Ma Jun, Antisuap dan Berani Mengkritik Pemerintah
Ma Jun bukan hanya mengkritisi kerusakan lingkungan di China, tetapi juga berusaha memerangi para pengotor lingkungan.
CHINA dikenal sebagai negara yang mengekang perbedaan pendapat dengan kebijakan pemerintah. Bukan hanya perjuangan penegakan hak asasi manusia semata, tetapi kepedulian dan perjuangan terhadap lingkungan yang makin rusak juga merupakan hal yang tabu.
Ma Jun,40,berusaha melawan tabu itu dengan mengkritisi dan memberi solusi permasalahan lingkungan. Melalui buku berjudul Krisis Air di China, Ma berhasil merangkum semua kehancuran lingkungan di negaranya.
Selain menulis buku,dia berjuang dengan mendirikan organisasi nonpemerintah yang diberi nama Institut Hubungan Publik dan Lingkungan (IPE). IPE menjadi sebuah organisasi yang mengampanyekan kepedulian lingkungan kepada para pengusaha dan masyarakat luas.
Bahkan,mereka berusaha meyakinkan pemerintah untuk menegakkan hukum bagi para perusak lingkungan.“Kampanye ke-pedulian lingkungan bukan hanya untuk masyarakat semata, tetapi para pejabat pemerintahan juga menjadi target utama,”ujar Ma. Ma mengungkapkan, seluruh warga China harus mengerti kondisi lingkungan sebenarnya.
Negeri Tirai Bambu tersebut telah diperintah dengan gaya top-down selama puluhan ribu tahun dari jaman kekaisaran hingga komunis berkuasa.“ Anda tahu apa yang harus dilakukan dengan cara yang berbeda? Kita harus bersabar,” katanya, seperti dikutip AFP. Satu hal yang pasti, tidak ada lagi yang meragukan krisis lingkungan di China.
Selama berabad-abad, hutan di China semakin gundul, sungai-sungai semakin mengering, dan pertanian pun semakin tergusur karena perkembangan industri. China harus membayar mahal pertumbuhan ekonomi yang melejit pesat selama 30 tahun terakhir dengan krisis lingkungan yang makin parah.
China pun menjadi negara industri yang paling tinggi tingkat polusinya. Data IPE menunjukkan bahwa 60% sungai-sungai dan danau di China telah terkontaminasi limbah-limbah beracun.Gurun pasir semakin meluas di China bagian utara. Hujan debu pun semakin mengganggu aktivitas masyarakat di beberapa belahan China. Bank Dunia menyatakan, 20 dari 30 kota paling kotor di dunia berada di China.
Xinhua melaporkan terdapat 50.000 kasus pencemaran lingkungan pada 2005. Anehnya,Pemerintah China belum optimal menggelar langkah-langkah penyelamatan. Padahal, fakta-fakta kerusakan lingkungan tidak dapat disangkal. Meskipun mendapatkan halangan dan rintangan, Ma pantang menyerah untuk mendorong perubahan pendekatan dalam menangani kerusakan lingkungan.
“Jika tidak ada perubahan, seluruh daratan China akan benar-benar rusak parah,” ungkap Ma.Bank Dunia memperkirakan nilai polusi air dan udara senilai 5,8% dari pendapatan nasional China. Karena itu, China disarankan mengubah pendekatan dalam penegakan hukum pada kasus kerusakan lingkungan.
Kebijakan penanaman hutan kembali menjadi target. Atas jerih payah Ma dalam memperjuangkan penanganan krisis lingkungan,dia menjadi satu dari 100 orang paling berpengaruh versi majalah TIME pada 2006. Ma dinilai layak sebagai pahlawan lingkungan China sebelum banyak orang memedulikan krisis lingkungan.
“Partisipasi publik merupakan kunci dalam menghadapi permasalahan lingkungan,” tandas pria yang pernah kuliah di Universitas Yale pada 2004. Namun, Ma bukannya tidak mendapatkan ganjalan, apalagi setelah dia mengumumkan 30.000 perusahaan yang memiliki kontribusi terhadap pencemaran lingkungan baik air dan udara.
Meski demikian, tetap saja para pengusaha dan pejabat lokal menyambutnya sinis. “Ada beberapa kasus ekstrem yang menyedihkan. Meskipun perusahaan yang terbukti merusak lingkungan, tetap saja dinyatakan baik-baik saja. Jelas itu merupakan kejadian yang menjemukan,” papar Ma.
“Awalnya, saya berpikir para pejabat akan menegakkan aturan dengan tegas, tetapi kenyataannya tidak.” Dugaan suap kepada pejabat pemerintah pun diungkapkan Ma.Suap merupakan suatu cara untuk memudahkan segala urusan.“Suap juga telah menjadi tradisi China dalam segala cara,” kata Ma.
