Meluncur 64 Km per Jam ke Sekolah
RIO NEGRO (SI) – Untuk pergi ke sekolah, Daisy Mora, 9, harus meluncur menggunakan kawat baja yang terbentang sepanjang 800 meter di atas jurang sedalam 1.300 kaki.
Mora tidak sendirian,banyak anak-anak seusianya meluncur sendiri,mengalahkan rasa takut. Mereka bukan untuk bermainmain seperti di tempat petualangan. Namun, itulah satu-satunya jalan tercepat menuju sekolah mereka meski risikonya adalah nyawa mereka sendiri. Ya, anak-anak itu tidak takut dengan ketinggian ketika meluncur di kawat baja. Mereka menaklukkan bentuk geografis yang berbukit-bukit dengan cara yang cerdas sehingga lebih cepat sampai tujuan daripada harus melewati jalan darat dengan menembus hutan lebat di bawah mereka.
Maklum, jalan aspal belum tersedia di daerah tersebut.Belum cukup itu saja. Anak-anak itu meluncur di kawat baja itu dengan kecepatan hingga 64 kilometer per jam. “Hal itu dilakukan mereka setiap hari. Mereka mampu meluncur sama seperti kecepatan mobil rata-rata. Butuh keberanian tinggi untuk melakukan aksi maut itu,” tulis Daily Mail yang sengaja datang langsung untuk melihat perjuangan para pelajar kecil tersebut. Bagi Daisy Mora yang berasal dari Rio Negro, Kolombia, melewati ngarai dengan meluncur di kawat baja, bukan suatu yang menakutkan. Meski awalnya dia mengakui cukup takut juga, karena telah melakukannya setiap hari,ketakutan itu sirna.
Mora menggantungkan diri di kawat baja yang telah berkarat dan memegang roda katrol yang di bawahnya mengait ke karung tempatnya duduk. Dia pun langsung meluncur dengan kecepatan 64km per jam ke tujuan sejauh 800 meter. Hal itu dilakukannya setiap hari untuk dapat mengenyam pendidikan. Bergelayutan di tali baja itu juga menjadi kebiasaan semua anggota keluarga yang tinggal di 64 km tenggara Ibu Kota Bogota. Di wilayah tersebut, terdapat 12 kawat baja yang saling bertautan antara satu bukit dengan bukit lainnya. Hanya tambang baja itulah yang menjadi akses ke dunia luar.
Petualang Jerman,Alexander von Humboldt, merupakan orang yang pertama kali menemukan sistem transportasi dengan kawat baja seperti itu pada 1804. Dulu, talinya bukan dibuat dari kawat baja namun dibuat dari jerami. Tetapi, kini telah ada kawat baja yang lebih kuat dan lebih aman. Mora biasa berangkat sekolah bersama adiknya, Jamid, yang masih kecil. Jamid ditemani Mora yang duduk bersamanya di karung goni yang tergantung di kawat baja. Mora yang mengatur kecepatan peluncuran mereka dengan kayu berbentuk garpu.
Hingga saat ini, cara transportasi dengan kawat baja itu paling populer di wilayah itu.Para petani memanfaatkan cara tersebut untuk mengirimkan hasil pertanian ke kota terdekat. Bagi para petani di sana,kawat baja telah menjadi roda penggerak ekonomi keluarga mereka. Bagi Mora,Jamid,dan para pelajar sekolah di sana, kawat baja membantu mereka meraih mimpi-mimpinya. (DM/andika hm)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/312537/
Mora tidak sendirian,banyak anak-anak seusianya meluncur sendiri,mengalahkan rasa takut. Mereka bukan untuk bermainmain seperti di tempat petualangan. Namun, itulah satu-satunya jalan tercepat menuju sekolah mereka meski risikonya adalah nyawa mereka sendiri. Ya, anak-anak itu tidak takut dengan ketinggian ketika meluncur di kawat baja. Mereka menaklukkan bentuk geografis yang berbukit-bukit dengan cara yang cerdas sehingga lebih cepat sampai tujuan daripada harus melewati jalan darat dengan menembus hutan lebat di bawah mereka.
Maklum, jalan aspal belum tersedia di daerah tersebut.Belum cukup itu saja. Anak-anak itu meluncur di kawat baja itu dengan kecepatan hingga 64 kilometer per jam. “Hal itu dilakukan mereka setiap hari. Mereka mampu meluncur sama seperti kecepatan mobil rata-rata. Butuh keberanian tinggi untuk melakukan aksi maut itu,” tulis Daily Mail yang sengaja datang langsung untuk melihat perjuangan para pelajar kecil tersebut. Bagi Daisy Mora yang berasal dari Rio Negro, Kolombia, melewati ngarai dengan meluncur di kawat baja, bukan suatu yang menakutkan. Meski awalnya dia mengakui cukup takut juga, karena telah melakukannya setiap hari,ketakutan itu sirna.
Mora menggantungkan diri di kawat baja yang telah berkarat dan memegang roda katrol yang di bawahnya mengait ke karung tempatnya duduk. Dia pun langsung meluncur dengan kecepatan 64km per jam ke tujuan sejauh 800 meter. Hal itu dilakukannya setiap hari untuk dapat mengenyam pendidikan. Bergelayutan di tali baja itu juga menjadi kebiasaan semua anggota keluarga yang tinggal di 64 km tenggara Ibu Kota Bogota. Di wilayah tersebut, terdapat 12 kawat baja yang saling bertautan antara satu bukit dengan bukit lainnya. Hanya tambang baja itulah yang menjadi akses ke dunia luar.
Petualang Jerman,Alexander von Humboldt, merupakan orang yang pertama kali menemukan sistem transportasi dengan kawat baja seperti itu pada 1804. Dulu, talinya bukan dibuat dari kawat baja namun dibuat dari jerami. Tetapi, kini telah ada kawat baja yang lebih kuat dan lebih aman. Mora biasa berangkat sekolah bersama adiknya, Jamid, yang masih kecil. Jamid ditemani Mora yang duduk bersamanya di karung goni yang tergantung di kawat baja. Mora yang mengatur kecepatan peluncuran mereka dengan kayu berbentuk garpu.
Hingga saat ini, cara transportasi dengan kawat baja itu paling populer di wilayah itu.Para petani memanfaatkan cara tersebut untuk mengirimkan hasil pertanian ke kota terdekat. Bagi para petani di sana,kawat baja telah menjadi roda penggerak ekonomi keluarga mereka. Bagi Mora,Jamid,dan para pelajar sekolah di sana, kawat baja membantu mereka meraih mimpi-mimpinya. (DM/andika hm)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/312537/
Komentar