Kyrgyzstan Gelar Referendum
OSH(SI) – Kyrgyzstan kemarin menggelar referendum untuk menentukan konstitusi baru yang bertujuan membentuk demokrasi parlementer.
Referendum digelar usai konflik etnis. Pelaksanaan referendum itu mengabaikan peringatan risiko meningkatnya ketegangan etnis setelah kerusuhan berdarah. Pemerintah sementara Kyrgyzstan tetap memaksakan pelaksanaan referendum di tengah konflik antar etnis minoritas Uzbek dan mayoritas Kyrgyz yang berlangsung pada awal bulan ini. Meski situasi rawan, belum dilaporkan adanya kerusuhan di kota-kota yang dulu dilanda kerusuhan etnik. Situasi dan kondisi masih relatif tenang dan aman saat pemungutan suara dimulai.Sejumlah warga pun tetap datang tempat pemungutan suara referendum. Menurut deputi pemimpin sementara Kyrgyzstan Omurbek Tekebayev, satu jam pertama referendum dilaporkan sebanyak 26,33% warga memberikan hak suaranya.
Dia menuturkan, itu merupakan hal yang tak diduga sebelumnya. “Antusiasme warga Kyrgyzstan menunjukkan bahwa informasi negara kita dalam kondisi kacau balau dan terjadi perang sipil itu tidak benar,”paparnya. Tekebayev menuturkan, permasalahan utama referendum adalah 16% dari jumlah pemilih atau sekitar 200.000 tidak dapat menggunakan hak pilihnya.Dia juga mengecam pernyataan Presiden Rusia Dmitry Medvedev yang mengatakan Kyrgyzstan berisiko menjadi “Afghanistanisasi”.“Mungkin mereka (Rusia) salah menerima informasi, mereka telah terbiasa dengan pemerintahan oligarki,”ujarnya. Referendum tersebut bakal membentuk konstitusi baru yang bakal menggulingkan kekuasaan presiden dan menjadi acuan bagi peta biru pemerintahan sementara Kyrgyzstan.
Pemerintahan sementara Kyrgyzstan berkuasa pada April silam setelah menggulingkan Presiden Kurmanbek Bakiyev melalui aksi demonstrasi berdarah. Konstitusi baru juga akan memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen dan membuka peluang untuk menggelar pemilihan umum bulan September. “Kami akan menunjukkan kepada dunia bahwa Kyrgyzstan bersatu,” ungkap pemimpin sementara Roza Otunbayeva saat memberikan suara di Osha.“Kami ingin menyembuhkan semua rasa sakit akibat berbagai peristiwa tragis,”bebernya. Referendum itu dilakukan di tengah penjagaan keamanan yang ketat.Pemerintah sementara tidak ingin konflik antar etnis kembali terulang karena referendum itu. Para pejabat kesehatan mengatakan, 275 orang tewas dalam konflik etnis silam, namun para pejabat lain mengatakan jumlah orang tewas mencapai 2.000 orang.
Tempat pemungutan suara dibuka pukul 08.00 pagi waktu setempat dan akan ditutup pukul 08.00 malam.Hasilnya diharapkan akan bisa diketahui hari ini. Larangan keluar rumah di kotakota yang dilanda kerusuhan dicabut untuk memberikan kesempatan mengikuti referendum. Referendum itu didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Amerika Serikat (AS) dan Rusia sebagai langkah maju guna memulihkan demokrasi.Namun,partai-partai oposisi serta beberapa kelompok hak asasi manusia (HAM) mengecamnya. Menurut oposisi, referendum itu digelar terlalu cepat setelah konflik etnik di Osh dan Jalalabad.
Pemantau Hak Asasi Manusia (HRW) mengungkapkan, referendum mengancam dan membuat situasi semakin berbahaya. Sedangkan Kelompok Krisis Internasional (ICG) menyarankan pemerintah sementara, mempertimbangkan kembali pelaksanaan pemilu. Kerusuhan itu sudah mereda namun etnis Uzbekistan dan Kyrgyzstan tetap terpecah belah usai konflik berdarah. Masing-masing pihak menyalahkan pihak lain sebagai penyebab kerusuhan tersebut. Pemerintahan sementara mengatakan, kerusuhan itu dimulai secara sengaja oleh para pendukung presiden terguling, untuk menghambat pelaksanaan referendum. Etnis Uzbekistan menuduh tentara dan polisi Kyrgyzstan terlibat dalam serangan-serangan yang dilancarkan di Osh. Warga Kyrgyzstan tampak antusias mengikuti referendum.
