Ukraina Di ambang Perang Saudara

KIEV – Perang saudara mengancam terancam pecah di Ukraina. Jika konflik berdarah antara demonstran anti-pemerintah dan polisi tidak diakhiri, maka pertumpahan darah akan semakin meluas dan tidak terbendung hingga menjadi perang sipil. Reuters melaporkan kalau data Kementerian Kesehatan Ukraina menyebutkan 75 orang tewas sejak kerusuhan yang berlangsung pada Selasa sore (18/2) dan sedikitnya 47 orang meninggal pada Kamis (20/2) saja. Kerusuhan itu merupakan tragedi terburuk sejak kemerdekaan Ukraina. Sedangkan BBC melaporkan jumlah korban total mencapai 77 orang dan 577 orang terluka. “Negara telah meluncurkan perang melawan rakyatnya sendiri,” ujar mantan juara tinju dunia dan pemimpin oposisi, Vitali Klitschko, dikutip Newsweek. Yang menjadi pertanyaan besar adalah perang saudara justru dipicu oleh kebijakan keras Presiden Ukraina Viktor Yanukovych terhadap pengunjuk rasa anti-pemerintah. Ancaman pembentukan republik terpisah juga sudah muncul jika kekerasan terus terjadi. Isu perpecahan muncul di Crimea sebagai wilayah yang paling dihuni oleh warga yang berpihak kepada Moskow. Di kota itu, ribuan tentara Rusia ditemptkan di pangkalan Sevastopol. Selain Crimea yang siap merdeka, wilayah Lviv yang berbatasan dengan Polandia juga telah mendeklarasikan pemerintahan sendiri pada pekan ini. Semangat memisahkan diri dari Kiev itu dilakukan karena konfrontasi berdarah dikhawatirkan dapat meningkatkan semangat separtisme. Namun demikian, sebagian besar warga Ukraina tetap menginginkan persatuan dan kesatuan negara. Ketua parlemen Crimea, Ukraina, Vladimir Konstantinov, mengungkapkan pembentukan republik yang terpisah dari Ukraina menjadi suatu solusi dengan kekerasan yang terus berlanjut. “Itu mungkin terjadi jika negara ini pecah. Bagaimanapun, situasi yang terjadi saat ini menuju ke arah itu,” kata Konstantinov kepada radio Rusia. Kekhawatiran pecahnya perang sipil juga diungkapkan oleh Perdana Menteri Polandia Donal Tusk. Dia mengungkapkan, perang sipil dapat pecah antara pro-Eropa di wilayah Ukraina barat dan pro-Rusia yang berada di wilayah timur Ukraina. Hal senada diungkapkan Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, yang menuding kelompok garis dan ekstrimis yang memicu perang sipil di Ukraina. Dalam pandangan Volodymyr Fesenko dari Pusat Analisis Politik Penta di Kiev, mengungkapkan kekerasan yang memanas di Ukraina merupakan keputusan yang tidak bertanggunjawab dan sangat tragis. “Upaya penegakan keamanan yang menggunakan kekuatan bersenjata dapa memicu perang sipil,” katanya. Kondisi Ukraina dapat terjadi seperti kasus Czechoslovakia atau pun Yugoslavia yang terpecah, Kemungkinan pecahnya perang saudara juga dipicu “permainan” dua kubu di Ukraina, yakni Amerika Serikat (AS) dan sekutunya melawan Rusia. AS dan negara-negara Eropa mendukung para demonstran yang menentang pemerintahan Yanukovych. Bahkan, veteran perang AS dan senator John McCain pada Desember lalu datang langsung ke Kiev untuk menjanjikan dukungan. “Ukraina akan membuat Eropa lebih baik, dan Eropa akan membuat Ukraina lebih baik. Amerika selalu bersama kamu,” kata McCain. Tak mau kalah pengaruh, Moskow menjanjikan berbagai bantuan kepada Presiden Yanukovych sebagai kaki tangannya. Rusia akan memberikan bantuan senilai USD15 miliar Rp210,431 triliun kepada Presiden Yanukovych. Pada pekan ini, Moskow telah mengucurkan USD2 miliar atau Rp23,38 triliun kepada Kiev. Perdamaian Disepakati Presiden Ukraina Yanukovych kemarin mengungkapkan kesepakatan dengan kubu oposisi telah dicapai untuk mengakhiri konflik politik selama tiga bulan terakhir. Kesepakatan itu dicapai setelah perundingan yang juga diikuti oleh Menteri Jerman, Polandia, Prancis dan delegasi Rusia. “Berbagai pihak telah sepakat untuk menyusun kesepakatan untuk menyelesaikan krisis,” demikian keterangan kantor Presiden Ukraina. Yanukovych akan mulai proses pembentukan pemerintahan persatuan nasional di Ukraina. Rencannya, pemerintahan koalisi akan dibentuk dalam kurun waktu 10 hari. Pemilu presiden yang dipercepat kemungkinan akan digelar pada Desember mendatang. “Saya mengusulkan pemilu presiden yang dipercepat,” kata Yanukovych dikutip AFP. Kemudian, Yanukovych juga menyepakati perubahan konstitusi, pelimpahan kekuasaan lebih luas kepada parlemen, dan pengurangan kekuasaan presiden. Menteri Luar Negeri Polandia, Radoslaw Sikorski, mengaku puas dengan kesepakatan tersebut. “Semua pihak telah berkompromi hingga kurang dari 100%,” kata Sikorski dikutip BBC. Krisis politik di Ukraina pecah sejak November lalu setelah Yanukovych menolak kesepakatan integrasi dengan Uni Eropa. Yanukovych lebih memilih mendekati Rusia sehingga memicu kemarahan warga pro-Eropa yang turun ke jalanan. (andika hendra m)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Snowden Tuding NSA Retas Internet Hong Kong dan China

Inovasi Belanda Tak Terpisahkan dari Bangsa Indonesia

Teori Pergeseran Penerjemahan Catford