Umi Saodah: Hidup di Ujung Peluru dan Dibawah Bom

Perjalanan seorang tenaga kerja wanita (TKW) Umi Saodah sungguh berliku. Niat mencari penghidupan lebih baik justru berujung pada penderitaan yang memilukan. Perempuan berusia 33 tahun itu terjebak di Jalur Gaza yang dikenal mother of conflicts-nya dunia internasional.
“Saya hidup di ujung peluru dan di bawah bom. Suasana di Palestina mencekam dan jalan-jalan hancur,” ungkapnya dalam konfrensi pers di Departemen Luar Negeri (Deplu) Jakarta, kemarin. “Hidupnya saya tidak tenang sama sekali di Palestina,” imbuhnya.
Umi tampak bahagia karena bisa kembali ke tengah-tengah keluarga yang cukup lama ditinggalkan. Umi mengaku lega bisa pulang. “Saya tidak pernah menyangka bisa kembali ke tanag air dan berkumpul bersama keluarga kembali,” paparnya. Umi menambahkan selama di Palestina tidak pernah bertemu dengan orang Indonesia.
Sebelum berangkat, perempuan asal Semarang itu tidak pernah menyangka akan bekerja di daerah konflik itu. “Saya nggak tahu mau diberangkatkan ke mana. Tahu mau ditempatin di Palestina setelah berangkat,” kata Umi. Saat itu, Umi mengaku tidak peduli di mana dia akan ditempatkan. Umi mengaku hanya ingin bekerja dan menghasilkan uang.
“Dulu mikirnya hanya bagaimana bisa berangkat, yang penting bisa bekerja,” ujar perempuan asal Dusun Tlawongan Rt 06/05, Desa Karang Tengah, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah itu.
Sang majikan baik suami dan istri berkerja sebagai dosen sering kali menyiksa Umi. Sang majikan pun selalu marah-marah dan menyiksa ketika Umi menanyakan gaji dan hak-haknya setelah bekerja selama delapan tahun. Setiap kali, Umi menyinggung keinginannya untuk keluar dari Jalur Gaza, dia selalu disiksa.
Sebelum konflik Palestina-Israel pecah, perempuan kelahiran 14 Juni 1975 itu menghabiskan hari-harinya di penjara. Umi ditahan karena dituduh mencuri perhiasan majikannya. Awalnya dia tidak mau mengaku sebagai pencuri, hingga akhirnya Umi pun mengakuinya walaupun sebenarnya tidak mencuri sama sekali. Dia sendiri yang memerintahkan majikannya untuk melaporkannya ke kantor polisi.
“Saya diserahkan ke polisi karena dituduh mencuri,” cerita perempuan asal Semarang, Jawa Tengah. Namun Umi mengaku bersyukur karena selama di penjara, dia mendapatkan perlakuan yang cukup baik. “Walaupun di penjara, tapi perlakuannya baik di bandingkan di rumah majikan,” ujar Umi.
Ketika di penjara, ada salah satu polisi yang tidak percaya bahwa Umi merupakan seorang pencuri. Bahkan, hakim pengadilan di Jalur Gaza pun tidak mempercayai kalau Umi merupakan orang jahat. “Kamu merupakan orang baik, saya tidak percaya bahwa kamu itu seorang pencuri,” tutur Umi menirukan pernyataan hakim
Keberuntungan masih berpihak pada Umi Saodah. Salah satu polisi Gaza menginformasi pada Palang Merah Internasional mengenai keberadaan seorang warga negara Indonesia di Penjara Saraya . Kemudian, Palang Merah Internasional menginformasikan pada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kairo, Mesir.
Ketika serangan Israel ke Jalur Gaza, penjara Umi pun ikut menjadi korban. Penjara Sahara pun porak poranda hingga akhirnya dia berhasil melarikan diri dan diselematkan oleh salah seorang temannya di Palestina. “Penjara tempat saya ditahan dibom. Alhamdulillah saya selamat dan saya pun lari,” cerita Umi.
Setelah konflik agak mereda, barulah Umi bisa keluar dari tempat persembunyian. Dia dihubungi petugas dari KBRI Mesir. Namun, awalnya Umi tidak mau keluar dari Jalur Gaza. “Saya tidak mau pulang kalau tidak dapat apa-apa,” paparnya. Hingga akhirnya, majikannya memberikan dia uang senilai USD2.000, padahal Umi menuntut gaji selama 8 tahun sebesar USD15.000.
Lalu apakah setelah terjebak di Jalur Gaza, Umi ingin menjadi TKI lagi? “Saya belum tahu,” ujarnya lugu. Sebelum dipulangkan ke Indonesia, Umi Saodah telah bekerja di Palestina selama lebih dari 8 tahun.
Sementara itu, menurut Direktur Perlindungan WNI dan Bantuan Hukum Indonesia Departeman Luar Negeri Teguh Wardoyo, Umi Saodah telah bekerja di Palestina selama lebih dari 8 tahun diduga menggunakan jalur ilegal. “Tampaknya ilegal karena tujuan akhirnya itu ke Palestina. Yang jelas, dalam UU Tenaga Kerja, negara konflik itu bukanlah penempatan TKI,” kata Wardoyo.
Jika memang benar demikian, Deplu akan meminta Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk mengecek kebenaran status Umi Saodah. “Ini bukan wewenang Deplu, yang mengecek itu Depnakertrans dan polisi. Kita akan telusuri tentang keberangkatan Umi,” papar Teguh.
Wardoyo juga meminta meminta PT Amira Prima, PJTKI yang memberangkatkan Umi bertanggung jawab. “PJTKI harus tanggung jawab secara finansial dan hukum. Kita akan koordinasi dengan Depnaker,” kata Wardoyo. Teguh mengatakan, sebenarnya Deplu tidak memiliki wewenang untuk mengurus kasus Umi Saodah karena kewenangannya terdapat pada Depnakertrans.“Kita akan minta blacklist PJTKI yang memberangkatkan Umi. Tapi itu semua terserah Depnakertrans,” ujar Teguh.
Umi mendarat di Bandara Soekarno-Hatta Selasa (27/1/2009) pukul 13.30 WIB. Teguh mengatakan, secara resmi, Umi Saodah telah diserahkan kepada keluarganya. (andika hendra m)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Snowden Tuding NSA Retas Internet Hong Kong dan China

Inovasi Belanda Tak Terpisahkan dari Bangsa Indonesia

Teori Pergeseran Penerjemahan Catford