Serangan Korut Masih Sekadar Gertakan
SEOUL(SINDO) – Serangan artileri Korea Utara (Korut) ke sebuah pulau Korea Selatan (Korsel) sesungguhnya bukan sebuah krisis yang mengancam perdamaian di semenanjung Korea.
Meski telah memakan korban dan meningkatkan ketegangan regional, aksi provokasi tersebut tidak layak disebutkan sebagai krisis yang harus diperhatikan oleh dunia internasional. Justru, hal itu menjadi kesempatan untuk media mencapai perkembangan positif. Kenapa serangan tersebut tidak layak disebut krisis? Pasalnya, provokasi telah menjadi sikap dan kebiasaan yang melekat pada Korut. Amerika Serikat (AS) sepertinya telah menyampaikan retorika pengecaman, tetapi tidak membangun pendekatan yang kreatif untuk membujuk Korut dan menganggapnya sebagai mitra untuk diajak membangun perdamaian.
Sebenarnya, ada beberapa pelajaran yang bisa diambil dalam perkembangan konflik di semenanjung Korea.Pertama adalah situasi keamanan yang berkaitan dengan Korut tidak berubah. Pyongyang memiliki cadangan bom nuklir yang berjumlah empat hingga delapan buah. Tapi menurut Sig Hecker,ilmuwan AS yang mengunjungi reaktor nuklir Korut dua pekan lalu, uranium tersebut masih membeku dan belum menjadi bom yang siap menghancurkan. Ingat, Korut hanya sekedar menggertak. Reaktor nuklir yang baru dipublikasikan itu juga belum beroperasi secara penuh.Kemampuan membuat plutonium itu, oleh Korut akan ditukarkan dengan hubungan lebih baik dengan AS.
Jangka pendeknya, sebenarnya fasilitas nuklir Korut lebih sebagai energi nuklir untuk kepentingan listrik, bukan senjata. Namun, menurut Hecker,hal itu masih menyimpan pertanyaan yang harus dijawab. Kedua adalah permasalahan kesulitan dalam mendekatkan Korut. Pasalnya,Korut lebih suka dengan isolasi dan ketidakstabilan. Buktinya Pyongyang justru menantang sanksi Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) yang bakal diberikan dengan membangun fasilitas nuklir baru.Ketika,AS ingin mendekati Korut, Pyongyang pun cenderung menghindar. Sementara itu,Presiden AS Barack Obama menggunakan pendekatan dengan “strategi sabar” dalam penerapan kebijakan terhadap Korut.AS tetap berusaha bersabar ketika Pyongyang berulang kali menolak tawaran dialog.
Lalu kenapa pemerintahan Gedung Putih sepertinya gagal memainkan peranan diplomasi dengan Korut? Para pengamat menganggap kegagalan itu, karena Washington bermain sendiri dalam mendekati Korut tanpa dukungan internasional yang solid. Siapa pun yang berhubungan dengan Korut harus menggunakan pendekatan yang kreatif dan pemikiran yang matang.Tentunya,semuanya didesain dan diuji coba sehingga dijalankan dengan konsisten. Sebagai contoh, saran yang di kemukakan Lee Sigal dari Dewan Penelitian Ilmu Sosial,menyebutkan insentif ekonomi dan kunjungan diplomatik Menteri Luar Negeri Hillary Clinton ke Korut dapat menjadi solusi ketegangan.
Kemudian, diakhiri dengan deklarasi perdamaian antara kedua Korea dan China dapat menjadi langkah awal yang paling tepat. Ingat pesan Sun-tzu, pakar perang China kuno, “Jagalah erat temanmu dan musuhmu.”Nasihat itu sangat tepat diterapkan dalam mendekati Korut. Sementara itu, para pengamat sepertinya sepakat bahwa serangan artileri ke kawasan Korsel pada Selasa (23/11) lalu sebagai representasi terhadap apa yang terjadi di dalam negeri negara tersebut. Asosiasi yang dikaitkan pun mengerucut dengan proses suksesi yang berlangsung di negara tersebut. Tapi, pemegang kunci dalam konflik tersebut adalah Korsel,jika Seoul berani memberikan serangan balasan,perang di semenanjung Korea bakal berkibar.