”Saya memilih ‘ya’ agar situasi tambah lebih baik. Banyak warga Uzbek yang menderita dan anggota keluarganya tewas.Saya takut,tetapi saya harus datang ke tempat pemungutan suara,”ujar Dlora Kazakbayeva, perempuan etnis Uzbek di Osh. (AFP/Rtr/BBC/andika hm)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/334075/
Referendum digelar usai konflik etnis. Pelaksanaan referendum itu mengabaikan peringatan risiko meningkatnya ketegangan etnis setelah kerusuhan berdarah. Pemerintah sementara Kyrgyzstan tetap memaksakan pelaksanaan referendum di tengah konflik antar etnis minoritas Uzbek dan mayoritas Kyrgyz yang berlangsung pada awal bulan ini. Meski situasi rawan, belum dilaporkan adanya kerusuhan di kota-kota yang dulu dilanda kerusuhan etnik. Situasi dan kondisi masih relatif tenang dan aman saat pemungutan suara dimulai.Sejumlah warga pun tetap datang tempat pemungutan suara referendum. Menurut deputi pemimpin sementara Kyrgyzstan Omurbek Tekebayev, satu jam pertama referendum dilaporkan sebanyak 26,33% warga memberikan hak suaranya.
Dia menuturkan, itu merupakan hal yang tak diduga sebelumnya. “Antusiasme warga Kyrgyzstan menunjukkan bahwa informasi negara kita dalam kondisi kacau balau dan terjadi perang sipil itu tidak benar,”paparnya. Tekebayev menuturkan, permasalahan utama referendum adalah 16% dari jumlah pemilih atau sekitar 200.000 tidak dapat menggunakan hak pilihnya.Dia juga mengecam pernyataan Presiden Rusia Dmitry Medvedev yang mengatakan Kyrgyzstan berisiko menjadi “Afghanistanisasi”.“Mungkin mereka (Rusia) salah menerima informasi, mereka telah terbiasa dengan pemerintahan oligarki,”ujarnya. Referendum tersebut bakal membentuk konstitusi baru yang bakal menggulingkan kekuasaan presiden dan menjadi acuan bagi peta biru pemerintahan sementara Kyrgyzstan.
Pemerintahan sementara Kyrgyzstan berkuasa pada April silam setelah menggulingkan Presiden Kurmanbek Bakiyev melalui aksi demonstrasi berdarah. Konstitusi baru juga akan memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen dan membuka peluang untuk menggelar pemilihan umum bulan September. “Kami akan menunjukkan kepada dunia bahwa Kyrgyzstan bersatu,” ungkap pemimpin sementara Roza Otunbayeva saat memberikan suara di Osha.“Kami ingin menyembuhkan semua rasa sakit akibat berbagai peristiwa tragis,”bebernya. Referendum itu dilakukan di tengah penjagaan keamanan yang ketat.Pemerintah sementara tidak ingin konflik antar etnis kembali terulang karena referendum itu. Para pejabat kesehatan mengatakan, 275 orang tewas dalam konflik etnis silam, namun para pejabat lain mengatakan jumlah orang tewas mencapai 2.000 orang.
Tempat pemungutan suara dibuka pukul 08.00 pagi waktu setempat dan akan ditutup pukul 08.00 malam.Hasilnya diharapkan akan bisa diketahui hari ini. Larangan keluar rumah di kotakota yang dilanda kerusuhan dicabut untuk memberikan kesempatan mengikuti referendum. Referendum itu didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Amerika Serikat (AS) dan Rusia sebagai langkah maju guna memulihkan demokrasi.Namun,partai-partai oposisi serta beberapa kelompok hak asasi manusia (HAM) mengecamnya. Menurut oposisi, referendum itu digelar terlalu cepat setelah konflik etnik di Osh dan Jalalabad.
Pemantau Hak Asasi Manusia (HRW) mengungkapkan, referendum mengancam dan membuat situasi semakin berbahaya. Sedangkan Kelompok Krisis Internasional (ICG) menyarankan pemerintah sementara, mempertimbangkan kembali pelaksanaan pemilu. Kerusuhan itu sudah mereda namun etnis Uzbekistan dan Kyrgyzstan tetap terpecah belah usai konflik berdarah. Masing-masing pihak menyalahkan pihak lain sebagai penyebab kerusuhan tersebut. Pemerintahan sementara mengatakan, kerusuhan itu dimulai secara sengaja oleh para pendukung presiden terguling, untuk menghambat pelaksanaan referendum. Etnis Uzbekistan menuduh tentara dan polisi Kyrgyzstan terlibat dalam serangan-serangan yang dilancarkan di Osh. Warga Kyrgyzstan tampak antusias mengikuti referendum.
”Saya memilih ‘ya’ agar situasi tambah lebih baik. Banyak warga Uzbek yang menderita dan anggota keluarganya tewas.Saya takut,tetapi saya harus datang ke tempat pemungutan suara,”ujar Dlora Kazakbayeva, perempuan etnis Uzbek di Osh. (AFP/Rtr/BBC/andika hm)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/334075/
Komentar