. Selama puluhan tahun,gerakan Islam dikerangkeng sangat kuat sehingga mereka tidak bisa bergerak leluasa. Setiap gerak mereka dipantau intelijen dan ribuan pendukung mereka dipenjara.
Jelas sekali, jika Mubarak turun takhta,bisa jadi yang berkuasa adalah kelompok Islam. Mereka akan mendirikan negara Islam.Tidak ada lagi loyalis Mubarak yang tersisa di jajaran pemerintahan Mesir mendatang. Itu semua bisa terjadi jika revolusi Mesir sukses. Tapi, kelompok Islam sepertinya tidak mendapatkan dukungan kuat dari kubu militer. Jika kaum religius itu mampu menggaet militer,maka Mubarak bakal turun tahta.
Kesenjangan Sumber Masalah Dunia Arab
Kemiskinan dan kesenjangan antara kaya dan miskin yang semakin lebar merupakan penyebab utama revolusi di Tunisia yang menjalar ke Mesir dan Yaman. “Hal yang harus diperhatikan semua pihak adalah orang Arab menderita kemiskinan, pengangguran, dan penurunan sejumlah indikator lainnya.Ini menambah masalah politik yang belum kelar,” tegar Sekretaris Jenderal (Sekjen) Liga Arab Amr Moussa. Moussa mengungkapkan,revolusi Tunisia tidaklah jauh dari rakyat Arab.Warga Arab telah memasuki suasana yang sarat kemarahan dan frustrasi.
Ditambah dengan sistem dinasti politik yang terus dilanggengkan dan monopoli kekuasaan serta ekonomi. Negara hanya dikuasai keluarga para pemimpin dan orang-orang dekat mereka. Kemudian bagaimana solusinya? Mantan Menteri Luar Negeri Mesir itu mengusulkan agar Turki memiliki peranan penting dalam permasalahan regional atas permasalahan yang terjadi Tunisia, Mesir,dan negara Arab lainnya.Menurut dia,permasalahan yang muncul di Tunisia dan Mesir merupakan bentuk ketidaknyamanan di dunia Arab.“Presiden dan Perdana Menteri Turki memiliki pengaruh dalam memberikan kontribusi terhadap proses perdamaian,” kata Moussa. Mantan Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan mengungkapkan, solusi bagi dunia Arab adalah reformasi.“Namun,para pemimpin Arab sangat ketakutan.
Jika Anda (pemimpin Arab) membuka pintu meski sedikit saja, maka Anda tidak dapat menguasainya lagi,”papar dia. Annan berharap, para pemimpin di dunia Arab mampu mengambil keputusan yang tepat dan menempuh langkah tepat.“Saya percaya bahwa apa yang terjadi di Tunisia akan menimbulkan reaksi pada negara-negara di Afrika Utara lainnya,”tutur Annan.
Demokrasi Bukan Budaya Arab?
Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, juga memberikan perhatian penuh terhadap kekisruhan dengan permasalahan yang terjadi Timur Tengah. Salah satu panelis dalam sebuah diskusi di Forum Davos menyebutkan, demokrasi bukan bagian dari budaya Arab? Apakah benar begitu? Budaya Arab sangat lekat dengan kesukuan, patriarki,dan sesepuh. Ketika ada orang tua yang tidak memiliki prestasi dan anak muda yang mempunyai segudang prestasi dan strategi,maka rakyat Arab akan memiliki orang tua.Sebagian besar rakyat Arab masih terjebak dalam kerangka berpikir yang mementingkan stabilitas, bukan perubahan menuju kemajuan.
Dengan dalil-dalil dan tradisi menjadi pegangan utama mereka yang menyulitkan perubahan dan revolusi lama sekali meledaknya. Namun, sebagian kecil masyarakat di dunia Arab masih menginginkan demokrasi sebagai solusi atas berbagai permasalahan. Mereka adalah kaum terpelajar yang telah terbuka pemikirannya mengenai kemajuan dan idealnya sebuah bangsa.Tapi,kaum terdidik yang terjebak dengan kekuasaan juga sangat pragmatis dalam memandang masa depan bangsanya. Tujuan akhir dari sebuah revolusi sebenarnya adalah terciptanya sebuah pemerintahan yang jujur dan transparan. Sebuah pemerintahan yang mengantar masyarakat menuju gerbang kesuksesan.