Bahkan, walaupun bukan sebagai pejabat pemerintahan, dia sering ditawari suap oleh berbagai pihak. Wajar jika suap menghampirinya karena sebagian besar sasaran tudingan Ma sebagai pelaku perusakan lingkungan adalah perusahaan besar.Meski demikian,Ma menolak semua bentuk suap tersebut.
Ma dilahirkan di Qingdao, sebuah kota di pantai timur China. Dia tumbuh kembang di Beijing.Ayahnya seorang teknisi pesawat luar angkasa, mendorongnya untuk belajar bahasa Inggris dari salah satu program radio. Kemudian, dia belajar bahasa Inggris dan jurnalistik sebelum menjadi jurnalis di South China Morning Post.
Dia pernah keliling China dan menyaksikan pertumbuhan pesat ekonomi China.Hasil pengamatan dan kajiannya dituangkan dalam sebuah buku berjudul China’s Water Crisis (Zhongguo shui weiji) yang diterbitkan pada 1999. Ma melihat adanya ketidakcocokan antara versi ideal negara yang kaya hasil alam seperti dalam bukubuku pelajaran sekolah dengan kenyataan yang ada.
Ma pun menemukan sesuatu fakta langsung di lapangan dan tidak terdapat di dalam buku. Menurut Mark O’Neil, teman kampus Ma pada 1990, buku tersebut merupakan sumber ilmu pengetahuan yang mengagumkan. Buku bertajuk “Krisis Air di China” disamakan dengan buku “Silent Spring” karangan Rachel Carson yang diterbitkan pada 1962.
“Baik Ma maupun Rachel menuangkan kritik dan saran dalam gerakan peduli lingkungan di negaranya masing-masing,” papar O’Neil. Dalam pandangan O’Neil, Ma merupakan seorang sosok aktivis lingkungan yang patut dicontoh.Kenapa? “Dia (Ma) mampu menggunakan segala cara untuk memperjuangkan idealismenya, tanpa harus ditangkap polisi dan dipenjara seperti kebanyakan aktivis China lainnya, ”paparnya.
Itu karena Ma memiliki kecerdasan yang tinggi. Tahun lalu, Ma meluncurkan Program Aliansi Pilihan Hijau yang mengajak perusahaan- perusahaan untuk berkomitmen mematuhi peraturan pemerintah dalam bidang lingkungan.
Selain itu, program tersebut mengajak perusahaan-perusahaan agar tidak membeli barang dari supplier yang melanggar regulasi lingkungan. (andika hendra mustaqim)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/214244/
CHINA dikenal sebagai negara yang mengekang perbedaan pendapat dengan kebijakan pemerintah. Bukan hanya perjuangan penegakan hak asasi manusia semata, tetapi kepedulian dan perjuangan terhadap lingkungan yang makin rusak juga merupakan hal yang tabu.
Ma Jun,40,berusaha melawan tabu itu dengan mengkritisi dan memberi solusi permasalahan lingkungan. Melalui buku berjudul Krisis Air di China, Ma berhasil merangkum semua kehancuran lingkungan di negaranya.
Selain menulis buku,dia berjuang dengan mendirikan organisasi nonpemerintah yang diberi nama Institut Hubungan Publik dan Lingkungan (IPE). IPE menjadi sebuah organisasi yang mengampanyekan kepedulian lingkungan kepada para pengusaha dan masyarakat luas.
Bahkan,mereka berusaha meyakinkan pemerintah untuk menegakkan hukum bagi para perusak lingkungan.“Kampanye ke-pedulian lingkungan bukan hanya untuk masyarakat semata, tetapi para pejabat pemerintahan juga menjadi target utama,”ujar Ma. Ma mengungkapkan, seluruh warga China harus mengerti kondisi lingkungan sebenarnya.
Negeri Tirai Bambu tersebut telah diperintah dengan gaya top-down selama puluhan ribu tahun dari jaman kekaisaran hingga komunis berkuasa.“ Anda tahu apa yang harus dilakukan dengan cara yang berbeda? Kita harus bersabar,” katanya, seperti dikutip AFP. Satu hal yang pasti, tidak ada lagi yang meragukan krisis lingkungan di China.
Selama berabad-abad, hutan di China semakin gundul, sungai-sungai semakin mengering, dan pertanian pun semakin tergusur karena perkembangan industri. China harus membayar mahal pertumbuhan ekonomi yang melejit pesat selama 30 tahun terakhir dengan krisis lingkungan yang makin parah.
China pun menjadi negara industri yang paling tinggi tingkat polusinya. Data IPE menunjukkan bahwa 60% sungai-sungai dan danau di China telah terkontaminasi limbah-limbah beracun.Gurun pasir semakin meluas di China bagian utara. Hujan debu pun semakin mengganggu aktivitas masyarakat di beberapa belahan China. Bank Dunia menyatakan, 20 dari 30 kota paling kotor di dunia berada di China.
