17 Tahun Abdikan Diri Ikuti Perubahan Situasi
RICHARD Parry dari Frontline Newsmampu menggambarkan perubahan perang dalam kurun waktu 17 tahun. Dia mampu menceritakan perang-perang di dunia dalam laporan beritanya karena dia berada langsung di lokasi peperangan bersama sang fotografer, Roberth King.
Kali pertama Parry “diterjunkan” ke lokasi perang yang cukup banyak memakan korban jiwa, yaitu perang Serbia-Bosnia pada 1993. “Saya tinggal di Brooklyn, Amerika Serikat, selama enam tahun. Saya telah menduga bahwa seperti apa itu perang.Tetapi tempat itu,Sarajevo,benar-benar tempat yang gila,”kenangnya. “Saat usia masih 20 tahunan, ambisi dan harapan ingin mencari pengalaman baru di dunia nyata benar-benar menggebu-gebu,” tutur Parry.
Hidup bersama tentara, jenazah yang dengan mudah ditemukan, dan deru tembakan senjata merupakan waktu yang benar-benar hebat. Itulah kali pertama Parry merasakan betapa kejamnya perang. Namun, sebagai jurnalis lepas TV dengan keahlian di medan tempur,Parry tetap berniat meneruskan pekerjaannya.
Tidak ada keinginannya untuk mundur. Impian Parry adalah suatu hari nanti dapat meraih Pulitzer, penghargaan bergengsi bagi jurnalis,. Tak semua jurnalis perang memiliki nama besar. Parry menceritakan, ketika perang Yugoslavia, banyak reporter yang mempertaruh kan nyawa demi informasi. Namun, informasi yang mereka dapatkan dijual ke jaringan media besar.
Nama mereka pun diabaikan dalam sejarah. Dibandingkan para jurnalis lokal,Parry mengaku, dirinya masih beruntung. Dia mampu mendapatkan kebebasan dalam menulis cerita dan berita.Tidak akan kekangan dan larangan mengenai apa saja yang dia tulis. Di medan perang, menurut dia, harus berpikir cerdas dan tidak boleh lengah. Ketika perang Bosnia berlangsung, Parry gagal pergi ke Mostar, sebuah kota di Bosnia Herzegovina. Para gerilyawan mengatakan, media tempatnya bekerja tidak berpihak kepada mereka.
Parry diperintahkan balik kanan. Dan, saat itulah dia menemui banyak kejadian miris. Salah satu hal yang paling tak bisa dilupakan adalah ketika Parry bertemu seorang anak berusia 12 tahun memanggul sebuah senjata. Satu hal yang paling menakutkan menjadi jurnalis perang adalah penculikan.Ketika perang di Yugoslavia, jurnalis jarang menjadi target. Tetapi ketika di bertugas di Chechnya,dia dan pekerja kemanusiaan lainnya justru kerap menjadi target penculikan.
Pada 2007 Parry bersama dengan King kembali bertugas di Baghdad, Irak. Jurnalis perang relatif aman karena lebih banyak ikut dalam patroli bersama dengan pasukan Amerika Serikat (AS). Tapi, para tentara itu juga mengontrol apa yang direkam oleh sang jurnalis.Namun,ketika Parry ingin bergabung dengan konvoi pasukan yang terluka, mereka selalu berkata, “Tak ada tempat.”
“Saat mengenang masa itu, saya sekarang sadar bahwa kami punya kebebasan besar untuk meliput. Apalagi kami hanya sedikit mendapatkan larangan,”paparnya. Selain Parry, ada jurnalis perang yang telah memiliki nama besar, dia adalah Kevin Sites.Dia merupakan kontributor ABC, NBC, CNN, dan Yahoo!News.
Sites kerap dijuluki jurnalis backpacker karena sering bekerja sendirian dengan membawa perlengkapan digital dan langsung dikirimkan dari tempat paling berbahaya di dunia, mulai dari Timur Tengah hingga Eropa Timur. Cerita tragedi perang yang dialami Sites dituangkan dalam buku berjudul,In The Hot Zone; One Man, One Year,Twenty Years. Buku itu mengungkap tentang siapa yang bertempur,korban,penyebab perang, biaya peperangan, dan dampak global. (BBC/Rtr/andika hm)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/326465/
Komentar