Pemerintahan yang tidak hanya memperhatikan kekuasaan semata, tetapi juga kesejahteraan rakyat. Agar terjadi kemajuan demokrasi dan kesuksesan di dunia Arab, perbaikan mutu pendidikan adalah solusi utama. Pendidikan mampu menjadi indikator inovasi dan mampu mendorong pembangunan lebih efektif dan efisien. Tapi,pendidikan yang berbasis pada keahlian dan penelitian serta pengembangan harus terus dikembangkan, bukan hanya berbasis teori semata. (CSM/Jerusalem Post/Rtr/andika hm)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/378575/
Namun, rakyat Tunisia melalui “Revolusi Melati” mampu menggetarkan kekuasaan tirani di seluruh Jazirah Arab. Para diktator Arab pun kini harus berpikir seribu kali lebih kencang untuk mengamankan takhta mereka. Revolusi Tunisia mengajarkan kepada para pemimpin Arab lainnya bahwa tak ada kekuasaan di dunia yang kekal.Tirani di dunia Arab hanya fatamorgana.Kekuasaan mereka bisa jadi dapat bertahan hanya dalam hitungan hari. Setiap jarum yang selalu bergerak maju merupakan detik-detik menuju sebuah ledakan pemberontakan rakyat yang sangat dahsyat. Rakyat Arab menginginkan demokrasi tumbuh sehat, tanpa adanya kekangan terhadap kebebasan berbicara, berpolitik,ekonomi dan berekspresi.
Perubahan menjadi suatu hal yang mutlak diperlukan. Rakyat di dunia Arab tidak membutuhkan janji, tetapi mereka menginginkan sebuah gerakan yang mampu memberikan jaminan masa depan berupa kebahagiaan dan kebebasan dalam hidup.Tidak ada lagi ketakutan, dan tidak ada lagi kelaparan di sekitar mereka. Stephen Walt, profesor kajian hubungan internasional dari Universitas Harvard,mengungkapkan apa yang terjadi di Tunisia akan berdampak luas ke dunia Arab.Apa yang diungkapkan Walt terbukti benar.
Rakyat Mesir telah mengadopsi model revolusi Tunisia untuk menggoyang kekuasaan Hosni Mubarak yang telah berkuasa selama 30 tahun lamanya. Menurut Walt, dalam teori “gelombang”, semua kejadian di suatu negara akan memberikan inspirasi bagi rakyat di negara lain. Gelombang emosional akan semakin memanaskan situasi dan kondisi politik di negara-negara Arab.“Sejarah revolusi dunia selalu menunjukkan bahwa insiden tersebut selalu meluas meski berjalan lambat,” tulisnya di dalam artikel Foreign Policy. Walt menuturkan bahwa sebagian besar pemerintahan Arab adalah otoriter. Dia mengatakan, semuanya adalah negara merdeka tapi masing-masing negara Arab memiliki institusi politik yang berbeda dan memiliki tujuan utama yakni mempertahankan kekuasaan.
Menurut Walt,jika para pemimpin Arab mampu mengelola dan menghadapi tantangan dengan baik, maka kekuasaan akan tetap berada di genggaman tirani.“Yang terjadi di Tunisia,Presiden (Zine El Abidine) Ben Ali melakukan kesalahan fatal dalam mengelola tantangan dan mengendalikan kekuasaan,” ujar Walt. Apakah revolusi di Tunisia berdampak positif? “Pemerintahan sementara Tunisia juga masih dikuasai para loyalis Ben Ali. Jika orang-orang lama masih dipertahankan, maka kerusuhan akan semakin lama,”papar Walt. Namun, Scott Peterson dari Christian Science Monitor memiliki pandangan berbeda.
Dia menganggap bahwa apa yang terjadi di Tunisia tidak akan dapat memicu semua negara Arab melakukan revolusi.“ Tunisia memiliki kelas menengah yang modern, pendidikan, dan kuat. Sementara, negara Arab lainnya tidak memiliki kekuatan di kelas menengah,”kata dia.Dia menegaskan bahwa karakteristik Tunisia berbeda dengan negara Arab lainnya.
Sekuler Vs Relegius
Saat ini yang mengikuti langkah nyata revolusi Tunisia adalah Mesir.Fokus utamanya adalah siapa yang di belakang gerakan tersebut. Kelompok yang menggerakkan juga menjadi penentu keberhasilan revolusi. Di Tunisia,gerakan perlawanan terhadap Ben Ali diarahkan oleh kaum sekuler nasionalis.Tidak ada golongan kaum religius Islam ekstremis yang ikut berada di belakang revolusi Tunisia. Ulama dan tokoh masyarakat, bagi rakyat Tunisia, hanya kepanjangan tangan Ben Ali yang berkuasa selama 23 tahun. Nah, bagaimana di Mesir?
Gerakan revolusi di Mesir di pelopori kelompok Islam. Kaum religius menjadi warga minor di Mesir karena pemerintahan Mesir sangat sekuler. Seperti kelompok Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslim) dan kelompok keagamaan lainnya,sangat bersemangat untuk menggulingkan Mubarak. Selama puluhan tahun,gerakan Islam dikerangkeng sangat kuat sehingga mereka tidak bisa bergerak leluasa. Setiap gerak mereka dipantau intelijen dan ribuan pendukung mereka dipenjara.
