Diplomasi Ala Gus Dur: Nyentrik,Ingin Persatukan Poros di Dunia


Politik atau kebijakan luar negeri pada hakikatnya kepanjangan tangan dari politik dalam negeri sebuah negara.Nah,mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid punya gaya sendiri.

Gaya diplomasi luar negeri pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid yang paling eksentrik dibandingkan pemerintahan sebelumnya adalah fokusnya pada hubungan bilateral. Seringnya lawatan Gus Dur–– panggilan akrab Abdurrahman Wahid––paling tidak menjadikan identitas penting kebijakan luar negeri pemerintahannya. Kebijakan luar negeri dengan fokus bilateral yang diterapkan Gus Dur adalah tur atau berkunjung ke berbagai negara.

Itu memberikan arahan penting agar jalur diplomasi Indonesia tidak melenceng. Pematangan hubungan bilateral agar Indonesia tidak memiliki “musuh” luar negeri. Diplomasi bilateral juga mendekatkan perspektif bahwa Indonesia memiliki banyak “kawan” di dunia internasional. Kebijakan seperti itu terbilang sangat efektif ketika itu. Sebagaimana diungkapkan Juru Bicara Departemen Luar Negeri Indonesia Teuku Faizasyah.

Dia mengungkapkan, Gus Dur memang kerap melakukan lawatan ke luar negeri.“Hal itu dalam rangka peningkatan hubungan bilateral dengan negara yang dikunjunginya,” ujarnya kepada Seputar Indonesia saat dihubungi tadi malam. Jika saat itu memilih diplomasi multilateral, Indonesia akan terbentur banyak hal.Diplomasi multilateral kadang identik dengan substansi topik perundingan yang biasa.

Teknik multilateral, baik global atau regional, juga banyak menyudutkan posisi tawar-menawar RI di luar negeri. Pada pemerintahan Gus Dur bahkan ada wacana mengenai upaya pembentukan aliansi baru Indonesia-Republik Rakyat China (RRC)-India. Aliansi itu sebenarnya merupakan antitesis dari kekecewaan terhadap sikap “poros Barat” yang kurang mendukung pengentasan krisis nasional.

Ketika itu Indonesia dengan tegas berani memberikan wacana baru. Lebih dari itu, Gus Dur juga ingin menyatukan poros-poros dunia,Timur dan Barat, dalam kekuatan yang menyatu dan sinergi. Artinya untuk mengembangkan kehidupan politik ke depan, Indonesia tidak bisa meninggalkan kawasan Asia Pasifik. Sementara ini Pasifik memang dihegemoni oleh Asia Timur (China dan Jepang) dan menjadi kawasan perebutan Amerika dan Australia. Gus Dur ingin Indonesia bermain di wilayah itu.

“Pada waktu zaman Presiden Abdurrahman Wahid,diplomasi Indonesia memang mendekati negara-negara Pasifik,” papar Faizasyah. Adanya perubahan orientasi politik luar negeri ke negaranegara berkembang bisa jadi dilatarbelakangi oleh kekecewaan Gus Dur terhadap sikap arogan negaranegara Barat (khususnya Australia) dalam masalah Timor Leste.

Pada pemerintahan sebelumnya, kedekatan RI dengan Barat menghasilkan kemajuan ekonomi dan teknologi, tapi dari aspek politik justru membuat RI seringkali menjadi korban arogansi Barat. Karena itu,reorientasi kebijakan luar negeri di bawah Gus Dur diharapkan berdampak positif. Jakarta dapat lebih leluasa menjalankan politik luar negerinya yang bebas dan aktif.

Apa yang dilakukan Gus Dur itu hampir sama dengan apa yang dilakukan pemerintahan Syiah atau Para Mullah di Iran pascarevolusi 1979,yang lebih menekankan pada kerja sama dengan sesama negara berkembang. Niat baik diplomasi Gus Dur untuk rencana membuka diplomasi dengan Israel mendapatkan ganjalan dari dalam negeri.

Namun, setelah muncul reaksi masyarakat muslim, mereka menyatakan rencana peresmian hubungan dengan negara zionis itu sebatas pada sektor perdagangan dan ekonomi, bukan diplomatik. Meski demikian, rencana pembukaan hubungan dagang RI-Israel pun ternyata mendapat serangan bertubi-tubi.

Akhirnya, itu hanya menjadi wacana semata. Sementara itu, prestasi diplomasi lain pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid adalah penyelesaian masalah residu pemisahan Timor Timur. Berkaitan dengan pelanggaran HAM di Timor Leste, Pemerintah RI pada Sidang Komisi HAM (KHAM) Tahun 2000 menegaskan kembali sikap yang menolak pembentukan International Tribunal untuk mengadili para pelanggar HAM di Timor Timur sejak diumumkannya opsi kedua.

Pemerintah berketetapan untuk memproses dan mengadili mereka yang bersalah melalui mekanisme hukum nasional. Pada pembahasan di Sidang KHAM ke-56 telah dikeluarkan sebuah Chairman Statement yang menggarisbawahi kesungguhan Pemerintah RI dalam melaksanakan peradilan HAM terhadap para pelanggar HAM di Timor Leste.

Masih mengenai Timor Leste, Indonesia telah berketetapan untuk membuka lembaran baru dalam membina hubungan dan kerja sama dengan Timor Leste berdasarkan prinsip-prinsip saling menghormati, hubungan bertetangga yang baik dan saling menguntungkan, baik selama masa transisi di bawah otoritas sementara UNTAET maupun dalam jangka panjang.

Sikap tersebut telah direfleksikan antara lain dengan kunjungan Presiden RI ke Timor Timur pada 29 Februari 2000, sambutan atas serangkaian kunjungan pimpinan UNTAET maupun masyarakat Timtim ke Indonesia dan pembukaan Kantor Urusan Kepentingan RI (KUKRI) di Dili.

Indonesia dan UNTAET telah melakukan serangkaian perundingan membahas berbagai masalah yang timbul sebagai akibat dari pengalihan kekuasaan antara lain masalah perbatasan, pembayaran pensiun PNS asal Timor Timur, kelanjutan studi dan beasiswa mahasiswa asal Timor Timur, masalah aset dan arsip mengenai Timor Timur, peninggalan warisan kebudayaan dan penyelesaian masalah pengungsi Timor Timur di NTT.

Selama masa pemerintahan Gus Dur, Indonesia telah turut melakukan berbagai upaya dalam pemajuan dan perlindungan HAM secara internasional antara lain pada Februari 2000 Indonesia telah menandatangani Optional Protocol dari Conventions on the Elimination of Discrimination Against Women. Selain itu, Gus Dur juga merupakan presiden yang mengutamakan diplomasi untuk tujuan ekonomi atau yang dikenal dengan “diplomasi ekonomi”.

Diplomasi ekonomi juga menjadi aspek penting yang menjadi fokus dalam pemerintahan Gus Dur.Tujuannya adalah mendapatkan kepercayaan dari luar negeri dengan maksud menarik investor asing ke Indonesia. Pada waktu Gus Dur, pelaksanaan diplomasi ekonomi dikonsentrasikan pada pemulihan perekonomian nasional melalui upaya mencari dan menembus pasar-pasar baru serta meningkatkan hubungan perdagangan yang sudah ada dengan negara-negara yang dinilai potensial bagi peningkatan ekspor nonmigas. (andika hendra m)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/294072/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Snowden Tuding NSA Retas Internet Hong Kong dan China

Inovasi Belanda Tak Terpisahkan dari Bangsa Indonesia

Teori Pergeseran Penerjemahan Catford