“Justifikasi kita adalah Korut melakukan serangan untuk mengonsolidasikan proses sukses di negara tersebut untuk menunjukkan kepemimpinan Kim Jong-un,” ungkap Menteri Pertahanan Korsel Tim Tae-young ketika berdiskusi dengan anggota parlemen. Sementara ini,Perdana Menteri Korea Selatan Kim Hwang-sik mengatakan kepada parlemen bahwa penembakan di pulau Laut Kuning adalah sebuah provokasi yang terukur dan direncanakan dengan hati-hati.“Korut ingin mengangkat keterampilan sang ahli waris, Kim Jong-Un,kesatuan internal yang kuat dan untuk melampiaskan ketidakpuasan terhadap dunia luar,”paparnya.
Kim Jong-un merupakan putra bungsu pemimpin Korut Kim Jongil yang telah ditunjuk sebagai jenderal bintang empat pada Kongres Partai Pekerja tepat pada September lalu.Jong-un juga ditempatkan sebagai anggota komite militer yang memiliki kekuasaan penuh. Elemen-elemen lainnya di Korsel nampaknya sepakat dengan pendapat Tim Tae-young dan Kim Hwang-sik. Seperti di kemukakan Young Howard, pemimpin lembaga nirlaba Radio Terbuka untuk Korut, yang menyebutkan alasan penyerangan itu adalah untuk menunjukkan kestabilan Jong-un.Itu, kata dia, menjadi alasan paling utama. “Dengan melakukan ketegangan militer yang terus menerus akan membuat dirinya mendapatkan dukungan dari militernya.
Selain itu, Jong-un ingin menarik simpati dan mempersatukan rakyat Korut,” ujar Howard. Pihak lain menyatakan pendekatan militeristik masyarakat Korut memang telah mengakar dan menjadi identitas.“Saya kira ada sebuah bahaya terhadap tendensi Barat untuk menginterpretasikan semua aksi Korut berkaitan dengan jaminan lancarnya suksesi terhadap Jong-un,” ujar Brian Myers, penulis The Cleanest Race dan pakar propaganda Korut. Menurut Myers, sikap konfrontasi tersebut tidak akan berlanjut, jika Jong-un telah berkuasa penuh karena mereka menyadari hal itu sangat berbahaya.“Jika Anda berkuasa pada rezim militer,Anda harus meregangkan otot terlebih dahulu, dan itulah yang dilakukan Korut saat ini,”katanya.
Memang banyak harapan terhadap Jong-un agar dia mampu berpikir terbuka dan bersikap reformis dalam memimpin negaranya. Meski, hal itu seperti sangat jauh terealisir. Jong-un diharapkan banyak pihak agar tidak meng-gunakan pendekatan militeristik dalam pemerintahannya. Hal itu pun seperti mimpi di siang bolong. “Korut pada akhir musim panas lalu meminta bantuan dan diabaikan Korsel. Nah kini, mereka mengirimkan pesan terhadap Korsel dengan serangan artileri terhadap sebuah pulau,” papar Andrei Lankov, pakar Korut di Universitas Kookmin di Seoul. “Korut juga telah mengirimkan pesan kepada AS mengenai reaktor nuklir terbarunya, dan mereka masih berstatus bahaya.” Menurut Lankov,Korut memiliki zona yang tepat bagi kedua belah pihak dalam melakukan serangan.
Serangan ini, kata dia,merupakan sebuah cara untuk mengirimkan pesan kepada Gedung Putih dan Gedung Biru (Istana Presiden Korsel). Pandangan lain menyebutkan bahwa Korut memiliki legitimasi untuk mengancam. “Korut memang negara komunis yang gila dan fanatik ketika sebagian besar tentara di negara tersebut memelihara kelinci dan memanen hasil panenan,” ujar Michael Breen, penulis biografi Kim Jong-il.
Korut Bukan Pemicu Perang Dunia
Sementara Presiden Korsel Lee Myung-bak meminta serangan Korut agar dihentikan. Jika diteruskan, Lee menyebutkan hal itu akan berisiko menjadikan Semenanjung Korea terlibat perang besar.“Korsel memang sangat toleran,tapi seberapa besar toleransinya?” ujar Dan Pinkston, yang memimpin Kelompok Krisis Internasional di Seoul.
