Anna Politkovskaya, Jurnalis Sejati yang Berjuang Demi Kata-Kata
"Kata-kata mampu menyelamatkan kehidupan." Kalimat itu biasa diucapkan Anna Politkovskaya. Dengan kalimat itu, Anna bermaksud menumbuhkan keberanian.
Ironisnya, Anna dibunuh oleh kalimat yang dilontarkan sendiri. Pada 7 Oktober 2006, jurnalis perempuan dari Rusia itu ditembak saat pulang ke rumahnya di Jalan Lesnaya, Moskwa. Sepucuk pistol Makarov dan empat selongsong peluru ditemukan di samping tubuhnya. Salah satu peluru menembus kepalanya.
Tragis, Anna adalah satu-satunya jurnalis yang mendapat penghargaan secara anumerta dalam sepuluh tahun terakhir. Kematian Anna membuktikan, jurnalis perempuan tidak bisa diremehkan. Selama ini jurnalisme diidentikkan sebagai profesi yang menonjolkan watak maskulinitas dan hanya bisa dilakukan kaum laki-laki. Anna merontokkan mitos ini.
Dedikasi dan keberanian Anna memburu kebenaran menjadi standar yang harus dirujuk dalam kinerja jurnalisme, tidak hanya di Rusia, tetapi di seluruh dunia. Krisis ekonomi dan politik menjadikan kalangan jurnalis terjungkal dalam ancaman membahayakan. Banyak jurnalis mengalami intimidasi, pemenjaraan, dan penyensoran di Afrika. Tuntutan demokratisasi, yang bermakna pelibatan rakyat dalam mengambil keputusan politik, malah mendorong rezim yang berkuasa bertindak represif.
Namun, dari situlah optimisme mencuat. Pers diyakini dapat mendorong dan mendukung demokratisasi. Ada keyakinan yang kukuh, jalinan antara pers yang sepenuhnya merdeka dan demokratisasi partisipatoris mampu melahirkan media yang independen dan pluralistik.
Makna independen dalam persoalan ini adalah media terbebas dari berbagai intervensi penguasa politik. Arti pluralistik pada media adalah tidak terjadinya monopolisasi kepemilikan modal media ke dalam tangan-tangan segelintir orang.
Ancaman pihak lain
Media mudah mengalami ancaman dari penguasa politik melalui penerapan sejumlah mekanisme hukum. Dalih yang dikemukakan penguasa adalah menciptakan stabilitas politik dan ketertiban masyarakat.
Dalam rezim politik yang otoriter, peristiwa pemenjaraan jurnalis dan pembredelan media menjadi rutin. Fenomena yang berlaku setelah proses demokratisasi adalah surutnya intimidasi yang dijalankan aparat negara. Pihak yang melakukan campur tangan berlebihan adalah pemilik modal media. Dengan bertopeng meraih keuntungan finansial atau memberi dukungan politis bagi figur-figur yang menduduki jabatan prestisius dalam lembaga negara, jurnalis mendapat pengekangan internal-organisatoris.
Sebenarnya, tidak hanya pemain pasar dan penguasa negara yang menebarkan ancaman bagi kebebasan media. Perilaku premanisme yang dilakukan sejumlah gerombolan dari pihak masyarakat pun mengakibatkan independensi jurnalis dikebiri. Tragisnya, aparat keamanan negara cenderung mempraktikkan pembiaran atas aksi-aksi itu.
Perasaan aman dan jaminan hukum bagi jurnalis hanya menjadi cita-cita. Kejadian semacam itulah yang mengakhiri hidup Anna Politkovskaya. Konsistensi Anna mengungkap praktik penyiksaan otoritas Chechen mengakhiri kehidupannya.
Sebenarnya, Anna tidak perlu menemui kematian. Cristina L’Homme, penulis dari Perancis, mengutip pernyataan ketua persatuan jurnalis Rusia, "Jika semua jurnalis seberani Anna Politkovskaya, dia tidak akan dibunuh karena pembunuhnya akan berpikir, pasti ada jurnalis lain yang menggantikan tempatnya. Dia meninggal karena dia sendirian." Anna melawan intimidasi dan serangan mematikan dalam kesendirian.
Namun, ketakutan menjadikan orang-orang yang membenci kebebasan pers kian leluasa bergentayangan. Mereka menebarkan teror dan meletupkan ancaman kematian. Anna menjadi korban dari tekadnya untuk menegakkan kebebasan pers. Di situlah Anna menjadi sosok jurnalis perempuan yang keberaniannya layak dikenang.
