Moskow Tuduh Kiev Langgar Perjanjian

MOSKOW – Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov kemarin menuding Ukraina telah melanggar perjanjian Jenewa yang telah disepakati pekan lalu. Kegagalan perjanjian Jenewa bisa menyebabkan pertumpahan darah lebih lanjut di kawasan timur Ukraina. Tapi, ini juga bisa memicu Amerika Serikat (AS) untuk menjatuhkan sanksi lebih ketat terhadap Kremlin— dengan konsekuensi terhadap banyak perekonomian dan importir energi Rusia. “Tuntutan kesepakatan Jenewa adalah mencegah kekerasan dan itu ternyata tidak diimplementasikan. Langkahlangkah yang dilakukan oleh pemerintahan Kiev telah melanggar kesepakatan yang telah dicapai di Jenewa,” papar Lavrov yang dikutip AFP. Lavrov mengungkapkan, Pemerintah Kiev tidak melucuti senjata kelompok ilegal khususnya ultranasionalis Right Sector. “Ekstremis harus dikendalikan,” ujar Lavrov saat berkomentar mengenai insiden penambakan diKotaSloviansk, Ukrainatimur. Dia juga mengkritik protes jalanan di Lapangan Maidan, Kiev, yang terus berlanjut. Minggu (20/4), sedikitnya tiga orang tewas dalam baku tembak di sebuah pos pemeriksaan yang dikendalikan milisi pro-Rusia di dekat Sloviansk. Pemberontak menuding serangan itu dilakukan oleh milisi Right Sector atau Pravy Sektor yang berafiliasi dengan Pemerintah Ukraina. “Pemerintah (Kiev) tidak melakukan apa pun, termasuk tidak menunjuk jari, kepada penyebab krisis yang semakin parah di Ukraina,” papar Lavrov. Tapi, Kiev menyebut aksi itu sebagai “provokasi” yang dilakukan pasukan khusus Rusia. Ukraina tetap menganggap biang kerusuhan di wilayah timur negara itu Moskow. Namun, Rusia membantah keterlibatan agen intelijennya di wilayah Ukrainatimur. GedungPutihjuga telah meminta Kremlin tidak memanfaatkan milisinya untuk mengacaukan Ukraina timur. KesepakatanJenewapada 17 April telah ditandatangani Rusia, Ukraina, Uni Eropa, dan Amerika Serikat (AS). Perjanjian itu meminta diakhiri kekerasan di Ukraina timur dan menyerukan seluruh kelompok bersenjata ilegal untuk menyerahkan senjata serta meninggalkan gedung pemerintah. Tapi, milisi pro-Rusia menolak perjanjian itu dan tetap menguasai kotakota di Ukraina timur. AS bahkan mengancam memberikan sanksi lebih berat bagi Rusia jika gagal melaksanakan kesepakatan Jenewa. Tapi, Lavrov mengabaikan ancaman itu. Dia mengungkapkan sanksi tidak akan berdampak bagi Moskow karena Rusia negara besar, merdeka, dan mengetahui apa yang dinginkan. “Sebelum memberikan ultimatum, kita harus memenuhi permintaan dalam dua atau tiga hari dengan ancaman sanksi,” kata dia. Kondisi di Ukraina timur kemarin relatif tenang. Milisi pro- Kremlin kemarin masih menguasai gedung pemerintah yang telah diduduki selama satu pekan lebih. “Tidak ada penembakan lagi,” ujar Yevgen Gorbik, seorang milisi yang berjaga di pos pemeriksaan di Kota Sloviansk. Dia mengungkapkan mereka diperintah untuk menembak jika diserang. Dalam rangka mengawasi kesepakatan Jenewa, Organisasi Keamanan dan Kerja Sama Eropa (OSCE) telah menempatkan 100 pengawas di Ukraina. Separuh di antaranya telah ditempatkan di Ukraina timur. Menurut Juru Bicara OSCE Michael Bociurkiw, timnya menghadapi banyak kesulitan ketika memasuki wilayah milisi karena banyak pos pemeriksaan. “Donetsk dan Sloviansk merupakan kota yang memperlakukan kasar tim pengawas. Kota lain lebih mengakomodasi,” papar Bociurkiw kepada Reuters. Sementara itu, Wakil Presiden AS Joe Biden kemarin memulai kunjungan dua hari ke Ukraina. Kunjungan itu sebagai bentuk jaminan AS bahwa mereka akan tetap melanjutkan dukungan bagi Kiev. Washington juga telah berjanji akan memberikan bantuan finansial bagi Ukraina. Baik AS maupun negara-negara Organisasi Pakta Atlantik Utara (NATO) telah meningkatkan pertahanannya di Eropa timur yang berbatasan langsung dengan Ukraina. Gedung Putih mengungkapkan Biden akan berkonsultasi mengenai perkembangan terakhir di Ukraina timur dalam kunjungannya ke Kiev. Biden kemarin bertemu para pejabat Kedubes AS di Ukraina. Hari ini dia dijadwalkan bertemu Presiden Ukraina Oleksandr Turchynov dan Perdana Menteri Arseniy Yatsenyuk. Sementara kemarin Presiden Rusia Vladimir Putin menandatangani dekrit untuk merehabilitasi suku Tatar dan etnis minoritas lain di Crimea yang menderita akibat pemerintahan diktator Uni Soviet Josef Stalin. “Saya telah menandatangani dekrit untuk merehabilitasi penduduk Tatar Crimea, Armenia, Jerman, Yunani— mereka semua yang menderita di bawah represi Stalin,” papar Putin di hadapan pertemuan Dewan Negara. Minoritas suku Tartar yang berjumlah sekitar 300.000 jiwa atau sekitar 15% populasi Crimea menolak masuknya wilayah itu ke Rusia bulan lalu. Dekrit itu dinilai sebagai usaha memenangkan simpati Tatar yang memandang Kremlin tanpa rasa percaya dan mengusahakan sistem kuota untuk memastikan pembagian kekuasaan di pemerintahan lokal. andika hendra m http://www.koran-sindo.com/node/383718

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Snowden Tuding NSA Retas Internet Hong Kong dan China

Inovasi Belanda Tak Terpisahkan dari Bangsa Indonesia

Teori Pergeseran Penerjemahan Catford