Prakash Amte, Angkat Derajat Suku Primitif dengan Pendidikan dan Pengobatan
Prakash Amte, 60, meraih Magsaysay Award dalam kategori kepemimpinan komunitas dengan kesederhaan. Dia berhasil meraih penghargaan yang disebut “Nobel ala Asia” itu dengan berjuang memberikan pertolongan pada suku terasing di India, dan rela meninggalkan kemewahan dengan tinggal di hutan.
---
Prakash mendapatkan penghargaan bersama istrinya, Mandakini Amte, 62. Nama mereka berdua pun disejajarkan dengan para tokoh Asia yang mampu memberikan makna pada dunia dan perubahan di Asia. Padahal, banyak orang yang tidak mengira Prakash akan mendapatkan penghargaan bergengsi itu yang diumumkan belum lama ini.
Apalagi, Ramon Magsaysay Award Foundation menyebut Prakash sebagai pemimpin yang mampu mengubah Madia Gond (suku terasing di India) menjadi sebuah komunitas yang bisa bersaing dengan masyarakat India pada umumnya. Prakash mampu mengajar dan menyembuhkan para warga suku terasing dengan sepenuh hati, tanpa memandang arti materialisme.
Semua itu, berawal sejak 34 tahun silam, ketika Prakash mendirikan rumah sakit suku Madia Gond yang tinggal hutan pedalaman di distrik Gadchiroli, Maharashtra. Sejak saat itu, dia mengabdikan dirinya sebagai dokter yang membantu kehidupan penduduk suku yang termarginalkan.
Prakash datang ke suku Madia Gond yang hidup primitif pada 1974. Kehidupan utama suku itu adalah berburu dan mencari makanan yang ada di hutan. Ketika itu, pemerintah India angkat tangan untuk mengakhiri keterasingan suku itu. Pemerintah India gagal mengajak para anggota suku terasing itu untuk lebih maju, dan berkembang.
Dengan menyerahnya pemerintah India itu, maka Prakash pun unjuk gigi untuk membantu para anggota suku Madia Gond untuk berubah menuju yang lebih baik. Prakash pun mengajar dari nol para warga untuk belajar menanam tanaman pangan, seperti padi, jagung, dan sayur-sayuran secara rutin dan mengikuti pola tanam modern.
Setelah pengetahuan pola tanam, Prakash pun mendirikan rumah sakit. Dia mengelola rumah sakit yang terdiri dari 50 kamar tidur di Hemalkasa, distrik Gadchiroli. Rumah sakit itu didirikan dengan bantuan Swisaid pada 1975 bertujuan mengobati pasien yang menderita malaria, disentri, gigitan binatang buas, dan perawatan kesehatan. “Ketika ada satu pasien yang datang berobat dan sembuh. Kemudian, pasien itu akan langsung mengajak teman-temannya untuk berobat di rumah sakit,” ujar Prakash.
Selama satu tahun, rumah sakit itu mampu merawat 40.000 pasien tanpa dipungut biaya sepeser pun. Rumah sakit itu pun dikelola secara profesional, dan merawat pasien dengan sentuhan kemanusian, bukan berorientasi pada keuntungan. Dalam bekerja, para dokter dan perawat harus ekstra sabar karena orang primitif tidak mengetahui apa itu resep, obat, dan perlengkapan medis.
Rumah sakit saja belum cukup bagi Prakash. Dia juga mendirikan sekolah untuk mendidik anak-anak dan para warga mengenai ilmu pengetahuan dan ilmu terapan. Dengan ilmu pengetahuan, mereka mendapatkan ilmu teori, sedangkan dengan ilmu terapan, para siswa bisa belajar tentang segala sesuatu yang praktis, seperti pertanian, dan peternakan. Kursus liburan juga ditawarkan untuk meningkatkan kemampuan, seperti bahasa, dan komputer. Selain itu, dia juga tetap mengajarkan tradisi budaya suku primitif yang positif, seperti lagu dan tarian tradisional.
Perjuangan Prakash pun tak sia-sia, banyak anak didiknya menjadi dokter, pengacara, guru, polisi. Sebagai balas jasa, lebih dari 90% anak didik Prakash kembali untuk mengabdi pada kelompok sukunya. Mereka juga ingin membangun daerahnya untuk lebih berkembang, dan mengajak warga lainnya untuk mau berubah.
Selain pendidikan dan kesehatan, fokus Prakash yang lainnya adalah keseimbangan alam. Dia mengajarkan agar warga suku primitif tidak merusak keharmonisan alam dengan memburu binatang-binatang langka. Pusat perawatan binatang langkah juga didirikan untuk merawat binatang langkah, seperti harimau, ular piton, dan banyak binatang lainnya.
Jika ada binatang yang sakit atau luka, umumnya para warga akan menyerahkannya pada Prakash untuk diobati. Kemudian, setelah sembuh, binatang itu dikembalikan ke alam. “Sudah berulang kali warga suku Madia Gond yang membawa binatang langka pada saya,” ungkapnya pada The Times of India.