Siapa sebenarnya Anna Politkovskaya? Anna Politkovskaya. Ibu dua anak ini menghabiskan separuh hidupnya—lahir pada 30 Agustus 1958 di New York, dari orangtua seorang diplomat Uni Soviet keturunan Ukraina—hidup sendiri dalam kegelapan malam di bukit-bukit di wilayah Chechnya. Politkovskaya berpindah-pindah dari kegelapan ke kegelapan malam.
Hanya dengan cara seperti itu, ia terhindar dari usaha cengkeraman tangan- tangan dinas keamanan Rusia, FSB—Federal’naya Sluzhba Bezopasnosti Rossiyskoi Federatsii atau Federal Security Service of the Russian Federation. FSB sudah lama mengincar Politkovskaya karena tulisan-tulisannya yang sangat kritis dan tajam. Mengkritik kebijakan Pemerintah Rusia pimpinan Presiden Vladimir Putin atas Chechnya.
Dunia kewartawanan adalah hidupnya. Setelah lulus dari Fakultas Jurnalisme Moscow State University tahun 1980, ia menjadi wartawan koran Izvestia. Ia lalu pindah ke perusahaan penerbangan Aeroflot, masih sebagai penulis untuk penerbitan interen. Setelah Mikhail Gorbachev menerapkan program perestroika (restrukturisasi) Juni 1987, Politkovskaya banting setir menerjuni pers independen yang mulai muncul dan berkembang di Rusia.
Situs The Guardian (15 Oktober 2004) menceritakan, mula-mula ia menjadi wartawan Obshchaya Gazeta. Lalu, ia menjadi wartawan Novaya Gazeta. Ketika Rusia kembali berusaha menancapkan kekuasaannya atas Chechnya, Politkovskaya menjadi salah satu wartawan yang paling vokal dan tajam mengkritiknya
Dua kali Rusia terlibat perang dengan Chechnya. Pertama, di bawah Boris Yeltsin, pada tahun 1994-1996, yang berakhir dengan perjanjian perdamaian dan penarikan pasukan Rusia. Ketika Putin berkuasa, lagi-lagi Rusia masuk ke Chechnya pada tahun 1999. Ini kali yang kedua.
Pagi-pagi, Putin memperingatkan agar media tidak mempermalukannya dengan membuat laporan-laporan atau berita kebrutalan tentara Rusia di Chechnya. Saat itu Politkovskaya berkeyakinan, jika yang menghentikan perang Chechnya pertama adalah capaian tertinggi dari media di masa pers relatif bebas yang digulirkan Yeltsin, maka perang Chechnya kedua adalah sebuah bencana yang begitu mengerikan.
Laporan-laporan Politkovskaya-lah yang membuat Kremlin meradang. "Saya telah menyaksikan ratusan orang disiksa. Saya hampir tidak percaya bahwa penyiksaan seperti itu dilakukan oleh orang-orang yang menjalani pendidikan sekolah seperti saya dan membaca buku-buku pelajaran sekolah seperti saya," tulis Politkovskaya yang pada tahun 2000 ditangkap FSB dan ditahan selama tiga hari tanpa diberi makan dan minum.
Ia juga menceritakan tentang para pengungsi yang kelaparan dan kedinginan tinggal di tenda, penculikan, pembunuhan, penghilangan orang, serta pemerkosaan yang dilakukan tentara Rusia dan aparat keamanan Chechnya dukungan Rusia. Akibat tulisan-tulisan itulah, ia nyaris kehilangan nyawanya. Ketika dalam perjalanan ke Beslan untuk ikut menyelesaikan krisis penyanderaan siswa sekolah, ia diracun. Racun dimasukkan ke dalam cangkir tehnya yang diberikan kepada Politkovskaya. Namun, hidupnya masih belum berakhir. Sebelum kejadian itu, berulang kali ia diteror dan diancam akan dibunuh tentaranya.
Semuanya berakhir pada 7 Oktober 2006, Anna Politkovskaya ditemukan tergeletak di depan pintu lift apartemennya di Moskwa. Di sisinya tergeletak pistol Makarov dan empat selosong peluru. Laporan-laporan awal mengungkapkan, ia dibunuh pembunuh bayaran. Dua kali ia ditembak, salah satunya menembus kepalanya. Tetapi, siapa yang memerintahkan pembunuhan itu?
