Data Perang Afghanistan Bocor

KABUL (SI) – Amerika Serikat (AS) kemarin mengecam kebocoran 90.000 data militer di Afghanistan yang dianggap tak bertanggung jawab dan membahayakan keamanan nasional.


Lebih dari 90.000 dokumen militer Amerika Serikat yang memuat detail-detail rahasia perang Afghanistan dipublikasikan di situs WikiLeaks. Bisa disimpulkan bahwa ini kebocoran dokumen rahasia terbesar sepanjang sejarah militer AS. Beberapa dokumen utama yang dipublikasikan itu memuat catatan yang berisi pembunuhan warga sipil Afghanistan yang ditutup-tutupi. Taliban memiliki akses untuk memperoleh rudal pencari panas portabel untuk menembak pesawat-pesawat tempur. Dalam dokumen yang bocor tersebut juga terungkap sebuah pasukan khusus Angkatan Darat dan Laut AS terlibat dalam misi untuk menangkap atau membunuh para pimpinan pemberontak.

Parahnya,dokumen-dokumen yang bocor itu mengungkap keprihatinan NATO terhadap Pakistan dan Iran yang dianggap membantu pemberontakan Taliban di Afghanistan. Penasihat Keamanan Nasional Jenderal James Jones mengecam publikasi dokumen-dokumen militer itu.Jones memaparkan,informasi rahasia seperti itu bisa membahayakan tidak hanya untuk nyawa para prajurit Amerika dan sekutunya, tapi juga membayakan keamanan nasional AS. “Dokumen tersebut berasal dari tahun antara 2004-2009, sebelum Presiden Barack Obama menyampaikan strategi baru perang Afghanistan yang diikuti penambahan personel militer di negeri itu,” papar Jones.

Dia menuturkan, kebocoran data itu tidak akan berdampak ada komitmen pemerintahan Presiden Obama untuk meningkatkan kerja sama dengan Afghanistan dan Pakistan. Sementara Duta Besar Pakistan di Washington Hussain Haqqani menegaskan, laporan-laporan dalam dokumen-dokumen itu tidak menunjukkan kenyataan di lapangan. “Amerika Serikat, Afghanistan, dan Pakistan adalah mitra strategis. Kami bekerja sama dalam upaya mengalahkan Al Qaida dan sekutunya,Taliban,baik secara militer maupun politik,” kata Haqqani. Sedangkan Senator AS John Kerry, Ketua Komite Hubungan Luar Negeri Senat, mengatakan, kebocoran itu memicu pertanyaan penting bagaimana kondisi sebenarnya kebijakan Washington terhadap Pakistan dan Afghanistan.

Hingga saat ini 150.000 pasukan AS dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) berada di Afghanistan. Pakistan memperoleh bantuan senilai USD1 miliar setiap tahun dari Washington untuk memerangi gerilyawan di perbatasan. WikiLeaks dikenal sebagai sebuah organisasi yang menentang kebijakan Pemerintah AS di Afghanistan.WikiLeaks memublikasikan serangkaian dokumen dengan judul “Buku Harian Perang Afghanistan”.WikiLeaks menyatakan telah menunda publikasi sekitar 15.000 laporan dari arsip itu sebagai bagian dari proses mengurangi kerusakan yang diminta beberapa “sumber”.

Bocornya data militer itu pertama kali diberitakan oleh harian The Guardian di Inggris, New York Times di AS, dan surat kabar Jerman, Der Spiegel. Harian The Guardian dan New York Times, yang memublikasikan laporan Wiki- Leaks itu, mengatakan tidak pernah berhubungan langsung dengan sumber pembocor dokumen itu.Namun, kedua surat kabar itu menghabiskan waktu beberapa pekan untuk melakukan konfirmasi soal kebenaran informasi itu. Publikasi ribuan dokumen itu muncul ketika NATO tengah melakukan investigasi tewasnya 45 orang warga sipil Afghanistan akibat serangan udara NATO di Provinsi Helmand, Jumat pekan lalu.