Semua kesuksesan Prakash menaklukkan suku terasing tidak lepas kegigihan dan pantang menyerah dalam menghadapi tradisi dan budaya mereka. Semua kendala dan hambatan, menurut Prakash bisa ditaklukan dengan pemahaman bahasa suku primitif. Setelah menguasai bahasa, pendekatan secara personal mutlak dilakukan untuk membuat mereka percaya pada orang di luar suku mereka.
Selain itu, menurut Prakash, keserdehanaan dan kepedulian pada sesama juga menuntun pekerjaan yang dilakukannya lebih mudah. Sebagai guru dan dokter, Prakash tidak tampil menggunakan pakaian formal dan rapi dalam keseharian, dan pengabdiannya. Dia sering menggunakan kaos, celana pendek berwarna putih, dan tidak menggunakan alas kaki ketika dia mengobati di rumah sakit dan mengajar di kelas.
Apa yang dilakukan Prakash semuanya terinspirasi pada ayahnya, Baba Amte. Baba mendirikan tempat rehabilitas yang khusus merawat para penderita penyakit lepra di Anandwan di distrik Chandrapur. Hingga pada 1985, Baba Amte mendapatkan penghargaan the Ramon Magsaysay Award. Jadi, untuk pertama kali, Magsaysay Award diberikan pada ayah dan anak.
“Kita sangat bangga mendapatkan penghargaan ini. Sayangnya, ayah tidak bisa melihat bahwa kita sekeluarga mendapatkan penghargaan yang sama,” ungkapnya pada Gulf News. “Kita telah mengabdi untuk suku Madia Gond kurang lebih 35 tahun. Semua yang kita lakukan adalah kerja tim,” imbuhnya.
Prakash percaya bahwa penghargaan ini akan membuat sebuah perbedaan untuk dirinya, keluarga, dan semua warga suku Madia Gond. “Kita bekerja untuk suku primitif yang membutuhkan pertolongan. Harapannya, dengan penghargaan ini, dunia akan melihat masih banyak suku terasing yang membutuhkan bantuan, dan pendampingan untuk diperbaiki tingkat kehidupan, dan pola pikirnya,” tuturnya.
Sebenarnya, Prakash mendapatkan gelar dokter bedah dari sebuah universitas Nagpur, India. Dia bisa saja bekerja di rumah sakit pemerintah dan swasta dengan gaji tinggi. Namun, jiwa sosial pun melebur dalam relung hati dan pikiran Prakash. Pasalnya, sejak kecil dia tinggal kamp rehabilitasi penderita lepra bersama orang tuanya. Sedari kecil, dia sudah didik oleh kedua orang tuanya bahwa hidup di dunia itu hanya sebentar, untuk itulah sebagian besar waktu manusia harus bermanfaatkan bagi orang lain.
Prakash pun meninggalkan semua kehidupan perkotaan, dan kemewahan untuk menjadi seorang dokter sejati yang mengabdi pada rakyat miskin. Dia juga mengajak istrinya, Mandakini, 62, yang juga seorang dokter. Bersama istrinya, mereka berdua menjalani kehidupan bersahaja dengan membantu orang-orang yang benar-benar membutuhkan.
Pasangan Prakash dan Mandakini disebut banyak kalangan sebagai “Pasangan Albert Schweitzer (dokter yang mengabdikan diri di pedalaman Afrika) –nya India”. Albert Schweitzer, seorang dokter misionaris di pedalaman Afrika. Suami istri itu juga menjadi perhatian dunia internasional atas apa yang mereka perjuangkan. Mereka berdua menjadi inspirasi bagi banyak orang di dunia untuk terus mengabdi pada masyarakat yang termarginalkan.
Prakash Amte and Mandakini Amte mendapatkan penghargaan Ramsaysay bersama dengan
mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Syafi’i Ma’arif, dalam peace and international understanding; Therdchai Jivacate dari Thailand dalam kategori pelayanan publik. Selain itu, Akio Ishii dari Jepang dalam kategori jurnalistik, sastra, dan komunikasi; Ananda Galappatti dari Sri Lanka dalam kategori emergent leadership; Grace Padaca dari Filipina untuk kategori pelayanan pemerintah; dan Center for Agriculture & Rural Development Mutually Reinforcing Institutions (CARD MRI) dari Filipina dalam kategori pelayanan publik.
Ramsaysay Awar dianugerahkan bagi tokoh-tokoh maupun lembaga di Asia setiap tahun. Award itu memberikan apresiasi kepada perorangan atau lembaga yang di dalam pengabdiannya mengabaikan kepentingan pribadi dan berdampak luas bagi masyarakat. Nama Ramsaysay diambil dari nama Ramon Magsaysay adalah nama seorang mantan presiden Filipina. (andika hendra mustaqim)
Komentar