Editor Novaya Gazeta, Dmitry Muratov, mengatakan, pada hari itu Politkovskaya akan menurunkan cerita tentang praktik- praktik penyiksaan yang diyakini dilakukan oleh otoritas Chechnya. Yang dituding, dalam cerita itu, sebagai pelaku penyiksaan adalah aparat keamanan, kadyrovtsy, yang loyal kepada Perdana Menteri Ramzan Kadyrov yang pro-Moskwa. Siapa yang memerintahkan pembunuhan atas diri Politkovskaya?
Korban politik
Politkovskaya menjadi wartawan ke-23 di Rusia yang dibunuh pada tahun 1996-2006. Dari jumlah itu, 12 orang di antaranya tewas sejak Putin berkuasa, tahun 2000. Menurut Committee to Protect Journalists yang berpusat di New York, Rusia merupakan tempat ketiga paling mematikan bagi wartawan setelah Irak dan Algeria (The Wall Street Journal, 10/10).
Pembunuhan terhadap wartawan tak hanya terjadi di Rusia, tetapi juga di Indonesia. Salah satunya adalah Fuad Mohammad Syafrudin (Udin), wartawan Bernas.
Kasus pembunuhan Udin hingga kini belum terungkap meski kejadiannya sudah 10 tahun silam. Diduga pembunuhan terhadap Udin terkait dengan tulisannya yang menyangkut kemungkinan adanya manipulasi tanah dan pemotongan dana Inpres Desa Tertinggal di Kabupaten Bantul, DIY.
Sedari awal, Politkovskaya menyadari risiko berprofesi sebagai wartawan. Ia pernah mengatakan, racun dan ancaman kematian tak akan menghentikan langkahnya melaporkan tentang kebenaran.
Udin juga berbicara soal kebenaran. Mereka menjadi korban kebenaran. Kejujuran mereka membawa kematian.
Politkovskaya pada konferensi kebebasan pers yang diselenggarakan Reporter Without Borders di Vienna, Desember 2005, mengatakan, "Orang kadang-kadang harus mengorbankan hidupnya karena mengatakan apa adanya seperti yang mereka pikir. Dalam kenyataannya, orang malahan dapat dibunuh karena memberikan informasi kepada saya. Saya bukanlah satu-satunya orang yang ada dalam bahaya. Saya telah membuktikan bahwa hal itu benar."
Ia sadar benar risiko kewajiban pertama dari dunia yang digelutinya seperti dikemukakan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam Sembilan Elemen Jurnalisme. Kewajiban pertama jurnalisme adalah kebenaran. Kebenaran menciptakan rasa aman yang tumbuh dari kesadaran seseorang dan kebenaran inilah yang menjadi intisari sebuah berita. Profesi wartawan bersendikan kepada kebenaran dan hati nurani. Demikian juga demokrasi bersendikan atas kebenaran, kejujuran, dan hati nurani.
Berbicara tentang kebenaran berarti berbicara tentang kejujuran, apa adanya. Namun, tidak semua orang—termasuk penguasa—senang mendengarkan kejujuran, kenyataan yang ada. Penguasa biasanya fobia terhadap kritik yang berdasarkan atas kejujuran atas kebenaran. Padahal, tanpa adanya kritik, demokrasi tidak akan berkembang, akan mati. Demokrasi membutuhkan kebenaran, kejujuran, keadilan, dan ketulusan hati.
Demokrasi, kerap kali, diidentikkan dengan kebebasan mengungkapkan pendapat. Bila kebebasan berpendapat ini dihalangi, demokrasi sebagai sistem politik terancam. Tak jarang, meskipun demokratisasi terus digulirkan, intimidasi, ancaman, pengerahan massa, dan kekerasan fisik masih menjadi sarana dominan bagi pencapaian tujuan- tujuan politik. Anna Politkovskaya dan juga Udin menjadi korban semua itu.
Apakah kekuatan media mengancam demokrasi? Thomas Ferenczi dalam CSD Bulletin, Vol 8 No 1 (2000-2001) menulis, demokrasi akan terancam bila media begitu dekat dengan partai-partai politik atau korporasi besar atau bila media merupakan kekuatan dominan dalam masyarakat. Demokrasi membutuhkan checks and balances. Di sinilah media, pers berperperan.
Jadi, mengapa Anna Politkovskaya dan Udin harus dibunuh? "Mereka yang memerangi rakyat untuk menghentikan kebebasan dan meniadakan hak asasi manusia harus dilawan bukan sebagai musuh biasa, tetapi sebagai pembunuh dan bandit pemberontak." Demikianlah kata Robispierre (1758-1794), salah seorang tokoh Revolusi Perancis.
