Norman T Uphoff, Ciptakan Revolusi Pangan Dimulai dari Proses Penanaman Padi

Jika kebanyakan kebanyakan profesor bermimpi untuk menelorkan gagasan yang rvolusioner. Tapi, Norman T Uphoff, 67, yang bekerja di kampus Universitas Cornell, tidak terlalu berpikir bagaimana caranya menggebrak dunia ilmiah. Dia hanya ingin agar petani di seluruh dunia mampu menghasilkan beras berkali-kali lipat produksi padinya.

Uphoff menawarkan sesuatu yang tidak muluk-muluk sebagai solusi atas banyak kelaparan di dunia ini. Rahasia untuk mengatasi krisis pangan adalah dimulai dengan menanam padi. Bahkan dia menyebut proses menanam padi yang digunakan telah menjadi suatu metode yang dipakai oleh para petani di Indonesia. Hanya saja, yang menjadi perbedaan adalah mengubah manajemen penamanan padinya.

Caranya, jika panen padi sebanyak dua kali, ketika para petani menanam lebih awal, maka menebar benih dengan memberi ruang untuk bisa tumbuh dan jangan terlalu banyak mengalirkan air ke sawah. Batasi air dan biarkan benih untuk bisa memperkuat akar dan tumbuhnya daun. Dengan cara itu, maka petani harus mengurangi bibit sebanyak 80%-90%. Pengaliran air irigasi hanya 25%-50%. Jangan terlalu banyak memberikan pupuk kimia, atau bahkan lebih baik ditiadakan pupuk anorganik. Jaminannya, beras yang dihasilkan akan lebih tinggi.

Lima prinsip yang menjadi acuan adalah penggunaan bibit muda sehingga tumbuh lebih potensial. Jarak antar benih padi satu dengan yang lainnya cukup lebar. Tanah tidak boleh tanah tergenah air, tetapi tetap basah. “Sirkulasi dalam akan semakin terjaga karena udara bisa meresap dan tanah tetap subur,” papar Uphoff. Metode yang dikembangkannya, disebut dengan nama Sistem Intensifikasi Padi (SRI).

Dengan mempopulerkan SRI, dia merupakan ilmuwan yang pertama kali menawarkan solusi terbaik dalam menghadapi krisis pangan. “Krisis pangan bisa diatasi dengan satu syarat, dimulai dari proses penanaman padi,” imbuhnya.

Uphoff berani menjamin jika para petani di seluruh dunia, menggunakan metode itu, menurutnya, produksi padi akan semakin meningkat, baik secara kuantitas dan kualitas. Jaminannya, jumlah beras yang dihasilkan akan lebih tinggi, dan mendapatkan keuntungan yang lebih.

Dalam kurun waktu satu dekade lamanya, teori SRI tidak banyak dikenal. Dulu, teorinya justru banyak dicemooh banyak profesor pertanian dan dipandang sebelah mata oleh para peneliti beras. Mereka menganggap teori SRI hanya mengembangkan sesuatu yang telah ada. Anehnya lagi, para teman-teman peneliti di Cornell juga skeptis dengan ide SRI itu akan menjadi solusi atas krisis pangan dunia. Bahkan, Institut Penelitian Padi Internasional (IRRC) juga awalnya menolak ide cerdas SRI itu.

Jiwa dan idealismenya tetap bersikeras bahwa penelitiannya akan menolong dunia dari ancaman kelaparan. Dan itu benar adanya. Kini, teori SRI justru telah menjadi tren di seluruh dunia. Uphoff menyatakan sebanyak satu juta petani di seluruh dunia telah mengadopsi metode SRI. Optimisnya, dia menarget lebih dari 10 juta petani akan menerapkan metode itu dalam beberapa tahun ke depan. Lebih dari 28 negara telah mengaplikasikan SRI, terutama Indonesia, China, India, Kamboja, dan Vietnam.

“Dunia ini telah dipenuhi dengan berbagai masalah. Jika kita tidak memecahkan permasalahan atas kebutuhan hidup utama orang, kita tidak akan melakukan apapun. Minimal, kita bisa memberikan metode dan cara terbaik yang akan berdampak pada orang-orang di seluruh dunia,” paparnya.

SRI dengan bantuan Institut Bank Dunia, salah satu elemen pendidikan Bank Dunia, telah membuat DVD tentang sistem itu dan disebarkan ke seluruh dunia. “SRI adalah satu besi di dalam api,” tuturnya. Untuk terus mempopuler metodenya, dia memperkenalkan metode itu melalui internet yang langsung terkoneksi dengan para aktivis SRI dan pendukung utamanya. Dia juga bekerjasama dengan lembaga donor internasional, layaknya Oxfam, dan banyak Non-governmental Organization (NGO).

