Bertekad Mengutamakan Faktor Keselamatan
JOYCE dipilih karena sukses mengelola Jetstar, anak perusahaan Qantas. Pria kelahiran Irlandia ini mengalahkan kandidat CEO lain, yaitu Direktur Keuangan Peter Gregg dan Group Executive General Manager John Borghetti. Salah satu prestasi yang menjadi poin lebih Joyce dibanding kandidat lain adalah keberhasilannya menjadikan Jetstar sebagai perusahaan yang menguntungkan.
Joyce ditunjuk sebagai CEO Jetstar pada Oktober 2003 oleh Geoff Dixon.Ketika itu, dengan pengalaman kerja di berbagai maskapai seperti Ansett dan Aer Lingus, Joyce dianggap layak menjadi CEO.Dia andal dalam perencanaan jaringan,merumuskan konsep jadwal penerbangan,dan menjalankan fungsi strategi bisnis.
Dengan kerja keras dan pemikiran Joyce, Jetstar mampu mendapatkan penghargaan the Centre for Asia-Pacific’s (CAPA) Low Cost Carrier,CEO of the Year award,dan Airline Business Magazine’s Low Cost Leadership award pada 2008.Tahun lalu,dia mampu mengantarkan Jetstar memenangi The Australian Airports Association Award untuk kategori Tokoh Tahun 2007.
Joyce juga mampu mengantarkan Jetstar memperoleh penghargaan CAPA’s Low Cost Airline of the Year Award dua kali berturutturut pada 2005 dan 2007. Selain itu,Jetstar juga mampu menggaet Skytrax’s Award for Low Cost Carrier of the Year 2007, Best Low Cost Carrier Australia/Pacific 2007, Best Cabin Crew Australia/New Zealand 20070,dan Airline Business Strategy Award for Operations2007. Jetstar, maskapai penerbangan berbiaya murah (low cost carrier), menjadi alternatif para backpacker.
Jetstar menerapkan sistem manajemen yang memungkinkan penumpang memesan tiket lebih awal dan menghindari pembelian tiket mendekati tanggal keberangkatan. Dengan sistem itu Jetstar mampu mengurangi jumlah pegawai yang mengurusi tiket lantaran pesawat selalu terisi beberapa hari sebelum jadwal keberangkatan.”Mencari keuntungan bagi bisnis pesawat harus dimulai dari masalahmasalah kecil terlebih dulu,” tuturnya.
Joyce mengklaim perubahan tersebut mampu meningkatkan pendapatan Jetstar secara signifikan. Inovasi, baik dengan penghematan maupun perampingan elemen perusahaan, menjadikan fondasi bisnis semakin kuat. ”Dalam bisnis penerbangan, kita harus mengutamakan penghematan di kanan dan kiri,” ujarnya.
Pada 2007, pendapatan Jetstar mencapai 250 juta dolar Australia (Rp2,1 triliun). Pada semester I tahun ini, Jetstar telah membukukan pendapatan 113 juta dolar Australia (Rp960 miliar). Jumlah penumpang pada semester pertama 2008 mencapai 4,5 juta orang. Joyce menuturkan, salah satu rahasia kesuksesan Jetstar adalah upaya tidak meniru induk perusahaan, Qantas.
Dia menerapkan prinsip yang kontras dengan Qantas. ”Jika Qantas memiliki pelayanan mewah dan beragam, kita jangan menirunya karena apa yang dilakukan induk perusahaan itu belum tentu menguntung kan bagi kita,”paparnya. Kendati memiliki bisnis yang sama dengan induk perusahaan, Jetstar mampu menjalankan kegiatan bisnis secara mandiri.
Selain melakukan perawatan pesawat sendiri, Jetstar juga berpromosi sendiri melalui internet. ”Kita berusaha menjadi anak perusahaan yang mandiri,”lanjut Joyce. Setiap tahun Jetstar mampu mengangkut 12 juta penumpang dan menguasai 14% pasar penerbangan domestik di Australia.