Apakah Korut dapat menjadi pemicu perang dunia seperti Perang Dunia II? “Saya kira tidak akan ke arah itu. Saya kira, ketegangan di semenanjung Korea bakal mereda,” jawabnya kepada CNN. “Meski, sebenarnya situasinya membahayakan.” (CNN/andika hm)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/366255/
Meski telah memakan korban dan meningkatkan ketegangan regional, aksi provokasi tersebut tidak layak disebutkan sebagai krisis yang harus diperhatikan oleh dunia internasional. Justru, hal itu menjadi kesempatan untuk media mencapai perkembangan positif. Kenapa serangan tersebut tidak layak disebut krisis? Pasalnya, provokasi telah menjadi sikap dan kebiasaan yang melekat pada Korut. Amerika Serikat (AS) sepertinya telah menyampaikan retorika pengecaman, tetapi tidak membangun pendekatan yang kreatif untuk membujuk Korut dan menganggapnya sebagai mitra untuk diajak membangun perdamaian.
Sebenarnya, ada beberapa pelajaran yang bisa diambil dalam perkembangan konflik di semenanjung Korea.Pertama adalah situasi keamanan yang berkaitan dengan Korut tidak berubah. Pyongyang memiliki cadangan bom nuklir yang berjumlah empat hingga delapan buah. Tapi menurut Sig Hecker,ilmuwan AS yang mengunjungi reaktor nuklir Korut dua pekan lalu, uranium tersebut masih membeku dan belum menjadi bom yang siap menghancurkan. Ingat, Korut hanya sekedar menggertak. Reaktor nuklir yang baru dipublikasikan itu juga belum beroperasi secara penuh.Kemampuan membuat plutonium itu, oleh Korut akan ditukarkan dengan hubungan lebih baik dengan AS.
Jangka pendeknya, sebenarnya fasilitas nuklir Korut lebih sebagai energi nuklir untuk kepentingan listrik, bukan senjata. Namun, menurut Hecker,hal itu masih menyimpan pertanyaan yang harus dijawab. Kedua adalah permasalahan kesulitan dalam mendekatkan Korut. Pasalnya,Korut lebih suka dengan isolasi dan ketidakstabilan. Buktinya Pyongyang justru menantang sanksi Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) yang bakal diberikan dengan membangun fasilitas nuklir baru.Ketika,AS ingin mendekati Korut, Pyongyang pun cenderung menghindar. Sementara itu,Presiden AS Barack Obama menggunakan pendekatan dengan “strategi sabar” dalam penerapan kebijakan terhadap Korut.AS tetap berusaha bersabar ketika Pyongyang berulang kali menolak tawaran dialog.
Lalu kenapa pemerintahan Gedung Putih sepertinya gagal memainkan peranan diplomasi dengan Korut? Para pengamat menganggap kegagalan itu, karena Washington bermain sendiri dalam mendekati Korut tanpa dukungan internasional yang solid. Siapa pun yang berhubungan dengan Korut harus menggunakan pendekatan yang kreatif dan pemikiran yang matang.Tentunya,semuanya didesain dan diuji coba sehingga dijalankan dengan konsisten. Sebagai contoh, saran yang di kemukakan Lee Sigal dari Dewan Penelitian Ilmu Sosial,menyebutkan insentif ekonomi dan kunjungan diplomatik Menteri Luar Negeri Hillary Clinton ke Korut dapat menjadi solusi ketegangan.
Kemudian, diakhiri dengan deklarasi perdamaian antara kedua Korea dan China dapat menjadi langkah awal yang paling tepat. Ingat pesan Sun-tzu, pakar perang China kuno, “Jagalah erat temanmu dan musuhmu.”Nasihat itu sangat tepat diterapkan dalam mendekati Korut. Sementara itu, para pengamat sepertinya sepakat bahwa serangan artileri ke kawasan Korsel pada Selasa (23/11) lalu sebagai representasi terhadap apa yang terjadi di dalam negeri negara tersebut. Asosiasi yang dikaitkan pun mengerucut dengan proses suksesi yang berlangsung di negara tersebut. Tapi, pemegang kunci dalam konflik tersebut adalah Korsel,jika Seoul berani memberikan serangan balasan,perang di semenanjung Korea bakal berkibar.
