Jurang Kemiskinan di Afrika Selatan Melebar
CAPETOWN(SI) – Afrika Selatan (Afsel) masih menjadi negara yang kontras, bukan hanya dari segi etnis, tetapi ekonomi. Mantan Presiden Afsel Thabo Mbeki menyebut Afrika Selatan memiliki dua wajah ekonomi yang berbeda.
“Satunya putih dan lainnya hitam,”ujarnya. Dalam negosiasi politik yang menghasilkan pemilu demokratis pertama pada 1994, Kongres Nasional Afrika (ANC) sepakat dengan partai minoritas kulit putih berkuasa, Partai Nasional, untuk memasukkan “Sunset Clause” dalam konstitusi baru. Sunset Clause menyatakan,minoritas kulit putih mendapat jaminan saat negara itu berpindah dari pemerintahan Apartheid ke demokrasi.
Konsekuensinya, potensi kekerasan di masa depan oleh mayoritas kulit hitam terhadap minoritas kulit putih dapat dihindari. Tapi dalam praktiknya, kulit putih di negara itu merupakan kelompok kaya dan berpendidikan tinggi, sedangkan mayoritas kulit hitam tetap miskin dan buta huruf. Kini sebagian besar rakyat Afsel merasakan,berakhirnya politik apartheid tak memberikan pengaruh terhadap kesejahteraan mayoritas kulit hitam.
Bahkan, kemenangan Nelson Mandela dalam Pemilu 1994 tidak banyak memperbaiki nasib warga kulit hitam. Saat itu Mandela membentuk Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran (TRC) yang menggaungkan rekonsiliasi. Tapi, tetap saja rekonsiliasi tidak memiliki pengaruh besar untuk mengubah kehidupan terpuruk warga kulit hitam di Afrika Selatan. Politik memaafkan pun dikumandangkan Mandela.
Dia sering mengunjungi mantan musuh-musuhnya di rumah mereka. Tanpa malu Mandela makan malam bersama orang-orang kulit putih yang pernah memenjarakannya.Tak segan, dia pun mengunjungi janda Hendrik Verwoerd, yang disebut “Bapak Apartheid”.
Atas keberhasilan rekonsiliasi tersebut, Afsel membuktikan kepada dunia bahwa negara ini mampu menyelenggarakan acara berskala internasional mulai dari konferensi hingga olahraga.Pada 1995 Afsel menyelenggarakan Piala Dunia International Rugby Board (IRB). Kemudian diikuti dengan Piala Dunia The International Cricket Council (ICC) pada 2003. Afsel juga menyelenggarakan konferensi tingkat dunia mengenai rasisme pada 2001.
Satu tahun kemudian aktivis dan politisi lingkungan bertemu dalam KTT Pembangunan yang Berkelanjutan. Sedangkan pada Juni tahun ini Afsel bakal menggelar Piala Dunia FIFA. Pesta dan konferensi berskala internasional yang sering digelar di Afsel justru menjadi sebuah ironi.
Penyebabnya jelas,Pemerintah Afsel gagal dalam melayani rakyatnya sendiri. Mereka gagal membangun perumahan yang layak, air yang memadai, serta sanitasi bagi mayoritas warga kulit hitam.Kegagalan tersebut pun memuncak dalam bentuk gerakan sosial yang marak di seluruh penjuru Afsel. Sebagian besar gerakan tersebut menyalahkan pemerintah karena membiarkan ekonomi neo-liberal merasuki Afsel.
Akibatnya, jurang kemiskinan semakin melebar. Gerakan sosial itu juga menuding pemerintah lambat dalam pemberian obat antiretroviral (ARV) bagi penderita HIV/AIDS. Berdasarkan catatan lembaga nirlaba yang fokus terhadap HIV/AIDS, sekitar 33% perempuan Afsel mengidap HIV. Mereka menuding pemerintah gagal membendung penyebaran HIV/AIDS.
Hal itu diperparah lagi dengan kasus yang dilakukan Jacob Zuma, yang kemudian menjabat deputi presiden ANC.Dia didakwa memerkosa aktivis pengidap HIV positif.Tapi,Zuma dibebaskan dari dakwaan meski mengakui berhubungan seks tanpa kondom. Satu hal yang dianggap sebagai sisi positif bagi rakyat Afsel yaitu stabilitas politik meski pemerintah dianggap gagal memberikan pelayanan kepada rakyat.