Bukan hanya menjadi ”raja kecil”di Negeri Kanguru, Joyce juga meluncurkan penerbangan internasional dengan tujuan Bali dan Phuket untuk menggaet kalangan backpacker. Rute selanjutnya adalah penerbangan ke Malaysia dan Jepang. Namun, ekspansi rute internasional itu menjadikan keuntungan perusahaan menurun drastis dari USD35 juta (Rp297 miliar) menjadi USD11 juta (Rp93 miliar) tahun lalu.
Para analis penerbangan menilai penurunan itu wajar karena penambahan rute penerbangan membutuhkan banyak biaya. Meski berpengalaman selama 20 tahun dalam industri penerbangan, Joyce tidak memiliki lisensi untuk menerbangkan pesawat.Keahlian matematikanya justru lebih menonjol.
Dia menjadi seorang yang sangat ahli dalam hitung-menghitung dalam industri penerbangan. ”Bisnis penerbangan merupakan bisnis yang sangat rumit dan penuh dengan perhitungan yang serbatepat,”ujarnya. Berbekal pengalaman memajukan Jetstar, Joyce optimistis mampu memimpin Qantas per November 2008.
Joyce akan mengikuti strategi Dixon—yang telah menjadikan Qantas sebagai salah satu maskapai penerbangan tersukses di dunia. ”Ini hanya pergantian tongkat dan saya akan melanjutkan banyak strategi yang dilakukan Geoff,” ungkapnya. Walau begitu Joyce tetap menjanjikan sejumlah pembenahan, antara lain dalam aspek pengetahuan manajemen, efisiensi, dan investasi pembelian pesawat baru yang lebih hemat bahan bakar.
Masalah keselamatan juga tidak dia tinggalkan. ”Keselamatan penerbangan merupakan pokok persoalan yang tidak dapat dikompromikan,” ungkapnya. Joyce bergabung dengan Grup Qantas sejak 2000. Sebelumnya dia bekerja pada penerbangan domestik Anseet dan maskapai penerbangan Irlandia Aer Lingus. Dia merupakan lulusan pascasarjana dari Trinity College, Dublin, Irlandia, dalam bidang fisika dan matematika. (andika hendra mustaqim)
Joyce ditunjuk sebagai CEO Jetstar pada Oktober 2003 oleh Geoff Dixon.Ketika itu, dengan pengalaman kerja di berbagai maskapai seperti Ansett dan Aer Lingus, Joyce dianggap layak menjadi CEO.Dia andal dalam perencanaan jaringan,merumuskan konsep jadwal penerbangan,dan menjalankan fungsi strategi bisnis.
Dengan kerja keras dan pemikiran Joyce, Jetstar mampu mendapatkan penghargaan the Centre for Asia-Pacific’s (CAPA) Low Cost Carrier,CEO of the Year award,dan Airline Business Magazine’s Low Cost Leadership award pada 2008.Tahun lalu,dia mampu mengantarkan Jetstar memenangi The Australian Airports Association Award untuk kategori Tokoh Tahun 2007.
Joyce juga mampu mengantarkan Jetstar memperoleh penghargaan CAPA’s Low Cost Airline of the Year Award dua kali berturutturut pada 2005 dan 2007. Selain itu,Jetstar juga mampu menggaet Skytrax’s Award for Low Cost Carrier of the Year 2007, Best Low Cost Carrier Australia/Pacific 2007, Best Cabin Crew Australia/New Zealand 20070,dan Airline Business Strategy Award for Operations2007. Jetstar, maskapai penerbangan berbiaya murah (low cost carrier), menjadi alternatif para backpacker.
Jetstar menerapkan sistem manajemen yang memungkinkan penumpang memesan tiket lebih awal dan menghindari pembelian tiket mendekati tanggal keberangkatan. Dengan sistem itu Jetstar mampu mengurangi jumlah pegawai yang mengurusi tiket lantaran pesawat selalu terisi beberapa hari sebelum jadwal keberangkatan.”Mencari keuntungan bagi bisnis pesawat harus dimulai dari masalahmasalah kecil terlebih dulu,” tuturnya.
