Wabah Kolera Tewaskan 220 Orang
Epidemi kolera yang mewabah di Haiti tengah dan utara telah menewaskan lebih dari 220 orang dan kini mengincar ibu kota, Port-au-Prince.
Organisasi Kesehatan Pan Amerika (PAHO) dalam pernyataan menyebutkan wabah kolera telah merambah Port-au-Prince dan hal itu dibenarkan oleh Kementerian Kesehatan Publik Haiti. Sayangnya, belum ada jumlah korban wabah kolera di ibukota Haiti tersebut.
Epidemi kolera yang terjadi secara tiba-tiba itu, terutama di Haiti utara, membuat para petugas kesehatan bertarung dengan waktu agar wabah tersebut tidak meluas. Tragedi ini terjadi setelah 10 bulan diguncang gempa dahsyat yang menghancurkan ribuan rumah. Ditambah lagi, ratusan ribu orang masih tinggal di tenda-tenda. PAHO juga melaporkan belum ditemukan wabah kolera terjadi di negara tetangga Republik Dominica. Pemerintah Haiti sendiri tengah memobilisasi petugas di wilayah perbatasan.
Direktur Kesehatan Regional Dieula Louissaint mengatakan 12 orang meninggal di Haiti utara dan menambah jumlah korban di wlayah tersebut menjadi 206, sedangkan 14 orang meninggal di Haiti tengah. “Kita tidak dapat melanjutkan perawatan kolera di wilayah tersebut di mana kita melihat banyanya pasien lainnya,” ujar Louissaint. “Kita butuh mendirikan pusat perawatan khusus,” imbuhnya.
Sekitar 3.000 orang dirawat di rumah sakit dan pusat kesehatan di kota Saint Marc, Haiti utara. 50 tahanan di sebuah penjara di Haiti tengah terinfeksi kolera dan tiga orang dinyatakan tewas. “Situasi saat ini terkendali. Masyarakat seharusnya tida panik. Masyarakat harus menerapkan pola hidup hiegenis,” ujar Jocelyne Pierre-Louis, dokter dar Kementerian Kesehatan Haiti.
Perdana Menteri Haiti, Jean-Max Bellerive, menyatakan bahwa wabah kolera ini tidak disangka-sangka. “Kita harus menentukan darimana asal kolera ini,” kata Bellevire. Presiden Haiti Rene Preval melakukan kunjungan ke wlayah yang terinfeksi epidemi tersebut pada Sabtu (23/10).
Banyak pihak memprediksi bahwa sumber kolera adalah sungai Artibonite yang melintas pedesaan Haiti. Di sungai tersebut sebagai tempat masyarakat Haiti melakukan berbagai aktivitas mulai dari mencuci hingga memasak.
Wabah kolera ini adalah pertama kali dalam 100 tahun terjadi di Haiti. Upaya dilakukan ketika berbagai pihak mengkhawatirkan wabah kolera mendekati ibukota Port-au-Prince. “Jika ada kasus kolera di Port-au-Prince, satu-satunya cara untuk mengatasi penyakit ini adalah dengan melakukan isolasi,” kata Juru Bicara PBB Imogen Wall.
“Prioritas kami saat ini adalah mencegah wabah ini di ibukota. Ini dilakukan agar skenario tidak memburuk,” ujar Wall. Namun demikian, dia menuturkan bahwa lima penderita baru di Ibukota Port-au-Prince. Mereka berasal dari luar kota dan kini ditempatkan di ruang isolasi rumah sakit. “Semua sistem kita telah bekerja, tetapi situasi saat ini sangat mengkhawatirkan,” imbuh Wall.
Wall pun menyatakan organisasi kemanusiaan telah membangun fasilitas untuk merawat pasien dan mengirimkan lebih banyak dokter ke wilayah yang terinfeksi. “Kita menyiapkan semua persediaan obat-obatan, tetapi kita kekurangan petugas medis,” imbuhnya.
Kolera menyebabkan diare dan muntah-muntah. Akibat dari dua gejala ini, orang yang terkena kolera mengalami dehidrasi atau kekurangan cairan. Bila tidak mendapatkan perawatan dengan cepat, ia bisa meninggal dunia.
Sejumlah rumah sakit darurat didirikan untuk merawat ribuan orang yang terkena penyakit ini dan alat pemurnian air didatangkan ke berbagai lokasi yang terserang wabah.
Menteri Kesehatan Haiti Alex Larsen meminta masyarakat untuk mencuci tangan dengan sabun, tidak memakan sayuran mentah, memasak air minum, dan tidak lagi mandi di sungai. Pemerintah Haiti memperingatkan akan muncul bencana besar bila wabah menyerang kam-kam pengungsi yang menjadi tempat tinggal para korban gempa bumi Januari lalu.
Menurut Eric Lotz, pengiat dari organisasi sosial Operation Blessing, mengungkapkan bahwa suasana rumah-rumah sakit di kedua wilayah itu sudah “mengerikan.” Dia berujar, para pasien baru terpaksa ditempatkan di luar bangunan. “Para pasien menempati setiap jengkal tanah,” ujar Lotz.
Aktivis dari organisasi Youth with a Mission, Terry Snow, mengungkapkan bahwa sejumlah pasien bahkan harus menunggu 24 jam lebih untuk diberi tindakan dan harus menginap di luar rumah sakit. Lembaga “Doctors Without Borders” berencana mendirikan rumah sakit lapangan di Saint Marc untuk merawat pasien kolera. Lembaga donor Oxfam telah mengirimkan lima petugas ke Artibonite untuk menyiapkan program sanitasi dan air bersih bagi 100.000 orang. (AFP/Rtr/BBC/CNN/andika hm)
Organisasi Kesehatan Pan Amerika (PAHO) dalam pernyataan menyebutkan wabah kolera telah merambah Port-au-Prince dan hal itu dibenarkan oleh Kementerian Kesehatan Publik Haiti. Sayangnya, belum ada jumlah korban wabah kolera di ibukota Haiti tersebut.