Jelas sekali, jika Mubarak turun takhta,bisa jadi yang berkuasa adalah kelompok Islam. Mereka akan mendirikan negara Islam.Tidak ada lagi loyalis Mubarak yang tersisa di jajaran pemerintahan Mesir mendatang. Itu semua bisa terjadi jika revolusi Mesir sukses. Tapi, kelompok Islam sepertinya tidak mendapatkan dukungan kuat dari kubu militer. Jika kaum religius itu mampu menggaet militer,maka Mubarak bakal turun tahta.
Kesenjangan Sumber Masalah Dunia Arab
Kemiskinan dan kesenjangan antara kaya dan miskin yang semakin lebar merupakan penyebab utama revolusi di Tunisia yang menjalar ke Mesir dan Yaman. “Hal yang harus diperhatikan semua pihak adalah orang Arab menderita kemiskinan, pengangguran, dan penurunan sejumlah indikator lainnya.Ini menambah masalah politik yang belum kelar,” tegar Sekretaris Jenderal (Sekjen) Liga Arab Amr Moussa. Moussa mengungkapkan,revolusi Tunisia tidaklah jauh dari rakyat Arab.Warga Arab telah memasuki suasana yang sarat kemarahan dan frustrasi.
Ditambah dengan sistem dinasti politik yang terus dilanggengkan dan monopoli kekuasaan serta ekonomi. Negara hanya dikuasai keluarga para pemimpin dan orang-orang dekat mereka. Kemudian bagaimana solusinya? Mantan Menteri Luar Negeri Mesir itu mengusulkan agar Turki memiliki peranan penting dalam permasalahan regional atas permasalahan yang terjadi Tunisia, Mesir,dan negara Arab lainnya.Menurut dia,permasalahan yang muncul di Tunisia dan Mesir merupakan bentuk ketidaknyamanan di dunia Arab.“Presiden dan Perdana Menteri Turki memiliki pengaruh dalam memberikan kontribusi terhadap proses perdamaian,” kata Moussa. Mantan Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan mengungkapkan, solusi bagi dunia Arab adalah reformasi.“Namun,para pemimpin Arab sangat ketakutan.
Jika Anda (pemimpin Arab) membuka pintu meski sedikit saja, maka Anda tidak dapat menguasainya lagi,”papar dia. Annan berharap, para pemimpin di dunia Arab mampu mengambil keputusan yang tepat dan menempuh langkah tepat.“Saya percaya bahwa apa yang terjadi di Tunisia akan menimbulkan reaksi pada negara-negara di Afrika Utara lainnya,”tutur Annan.
Demokrasi Bukan Budaya Arab?
Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, juga memberikan perhatian penuh terhadap kekisruhan dengan permasalahan yang terjadi Timur Tengah. Salah satu panelis dalam sebuah diskusi di Forum Davos menyebutkan, demokrasi bukan bagian dari budaya Arab? Apakah benar begitu? Budaya Arab sangat lekat dengan kesukuan, patriarki,dan sesepuh. Ketika ada orang tua yang tidak memiliki prestasi dan anak muda yang mempunyai segudang prestasi dan strategi,maka rakyat Arab akan memiliki orang tua.Sebagian besar rakyat Arab masih terjebak dalam kerangka berpikir yang mementingkan stabilitas, bukan perubahan menuju kemajuan.
Dengan dalil-dalil dan tradisi menjadi pegangan utama mereka yang menyulitkan perubahan dan revolusi lama sekali meledaknya. Namun, sebagian kecil masyarakat di dunia Arab masih menginginkan demokrasi sebagai solusi atas berbagai permasalahan. Mereka adalah kaum terpelajar yang telah terbuka pemikirannya mengenai kemajuan dan idealnya sebuah bangsa.Tapi,kaum terdidik yang terjebak dengan kekuasaan juga sangat pragmatis dalam memandang masa depan bangsanya. Tujuan akhir dari sebuah revolusi sebenarnya adalah terciptanya sebuah pemerintahan yang jujur dan transparan. Sebuah pemerintahan yang mengantar masyarakat menuju gerbang kesuksesan.
Pemerintahan yang tidak hanya memperhatikan kekuasaan semata, tetapi juga kesejahteraan rakyat. Agar terjadi kemajuan demokrasi dan kesuksesan di dunia Arab, perbaikan mutu pendidikan adalah solusi utama. Pendidikan mampu menjadi indikator inovasi dan mampu mendorong pembangunan lebih efektif dan efisien. Tapi,pendidikan yang berbasis pada keahlian dan penelitian serta pengembangan harus terus dikembangkan, bukan hanya berbasis teori semata. (CSM/Jerusalem Post/Rtr/andika hm)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/378575/
Komentar