Joyce mengklaim perubahan tersebut mampu meningkatkan pendapatan Jetstar secara signifikan. Inovasi, baik dengan penghematan maupun perampingan elemen perusahaan, menjadikan fondasi bisnis semakin kuat. ”Dalam bisnis penerbangan, kita harus mengutamakan penghematan di kanan dan kiri,” ujarnya.
Pada 2007, pendapatan Jetstar mencapai 250 juta dolar Australia (Rp2,1 triliun). Pada semester I tahun ini, Jetstar telah membukukan pendapatan 113 juta dolar Australia (Rp960 miliar). Jumlah penumpang pada semester pertama 2008 mencapai 4,5 juta orang. Joyce menuturkan, salah satu rahasia kesuksesan Jetstar adalah upaya tidak meniru induk perusahaan, Qantas.
Dia menerapkan prinsip yang kontras dengan Qantas. ”Jika Qantas memiliki pelayanan mewah dan beragam, kita jangan menirunya karena apa yang dilakukan induk perusahaan itu belum tentu menguntung kan bagi kita,”paparnya. Kendati memiliki bisnis yang sama dengan induk perusahaan, Jetstar mampu menjalankan kegiatan bisnis secara mandiri.
Selain melakukan perawatan pesawat sendiri, Jetstar juga berpromosi sendiri melalui internet. ”Kita berusaha menjadi anak perusahaan yang mandiri,”lanjut Joyce. Setiap tahun Jetstar mampu mengangkut 12 juta penumpang dan menguasai 14% pasar penerbangan domestik di Australia.
Bukan hanya menjadi ”raja kecil”di Negeri Kanguru, Joyce juga meluncurkan penerbangan internasional dengan tujuan Bali dan Phuket untuk menggaet kalangan backpacker. Rute selanjutnya adalah penerbangan ke Malaysia dan Jepang. Namun, ekspansi rute internasional itu menjadikan keuntungan perusahaan menurun drastis dari USD35 juta (Rp297 miliar) menjadi USD11 juta (Rp93 miliar) tahun lalu.
Para analis penerbangan menilai penurunan itu wajar karena penambahan rute penerbangan membutuhkan banyak biaya. Meski berpengalaman selama 20 tahun dalam industri penerbangan, Joyce tidak memiliki lisensi untuk menerbangkan pesawat.Keahlian matematikanya justru lebih menonjol.
Dia menjadi seorang yang sangat ahli dalam hitung-menghitung dalam industri penerbangan. ”Bisnis penerbangan merupakan bisnis yang sangat rumit dan penuh dengan perhitungan yang serbatepat,”ujarnya. Berbekal pengalaman memajukan Jetstar, Joyce optimistis mampu memimpin Qantas per November 2008.
Joyce akan mengikuti strategi Dixon—yang telah menjadikan Qantas sebagai salah satu maskapai penerbangan tersukses di dunia. ”Ini hanya pergantian tongkat dan saya akan melanjutkan banyak strategi yang dilakukan Geoff,” ungkapnya. Walau begitu Joyce tetap menjanjikan sejumlah pembenahan, antara lain dalam aspek pengetahuan manajemen, efisiensi, dan investasi pembelian pesawat baru yang lebih hemat bahan bakar.
Masalah keselamatan juga tidak dia tinggalkan. ”Keselamatan penerbangan merupakan pokok persoalan yang tidak dapat dikompromikan,” ungkapnya. Joyce bergabung dengan Grup Qantas sejak 2000. Sebelumnya dia bekerja pada penerbangan domestik Anseet dan maskapai penerbangan Irlandia Aer Lingus. Dia merupakan lulusan pascasarjana dari Trinity College, Dublin, Irlandia, dalam bidang fisika dan matematika. (andika hendra mustaqim)
Komentar