Bahkan setelah hampir 20 tahun Mandela dibebaskan dari penjara, banyak rakyat Afsel yang masih harus bergelut dengan berbagai penyakit mematikan. Janji menjadikan Afsel sebagai negara yang sejahtera seperti dikemukakan Mandela beberapa saat setelah bebas dari penjara pada 1990, masih menjadi mimpi bagi sebagian besar rakyatnya.Hal tersebut dapat dilihat dari tingkat pengangguran yang masih tinggi dan kejahatan yang meningkat. (Aljazeera/andika hm)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/304668/
“Satunya putih dan lainnya hitam,”ujarnya. Dalam negosiasi politik yang menghasilkan pemilu demokratis pertama pada 1994, Kongres Nasional Afrika (ANC) sepakat dengan partai minoritas kulit putih berkuasa, Partai Nasional, untuk memasukkan “Sunset Clause” dalam konstitusi baru. Sunset Clause menyatakan,minoritas kulit putih mendapat jaminan saat negara itu berpindah dari pemerintahan Apartheid ke demokrasi.
Konsekuensinya, potensi kekerasan di masa depan oleh mayoritas kulit hitam terhadap minoritas kulit putih dapat dihindari. Tapi dalam praktiknya, kulit putih di negara itu merupakan kelompok kaya dan berpendidikan tinggi, sedangkan mayoritas kulit hitam tetap miskin dan buta huruf. Kini sebagian besar rakyat Afsel merasakan,berakhirnya politik apartheid tak memberikan pengaruh terhadap kesejahteraan mayoritas kulit hitam.
Bahkan, kemenangan Nelson Mandela dalam Pemilu 1994 tidak banyak memperbaiki nasib warga kulit hitam. Saat itu Mandela membentuk Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran (TRC) yang menggaungkan rekonsiliasi. Tapi, tetap saja rekonsiliasi tidak memiliki pengaruh besar untuk mengubah kehidupan terpuruk warga kulit hitam di Afrika Selatan. Politik memaafkan pun dikumandangkan Mandela.
Dia sering mengunjungi mantan musuh-musuhnya di rumah mereka. Tanpa malu Mandela makan malam bersama orang-orang kulit putih yang pernah memenjarakannya.Tak segan, dia pun mengunjungi janda Hendrik Verwoerd, yang disebut “Bapak Apartheid”.
Atas keberhasilan rekonsiliasi tersebut, Afsel membuktikan kepada dunia bahwa negara ini mampu menyelenggarakan acara berskala internasional mulai dari konferensi hingga olahraga.Pada 1995 Afsel menyelenggarakan Piala Dunia International Rugby Board (IRB). Kemudian diikuti dengan Piala Dunia The International Cricket Council (ICC) pada 2003. Afsel juga menyelenggarakan konferensi tingkat dunia mengenai rasisme pada 2001.
Satu tahun kemudian aktivis dan politisi lingkungan bertemu dalam KTT Pembangunan yang Berkelanjutan. Sedangkan pada Juni tahun ini Afsel bakal menggelar Piala Dunia FIFA. Pesta dan konferensi berskala internasional yang sering digelar di Afsel justru menjadi sebuah ironi.
Penyebabnya jelas,Pemerintah Afsel gagal dalam melayani rakyatnya sendiri. Mereka gagal membangun perumahan yang layak, air yang memadai, serta sanitasi bagi mayoritas warga kulit hitam.Kegagalan tersebut pun memuncak dalam bentuk gerakan sosial yang marak di seluruh penjuru Afsel. Sebagian besar gerakan tersebut menyalahkan pemerintah karena membiarkan ekonomi neo-liberal merasuki Afsel.
Akibatnya, jurang kemiskinan semakin melebar. Gerakan sosial itu juga menuding pemerintah lambat dalam pemberian obat antiretroviral (ARV) bagi penderita HIV/AIDS. Berdasarkan catatan lembaga nirlaba yang fokus terhadap HIV/AIDS, sekitar 33% perempuan Afsel mengidap HIV. Mereka menuding pemerintah gagal membendung penyebaran HIV/AIDS.
Hal itu diperparah lagi dengan kasus yang dilakukan Jacob Zuma, yang kemudian menjabat deputi presiden ANC.Dia didakwa memerkosa aktivis pengidap HIV positif.Tapi,Zuma dibebaskan dari dakwaan meski mengakui berhubungan seks tanpa kondom. Satu hal yang dianggap sebagai sisi positif bagi rakyat Afsel yaitu stabilitas politik meski pemerintah dianggap gagal memberikan pelayanan kepada rakyat.
Bahkan setelah hampir 20 tahun Mandela dibebaskan dari penjara, banyak rakyat Afsel yang masih harus bergelut dengan berbagai penyakit mematikan. Janji menjadikan Afsel sebagai negara yang sejahtera seperti dikemukakan Mandela beberapa saat setelah bebas dari penjara pada 1990, masih menjadi mimpi bagi sebagian besar rakyatnya.Hal tersebut dapat dilihat dari tingkat pengangguran yang masih tinggi dan kejahatan yang meningkat. (Aljazeera/andika hm)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/304668/
Komentar