Xinhua melaporkan terdapat 50.000 kasus pencemaran lingkungan pada 2005. Anehnya,Pemerintah China belum optimal menggelar langkah-langkah penyelamatan. Padahal, fakta-fakta kerusakan lingkungan tidak dapat disangkal. Meskipun mendapatkan halangan dan rintangan, Ma pantang menyerah untuk mendorong perubahan pendekatan dalam menangani kerusakan lingkungan.
“Jika tidak ada perubahan, seluruh daratan China akan benar-benar rusak parah,” ungkap Ma.Bank Dunia memperkirakan nilai polusi air dan udara senilai 5,8% dari pendapatan nasional China. Karena itu, China disarankan mengubah pendekatan dalam penegakan hukum pada kasus kerusakan lingkungan.
Kebijakan penanaman hutan kembali menjadi target. Atas jerih payah Ma dalam memperjuangkan penanganan krisis lingkungan,dia menjadi satu dari 100 orang paling berpengaruh versi majalah TIME pada 2006. Ma dinilai layak sebagai pahlawan lingkungan China sebelum banyak orang memedulikan krisis lingkungan.
“Partisipasi publik merupakan kunci dalam menghadapi permasalahan lingkungan,” tandas pria yang pernah kuliah di Universitas Yale pada 2004. Namun, Ma bukannya tidak mendapatkan ganjalan, apalagi setelah dia mengumumkan 30.000 perusahaan yang memiliki kontribusi terhadap pencemaran lingkungan baik air dan udara.
Meski demikian, tetap saja para pengusaha dan pejabat lokal menyambutnya sinis. “Ada beberapa kasus ekstrem yang menyedihkan. Meskipun perusahaan yang terbukti merusak lingkungan, tetap saja dinyatakan baik-baik saja. Jelas itu merupakan kejadian yang menjemukan,” papar Ma.
“Awalnya, saya berpikir para pejabat akan menegakkan aturan dengan tegas, tetapi kenyataannya tidak.” Dugaan suap kepada pejabat pemerintah pun diungkapkan Ma.Suap merupakan suatu cara untuk memudahkan segala urusan.“Suap juga telah menjadi tradisi China dalam segala cara,” kata Ma.
Bahkan, walaupun bukan sebagai pejabat pemerintahan, dia sering ditawari suap oleh berbagai pihak. Wajar jika suap menghampirinya karena sebagian besar sasaran tudingan Ma sebagai pelaku perusakan lingkungan adalah perusahaan besar.Meski demikian,Ma menolak semua bentuk suap tersebut.
Ma dilahirkan di Qingdao, sebuah kota di pantai timur China. Dia tumbuh kembang di Beijing.Ayahnya seorang teknisi pesawat luar angkasa, mendorongnya untuk belajar bahasa Inggris dari salah satu program radio. Kemudian, dia belajar bahasa Inggris dan jurnalistik sebelum menjadi jurnalis di South China Morning Post.
Dia pernah keliling China dan menyaksikan pertumbuhan pesat ekonomi China.Hasil pengamatan dan kajiannya dituangkan dalam sebuah buku berjudul China’s Water Crisis (Zhongguo shui weiji) yang diterbitkan pada 1999. Ma melihat adanya ketidakcocokan antara versi ideal negara yang kaya hasil alam seperti dalam bukubuku pelajaran sekolah dengan kenyataan yang ada.
Ma pun menemukan sesuatu fakta langsung di lapangan dan tidak terdapat di dalam buku. Menurut Mark O’Neil, teman kampus Ma pada 1990, buku tersebut merupakan sumber ilmu pengetahuan yang mengagumkan. Buku bertajuk “Krisis Air di China” disamakan dengan buku “Silent Spring” karangan Rachel Carson yang diterbitkan pada 1962.
“Baik Ma maupun Rachel menuangkan kritik dan saran dalam gerakan peduli lingkungan di negaranya masing-masing,” papar O’Neil. Dalam pandangan O’Neil, Ma merupakan seorang sosok aktivis lingkungan yang patut dicontoh.Kenapa? “Dia (Ma) mampu menggunakan segala cara untuk memperjuangkan idealismenya, tanpa harus ditangkap polisi dan dipenjara seperti kebanyakan aktivis China lainnya, ”paparnya.
Itu karena Ma memiliki kecerdasan yang tinggi. Tahun lalu, Ma meluncurkan Program Aliansi Pilihan Hijau yang mengajak perusahaan- perusahaan untuk berkomitmen mematuhi peraturan pemerintah dalam bidang lingkungan.
Selain itu, program tersebut mengajak perusahaan-perusahaan agar tidak membeli barang dari supplier yang melanggar regulasi lingkungan. (andika hendra mustaqim)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/214244/
Komentar