Meski dalam investigasi awalnya NATO tidak menemukan bukti ada kesalahan misi. Bagaimana tanggapan pendiri WikiLeaks atas kemarahan berbagai pihak itu? Julian Assange,39, mantan hacker dan programer komputer asal Australia, mengatakan bahwa peranan jurnalis adalah mampu mengungkap pelanggaran kekuasaan.“Jika ada pelanggaran kekuasaan,pasti ada reaksi balik,” katanya kepada The Guardian. “Kita lihat saja kontroversi itu.Dan kita percaya bahwa itu merupakan hal baik untuk memperbaiki diri,” paparnya. Assange juga menyatakan, dokumen militer yang dirilisnya masuk ranah kepentingan publik.

WikiLeaks mendapatkan dokumen itu dari individu-individu yang mungkin saja keselamatannya justru berada di ujung tanduk. “Dokumen itu bukan hanya menampilkan beberapa dokumen, melainkan mengumbar keburukan para jenderal perang, kematian anak-anak, hingga operasi yang menewaskan ratusan anak,” katanya. Dalam wawancara dengan kurator TED – organisasi nonprofit yang mendedikasikan diri pada penyebaran ide berharga dan memfokuskan diri pada tiga subjek diskusi: teknologi, hiburan dan desain – Chris Anderson, sekitar dua pekan lalu, Assange mengungkapkan, situs itu beroperasi di beberapa negara, termasuk Swedia dan Belgia, di mana undang-undang setempat memberikan lebih banyak perlindungan atas kerahasiaan situs itu.

Dia telah membatalkan rencana untuk tampil di tiga acara publik di Amerika Serikat (AS). Alasannya, ada indikasi bahwa pejabat di AS mungkin tidak akan mengikuti “peraturan hukum” saat berhadapan dengannya. Assange juga menyebutkan saran dari jurnalis investigasi Seymour Hersh agar dia berhati-hati. Menurut Assange, situsnya mendapatkan material dari para pembocor (whistle blower) dengan berbagai cara, termasuk surat pos. Dia mengungkapkan,WikiLeaks mencermatinya, merilisnya untuk publik, dan kemudian mempertahankan diri terhadap “serangan politik atau hukum.”Dia mengatakan, organisasinya jarang mengetahui identitas sumber pembocor dokumen rahasia itu.

“Kalau kami mengetahuinya pada beberapa kasus, kami menghancurkan informasi itu sesegera mungkin,” paparnya. Dalam diskusi dengan Anderson, Assange sempat ditanyai mengenai apakah benar dia pernah pindah sekolah sebanyak 37 kali saat masih kecil. Assange membenarkannya dengan penjelasan bahwa itu merupakan konsekuensi pekerjaan orang tuanya di bidang perfilman.Assange mengaku pernah menjadi aktivis jurnalis saat masih remaja dan pernah disidang karenanya. Menurut majalah politik Mother Jones, saat masih remaja Assange adalah adalah anggota kelompok hacker bernama International Subversives di Melbourne, Australia.

Dia pernah mengaku bersalah dalam 24 dakwaan karena menghack situs pemerintah dan perdagangan Australia untuk menguji keamanannya. Dia dibebaskan karena bersikap baik. “Saya seorang pejuang, jadi saya tidak terlalu butuh perhatian, tapi ada cara memperhatikan korban bagi kejahatan polisi. Dan itulah sesuatu yang sudah ada dalam karakter saya selama bertahuntahun,” papar Assange. “Saya adalah orang yang mampu, orang dermawan tidak menciptakan korban,mereka merawat korban.” (AFP/BBC/NYT/ Guardian/CNN/andika hm)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/340377/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Snowden Tuding NSA Retas Internet Hong Kong dan China

Inovasi Belanda Tak Terpisahkan dari Bangsa Indonesia

Teori Pergeseran Penerjemahan Catford