Ironisnya, Anna dibunuh oleh kalimat yang dilontarkan sendiri. Pada 7 Oktober 2006, jurnalis perempuan dari Rusia itu ditembak saat pulang ke rumahnya di Jalan Lesnaya, Moskwa. Sepucuk pistol Makarov dan empat selongsong peluru ditemukan di samping tubuhnya. Salah satu peluru menembus kepalanya.
Tragis, Anna adalah satu-satunya jurnalis yang mendapat penghargaan secara anumerta dalam sepuluh tahun terakhir. Kematian Anna membuktikan, jurnalis perempuan tidak bisa diremehkan. Selama ini jurnalisme diidentikkan sebagai profesi yang menonjolkan watak maskulinitas dan hanya bisa dilakukan kaum laki-laki. Anna merontokkan mitos ini.
Dedikasi dan keberanian Anna memburu kebenaran menjadi standar yang harus dirujuk dalam kinerja jurnalisme, tidak hanya di Rusia, tetapi di seluruh dunia. Krisis ekonomi dan politik menjadikan kalangan jurnalis terjungkal dalam ancaman membahayakan. Banyak jurnalis mengalami intimidasi, pemenjaraan, dan penyensoran di Afrika. Tuntutan demokratisasi, yang bermakna pelibatan rakyat dalam mengambil keputusan politik, malah mendorong rezim yang berkuasa bertindak represif.
Namun, dari situlah optimisme mencuat. Pers diyakini dapat mendorong dan mendukung demokratisasi. Ada keyakinan yang kukuh, jalinan antara pers yang sepenuhnya merdeka dan demokratisasi partisipatoris mampu melahirkan media yang independen dan pluralistik.
Makna independen dalam persoalan ini adalah media terbebas dari berbagai intervensi penguasa politik. Arti pluralistik pada media adalah tidak terjadinya monopolisasi kepemilikan modal media ke dalam tangan-tangan segelintir orang.
Ancaman pihak lain
Media mudah mengalami ancaman dari penguasa politik melalui penerapan sejumlah mekanisme hukum. Dalih yang dikemukakan penguasa adalah menciptakan stabilitas politik dan ketertiban masyarakat.
Dalam rezim politik yang otoriter, peristiwa pemenjaraan jurnalis dan pembredelan media menjadi rutin. Fenomena yang berlaku setelah proses demokratisasi adalah surutnya intimidasi yang dijalankan aparat negara. Pihak yang melakukan campur tangan berlebihan adalah pemilik modal media. Dengan bertopeng meraih keuntungan finansial atau memberi dukungan politis bagi figur-figur yang menduduki jabatan prestisius dalam lembaga negara, jurnalis mendapat pengekangan internal-organisatoris.
Sebenarnya, tidak hanya pemain pasar dan penguasa negara yang menebarkan ancaman bagi kebebasan media. Perilaku premanisme yang dilakukan sejumlah gerombolan dari pihak masyarakat pun mengakibatkan independensi jurnalis dikebiri. Tragisnya, aparat keamanan negara cenderung mempraktikkan pembiaran atas aksi-aksi itu.
Perasaan aman dan jaminan hukum bagi jurnalis hanya menjadi cita-cita. Kejadian semacam itulah yang mengakhiri hidup Anna Politkovskaya. Konsistensi Anna mengungkap praktik penyiksaan otoritas Chechen mengakhiri kehidupannya.
Sebenarnya, Anna tidak perlu menemui kematian. Cristina L’Homme, penulis dari Perancis, mengutip pernyataan ketua persatuan jurnalis Rusia, "Jika semua jurnalis seberani Anna Politkovskaya, dia tidak akan dibunuh karena pembunuhnya akan berpikir, pasti ada jurnalis lain yang menggantikan tempatnya. Dia meninggal karena dia sendirian." Anna melawan intimidasi dan serangan mematikan dalam kesendirian.
Namun, ketakutan menjadikan orang-orang yang membenci kebebasan pers kian leluasa bergentayangan. Mereka menebarkan teror dan meletupkan ancaman kematian. Anna menjadi korban dari tekadnya untuk menegakkan kebebasan pers. Di situlah Anna menjadi sosok jurnalis perempuan yang keberaniannya layak dikenang.