Epidemi kolera yang terjadi secara tiba-tiba itu, terutama di Haiti utara, membuat para petugas kesehatan bertarung dengan waktu agar wabah tersebut tidak meluas. Tragedi ini terjadi setelah 10 bulan diguncang gempa dahsyat yang menghancurkan ribuan rumah. Ditambah lagi, ratusan ribu orang masih tinggal di tenda-tenda. PAHO juga melaporkan belum ditemukan wabah kolera terjadi di negara tetangga Republik Dominica. Pemerintah Haiti sendiri tengah memobilisasi petugas di wilayah perbatasan.
Direktur Kesehatan Regional Dieula Louissaint mengatakan 12 orang meninggal di Haiti utara dan menambah jumlah korban di wlayah tersebut menjadi 206, sedangkan 14 orang meninggal di Haiti tengah. “Kita tidak dapat melanjutkan perawatan kolera di wilayah tersebut di mana kita melihat banyanya pasien lainnya,” ujar Louissaint. “Kita butuh mendirikan pusat perawatan khusus,” imbuhnya.
Sekitar 3.000 orang dirawat di rumah sakit dan pusat kesehatan di kota Saint Marc, Haiti utara. 50 tahanan di sebuah penjara di Haiti tengah terinfeksi kolera dan tiga orang dinyatakan tewas. “Situasi saat ini terkendali. Masyarakat seharusnya tida panik. Masyarakat harus menerapkan pola hidup hiegenis,” ujar Jocelyne Pierre-Louis, dokter dar Kementerian Kesehatan Haiti.
Perdana Menteri Haiti, Jean-Max Bellerive, menyatakan bahwa wabah kolera ini tidak disangka-sangka. “Kita harus menentukan darimana asal kolera ini,” kata Bellevire. Presiden Haiti Rene Preval melakukan kunjungan ke wlayah yang terinfeksi epidemi tersebut pada Sabtu (23/10).
Banyak pihak memprediksi bahwa sumber kolera adalah sungai Artibonite yang melintas pedesaan Haiti. Di sungai tersebut sebagai tempat masyarakat Haiti melakukan berbagai aktivitas mulai dari mencuci hingga memasak.
Wabah kolera ini adalah pertama kali dalam 100 tahun terjadi di Haiti. Upaya dilakukan ketika berbagai pihak mengkhawatirkan wabah kolera mendekati ibukota Port-au-Prince. “Jika ada kasus kolera di Port-au-Prince, satu-satunya cara untuk mengatasi penyakit ini adalah dengan melakukan isolasi,” kata Juru Bicara PBB Imogen Wall.
“Prioritas kami saat ini adalah mencegah wabah ini di ibukota. Ini dilakukan agar skenario tidak memburuk,” ujar Wall. Namun demikian, dia menuturkan bahwa lima penderita baru di Ibukota Port-au-Prince. Mereka berasal dari luar kota dan kini ditempatkan di ruang isolasi rumah sakit. “Semua sistem kita telah bekerja, tetapi situasi saat ini sangat mengkhawatirkan,” imbuh Wall.
Wall pun menyatakan organisasi kemanusiaan telah membangun fasilitas untuk merawat pasien dan mengirimkan lebih banyak dokter ke wilayah yang terinfeksi. “Kita menyiapkan semua persediaan obat-obatan, tetapi kita kekurangan petugas medis,” imbuhnya.
Kolera menyebabkan diare dan muntah-muntah. Akibat dari dua gejala ini, orang yang terkena kolera mengalami dehidrasi atau kekurangan cairan. Bila tidak mendapatkan perawatan dengan cepat, ia bisa meninggal dunia.
Sejumlah rumah sakit darurat didirikan untuk merawat ribuan orang yang terkena penyakit ini dan alat pemurnian air didatangkan ke berbagai lokasi yang terserang wabah.
Menteri Kesehatan Haiti Alex Larsen meminta masyarakat untuk mencuci tangan dengan sabun, tidak memakan sayuran mentah, memasak air minum, dan tidak lagi mandi di sungai. Pemerintah Haiti memperingatkan akan muncul bencana besar bila wabah menyerang kam-kam pengungsi yang menjadi tempat tinggal para korban gempa bumi Januari lalu.
Menurut Eric Lotz, pengiat dari organisasi sosial Operation Blessing, mengungkapkan bahwa suasana rumah-rumah sakit di kedua wilayah itu sudah “mengerikan.” Dia berujar, para pasien baru terpaksa ditempatkan di luar bangunan. “Para pasien menempati setiap jengkal tanah,” ujar Lotz.
Aktivis dari organisasi Youth with a Mission, Terry Snow, mengungkapkan bahwa sejumlah pasien bahkan harus menunggu 24 jam lebih untuk diberi tindakan dan harus menginap di luar rumah sakit. Lembaga “Doctors Without Borders” berencana mendirikan rumah sakit lapangan di Saint Marc untuk merawat pasien kolera. Lembaga donor Oxfam telah mengirimkan lima petugas ke Artibonite untuk menyiapkan program sanitasi dan air bersih bagi 100.000 orang. (AFP/Rtr/BBC/CNN/andika hm)
Komentar