Temuan revolusioner itu telah menggemparkan banyak orang di dunia ini. Di Tamil Nadu, negara bagian di India selatan, Menteri Pertanian India Veerapandi S Arumugam, mebgatakan metode SRI merupakan model penanaman padi yang sangat merombak model penamanan padi yang telah ada. Dia menyatakan lebih dari satu juta hektar lahan pertanian di India telah ditanam padi dengan sistem SRI.

Hal yang ama juga diungkapkan Menteri Pertanian Kamboja Chan Sarun. Dia mengatakan model SRI yang menjanjikan produksi beras yang meningkat drastis bukan hanya memberikan bukti beras yang berkualitas saja. “SRI juga bakal menjanjikan munculnya ‘emas putih’ bagi kalangan petani di seluruh dunia,” paparnya dikutip the New York Times.

Walaupun banyak petani yang telah membuktikan, masih banyak para peneliti yang menuduh Uphoff sebagai peneliti yang membuahkan revolusi palsu. Achim Dobermann, kepala peneliti di IRRC di Filipina, mengatakan SRI adalah sebuah ilusi. Dia menuturkan hanya sedikit petani yang menggunakan SRI, pasalnya para petani telah terbiasa menerapkan pola tradisional. “SRI terlalu sulit diterapkan,” paparnya.

Kebalikan dari pemikiran Dobermann, Robert Chambers, peneliti perkembangan pertanian dari Universitas Sussex, Inggris, menyebut SRI sebagai terobosan. “SRI merupakan sesuatu yang luar biasa,” tuturnya. Dia juga heran kenapa banyak para petani dan peneliti yang masih meragukan hasil penelitian Uphoff. Padahal, SRI telah memberikan kontribusi besar bagi peningkatan produksi pangan. “Tinggal menunggu apa lagi,” tambahnya.
Uphoff tumbuh dewasa di kawasan pertanian Wisconsin, AS yang banyak memproduksi susu. Dari kecil, dia sudah bisa bergelut dengan dunia pertanian. Pada 1966, dia lulus dari Universitas Princeton dengan gelar master dalam hubungan publik, dan 1970, dia mendapatkan gelar doktor dalam bidang politik ilmiah dari Universitas California. Di Universitas Cornell sendiri, dia lebih banyak berkecimpung dalam pengembangan daerah pedesaan, manajemen irigasi, dan program kredit untuk pertani di negara berkembang.

Pada 1990, seorang filantropi yang tidak mau menyebutkan identitas (namun diduga filantropi itu adalah Charles F Feeney, alumni Cornell yang memiliki jaringan toko duty-free) memberikan dana hibah sebesar USD15 juta (pada Universitas Cornell untuk memulai program mengatasi krisis pangan dunia. Dia menjadi direktur Universitas Cornell selama 15 tahun. Dia menyerahkan kepemimpinan ketika dia harus pergi Madagascar, Afrika, pada 1993.

Dia datang ke Madagascar, karena mendengar informasi bahwa ada pastur Jesuit Prancis Romo Henri de Laulanie, yang mengembangkan model penaaman padi dengan sebutan Sistem Intensifikasi Padi (SRI). Ketika itu, dia skeptis. Akhirnya, dia pun harus membuktikan. Ketika itu, petani yang hanya panen dua ton per hektar, bisa panen mencapai 5 sampai 15 ton dengan menerapkan metode SRI. “Saya langsung tidak percaya. Tak ada peneliti yang mau percaya dengan klaim itu,” tuturnya ketika itu.

Dengan modal penasaran itu, Uphoff ingin membuktikan model SRI itu. Dia pun tinggal di Madagascar selama tiga tahun lamanya. Ternyata, para petani itu membuktikan bahwa per hektar panen mereka bisa menghasilan delapan ton. Dia sendiri tidak pernah bertemu dengan Romo Henri de Laulanie, yang meninggal pada 1995. Dia pun mengklaim bahwa penelitian itu tetap asli milik Romo Henry, dia hanya mempopulerkannya.

Uphoff pun mulai mengkaji lebih ilmiah SRI itu sejak membuktikannya. Sejak 1998, dia mulai mempromosikan SRI dengan bekeliling dunia. Dia mendatangi berbagai tempat penelitian pertanian, universitas, dan para petani di seluruh dunia. Cacian dan hinaan telah dihadapi. Namun, pujian dari para petani juga menyanjung dirinya agar terus memperjuangkan metode SRI. “Saya selalu menegaskan bahwa SRI bukanlah mitos atau pun kepercayaan, tapi itu merupakan hasil penelitian dan kajian yang akan menjadi dewa penolong atas kelaparan yang terjadi di dunia ini,” ujarnya. (andika hendra mustaqim)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Snowden Tuding NSA Retas Internet Hong Kong dan China

Inovasi Belanda Tak Terpisahkan dari Bangsa Indonesia

Teori Pergeseran Penerjemahan Catford