Siapa sebenarnya Anna Politkovskaya? Anna Politkovskaya. Ibu dua anak ini menghabiskan separuh hidupnya—lahir pada 30 Agustus 1958 di New York, dari orangtua seorang diplomat Uni Soviet keturunan Ukraina—hidup sendiri dalam kegelapan malam di bukit-bukit di wilayah Chechnya. Politkovskaya berpindah-pindah dari kegelapan ke kegelapan malam.
Hanya dengan cara seperti itu, ia terhindar dari usaha cengkeraman tangan- tangan dinas keamanan Rusia, FSB—Federal’naya Sluzhba Bezopasnosti Rossiyskoi Federatsii atau Federal Security Service of the Russian Federation. FSB sudah lama mengincar Politkovskaya karena tulisan-tulisannya yang sangat kritis dan tajam. Mengkritik kebijakan Pemerintah Rusia pimpinan Presiden Vladimir Putin atas Chechnya.
Dunia kewartawanan adalah hidupnya. Setelah lulus dari Fakultas Jurnalisme Moscow State University tahun 1980, ia menjadi wartawan koran Izvestia. Ia lalu pindah ke perusahaan penerbangan Aeroflot, masih sebagai penulis untuk penerbitan interen. Setelah Mikhail Gorbachev menerapkan program perestroika (restrukturisasi) Juni 1987, Politkovskaya banting setir menerjuni pers independen yang mulai muncul dan berkembang di Rusia.
Situs The Guardian (15 Oktober 2004) menceritakan, mula-mula ia menjadi wartawan Obshchaya Gazeta. Lalu, ia menjadi wartawan Novaya Gazeta. Ketika Rusia kembali berusaha menancapkan kekuasaannya atas Chechnya, Politkovskaya menjadi salah satu wartawan yang paling vokal dan tajam mengkritiknya
Dua kali Rusia terlibat perang dengan Chechnya. Pertama, di bawah Boris Yeltsin, pada tahun 1994-1996, yang berakhir dengan perjanjian perdamaian dan penarikan pasukan Rusia. Ketika Putin berkuasa, lagi-lagi Rusia masuk ke Chechnya pada tahun 1999. Ini kali yang kedua.
Pagi-pagi, Putin memperingatkan agar media tidak mempermalukannya dengan membuat laporan-laporan atau berita kebrutalan tentara Rusia di Chechnya. Saat itu Politkovskaya berkeyakinan, jika yang menghentikan perang Chechnya pertama adalah capaian tertinggi dari media di masa pers relatif bebas yang digulirkan Yeltsin, maka perang Chechnya kedua adalah sebuah bencana yang begitu mengerikan.
Laporan-laporan Politkovskaya-lah yang membuat Kremlin meradang. "Saya telah menyaksikan ratusan orang disiksa. Saya hampir tidak percaya bahwa penyiksaan seperti itu dilakukan oleh orang-orang yang menjalani pendidikan sekolah seperti saya dan membaca buku-buku pelajaran sekolah seperti saya," tulis Politkovskaya yang pada tahun 2000 ditangkap FSB dan ditahan selama tiga hari tanpa diberi makan dan minum.
Ia juga menceritakan tentang para pengungsi yang kelaparan dan kedinginan tinggal di tenda, penculikan, pembunuhan, penghilangan orang, serta pemerkosaan yang dilakukan tentara Rusia dan aparat keamanan Chechnya dukungan Rusia. Akibat tulisan-tulisan itulah, ia nyaris kehilangan nyawanya. Ketika dalam perjalanan ke Beslan untuk ikut menyelesaikan krisis penyanderaan siswa sekolah, ia diracun. Racun dimasukkan ke dalam cangkir tehnya yang diberikan kepada Politkovskaya. Namun, hidupnya masih belum berakhir. Sebelum kejadian itu, berulang kali ia diteror dan diancam akan dibunuh tentaranya.
Semuanya berakhir pada 7 Oktober 2006, Anna Politkovskaya ditemukan tergeletak di depan pintu lift apartemennya di Moskwa. Di sisinya tergeletak pistol Makarov dan empat selosong peluru. Laporan-laporan awal mengungkapkan, ia dibunuh pembunuh bayaran. Dua kali ia ditembak, salah satunya menembus kepalanya. Tetapi, siapa yang memerintahkan pembunuhan itu?