“Justifikasi kita adalah Korut melakukan serangan untuk mengonsolidasikan proses sukses di negara tersebut untuk menunjukkan kepemimpinan Kim Jong-un,” ungkap Menteri Pertahanan Korsel Tim Tae-young ketika berdiskusi dengan anggota parlemen. Sementara ini,Perdana Menteri Korea Selatan Kim Hwang-sik mengatakan kepada parlemen bahwa penembakan di pulau Laut Kuning adalah sebuah provokasi yang terukur dan direncanakan dengan hati-hati.“Korut ingin mengangkat keterampilan sang ahli waris, Kim Jong-Un,kesatuan internal yang kuat dan untuk melampiaskan ketidakpuasan terhadap dunia luar,”paparnya.
Kim Jong-un merupakan putra bungsu pemimpin Korut Kim Jongil yang telah ditunjuk sebagai jenderal bintang empat pada Kongres Partai Pekerja tepat pada September lalu.Jong-un juga ditempatkan sebagai anggota komite militer yang memiliki kekuasaan penuh. Elemen-elemen lainnya di Korsel nampaknya sepakat dengan pendapat Tim Tae-young dan Kim Hwang-sik. Seperti di kemukakan Young Howard, pemimpin lembaga nirlaba Radio Terbuka untuk Korut, yang menyebutkan alasan penyerangan itu adalah untuk menunjukkan kestabilan Jong-un.Itu, kata dia, menjadi alasan paling utama. “Dengan melakukan ketegangan militer yang terus menerus akan membuat dirinya mendapatkan dukungan dari militernya.
Selain itu, Jong-un ingin menarik simpati dan mempersatukan rakyat Korut,” ujar Howard. Pihak lain menyatakan pendekatan militeristik masyarakat Korut memang telah mengakar dan menjadi identitas.“Saya kira ada sebuah bahaya terhadap tendensi Barat untuk menginterpretasikan semua aksi Korut berkaitan dengan jaminan lancarnya suksesi terhadap Jong-un,” ujar Brian Myers, penulis The Cleanest Race dan pakar propaganda Korut. Menurut Myers, sikap konfrontasi tersebut tidak akan berlanjut, jika Jong-un telah berkuasa penuh karena mereka menyadari hal itu sangat berbahaya.“Jika Anda berkuasa pada rezim militer,Anda harus meregangkan otot terlebih dahulu, dan itulah yang dilakukan Korut saat ini,”katanya.
Memang banyak harapan terhadap Jong-un agar dia mampu berpikir terbuka dan bersikap reformis dalam memimpin negaranya. Meski, hal itu seperti sangat jauh terealisir. Jong-un diharapkan banyak pihak agar tidak meng-gunakan pendekatan militeristik dalam pemerintahannya. Hal itu pun seperti mimpi di siang bolong. “Korut pada akhir musim panas lalu meminta bantuan dan diabaikan Korsel. Nah kini, mereka mengirimkan pesan terhadap Korsel dengan serangan artileri terhadap sebuah pulau,” papar Andrei Lankov, pakar Korut di Universitas Kookmin di Seoul. “Korut juga telah mengirimkan pesan kepada AS mengenai reaktor nuklir terbarunya, dan mereka masih berstatus bahaya.” Menurut Lankov,Korut memiliki zona yang tepat bagi kedua belah pihak dalam melakukan serangan.
Serangan ini, kata dia,merupakan sebuah cara untuk mengirimkan pesan kepada Gedung Putih dan Gedung Biru (Istana Presiden Korsel). Pandangan lain menyebutkan bahwa Korut memiliki legitimasi untuk mengancam. “Korut memang negara komunis yang gila dan fanatik ketika sebagian besar tentara di negara tersebut memelihara kelinci dan memanen hasil panenan,” ujar Michael Breen, penulis biografi Kim Jong-il.
Korut Bukan Pemicu Perang Dunia
Sementara Presiden Korsel Lee Myung-bak meminta serangan Korut agar dihentikan. Jika diteruskan, Lee menyebutkan hal itu akan berisiko menjadikan Semenanjung Korea terlibat perang besar.“Korsel memang sangat toleran,tapi seberapa besar toleransinya?” ujar Dan Pinkston, yang memimpin Kelompok Krisis Internasional di Seoul.
Apakah Korut dapat menjadi pemicu perang dunia seperti Perang Dunia II? “Saya kira tidak akan ke arah itu. Saya kira, ketegangan di semenanjung Korea bakal mereda,” jawabnya kepada CNN. “Meski, sebenarnya situasinya membahayakan.” (CNN/andika hm)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/366255/
Komentar