Editor Novaya Gazeta, Dmitry Muratov, mengatakan, pada hari itu Politkovskaya akan menurunkan cerita tentang praktik- praktik penyiksaan yang diyakini dilakukan oleh otoritas Chechnya. Yang dituding, dalam cerita itu, sebagai pelaku penyiksaan adalah aparat keamanan, kadyrovtsy, yang loyal kepada Perdana Menteri Ramzan Kadyrov yang pro-Moskwa. Siapa yang memerintahkan pembunuhan atas diri Politkovskaya?
Korban politik
Politkovskaya menjadi wartawan ke-23 di Rusia yang dibunuh pada tahun 1996-2006. Dari jumlah itu, 12 orang di antaranya tewas sejak Putin berkuasa, tahun 2000. Menurut Committee to Protect Journalists yang berpusat di New York, Rusia merupakan tempat ketiga paling mematikan bagi wartawan setelah Irak dan Algeria (The Wall Street Journal, 10/10).
Pembunuhan terhadap wartawan tak hanya terjadi di Rusia, tetapi juga di Indonesia. Salah satunya adalah Fuad Mohammad Syafrudin (Udin), wartawan Bernas.
Kasus pembunuhan Udin hingga kini belum terungkap meski kejadiannya sudah 10 tahun silam. Diduga pembunuhan terhadap Udin terkait dengan tulisannya yang menyangkut kemungkinan adanya manipulasi tanah dan pemotongan dana Inpres Desa Tertinggal di Kabupaten Bantul, DIY.
Sedari awal, Politkovskaya menyadari risiko berprofesi sebagai wartawan. Ia pernah mengatakan, racun dan ancaman kematian tak akan menghentikan langkahnya melaporkan tentang kebenaran.
Udin juga berbicara soal kebenaran. Mereka menjadi korban kebenaran. Kejujuran mereka membawa kematian.
Politkovskaya pada konferensi kebebasan pers yang diselenggarakan Reporter Without Borders di Vienna, Desember 2005, mengatakan, "Orang kadang-kadang harus mengorbankan hidupnya karena mengatakan apa adanya seperti yang mereka pikir. Dalam kenyataannya, orang malahan dapat dibunuh karena memberikan informasi kepada saya. Saya bukanlah satu-satunya orang yang ada dalam bahaya. Saya telah membuktikan bahwa hal itu benar."
Ia sadar benar risiko kewajiban pertama dari dunia yang digelutinya seperti dikemukakan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam Sembilan Elemen Jurnalisme. Kewajiban pertama jurnalisme adalah kebenaran. Kebenaran menciptakan rasa aman yang tumbuh dari kesadaran seseorang dan kebenaran inilah yang menjadi intisari sebuah berita. Profesi wartawan bersendikan kepada kebenaran dan hati nurani. Demikian juga demokrasi bersendikan atas kebenaran, kejujuran, dan hati nurani.
Berbicara tentang kebenaran berarti berbicara tentang kejujuran, apa adanya. Namun, tidak semua orang—termasuk penguasa—senang mendengarkan kejujuran, kenyataan yang ada. Penguasa biasanya fobia terhadap kritik yang berdasarkan atas kejujuran atas kebenaran. Padahal, tanpa adanya kritik, demokrasi tidak akan berkembang, akan mati. Demokrasi membutuhkan kebenaran, kejujuran, keadilan, dan ketulusan hati.
Demokrasi, kerap kali, diidentikkan dengan kebebasan mengungkapkan pendapat. Bila kebebasan berpendapat ini dihalangi, demokrasi sebagai sistem politik terancam. Tak jarang, meskipun demokratisasi terus digulirkan, intimidasi, ancaman, pengerahan massa, dan kekerasan fisik masih menjadi sarana dominan bagi pencapaian tujuan- tujuan politik. Anna Politkovskaya dan juga Udin menjadi korban semua itu.
Apakah kekuatan media mengancam demokrasi? Thomas Ferenczi dalam CSD Bulletin, Vol 8 No 1 (2000-2001) menulis, demokrasi akan terancam bila media begitu dekat dengan partai-partai politik atau korporasi besar atau bila media merupakan kekuatan dominan dalam masyarakat. Demokrasi membutuhkan checks and balances. Di sinilah media, pers berperperan.
Jadi, mengapa Anna Politkovskaya dan Udin harus dibunuh? "Mereka yang memerangi rakyat untuk menghentikan kebebasan dan meniadakan hak asasi manusia harus dilawan bukan sebagai musuh biasa, tetapi sebagai pembunuh dan bandit pemberontak." Demikianlah kata Robispierre (1758-1794), salah seorang tokoh Revolusi Perancis.
Komentar