Rajaa al- Sanea, Membongkar Tabu dan Mitos Perempuan Arab

Dokter muda yang cantik dan cerdas menjadi citra yang melekat pada sosok Rajaa al- Sanea.Dunia mengakui kehebatannya.

TAK ada yang membayangkan, gadis berkerudung itu merupakan penulis kontroversial di negaranya, Arab Saudi.Walaupun baru menelurkan satu karya, Banat al- Riyadh atau The Girls of Riyadh, Rajaa dikenal dunia internasional sebagai penulis berbakat.

Pada Festival Sastra Internasional di Dubai,27 Februari lalu,dia menjadi satu dari 60 penulis yang menjadi pembicara dalam sesi dialog dan seminar internasional. Keterlibatannya pada festival itu merupakan ajang unjuk diri bagi Rajaa di mata para novelis kawakan Arab yang didominasi kaum pria. Dia seperti ingin menunjukkan pada dunia bahwa novelis perempuan punya kualitas dan tidak cengeng.

Novel Banat al-Riyadh berkisah tentang pengalaman cinta empat gadis dari kalangan strata ekonomi atas di Arab Saudi. Empat gadis itu, Qamrah, Michelle, Shedim, dan Lumais, sering berkumpul dan saling berbagi cerita di rumah Ummy Nuwair, se- orang wanita yang ditinggalkan suaminya. Mereka saling berbagi cerita dan mendukung satu sama lain meski terkadang berbeda pendapat. Problematika mulai muncul ketika timbul beragam masalah, dari urusan cinta, pencampakan, putus asa hingga mempunyai anak tanpa ayah.

Sebuah cerita yang menyentuh hati dan menawarkan makna di belakang sebuah peradaban Arab Saudi. ”Saya bangga dengan novel Banat al-Riyadh,” ungkap perempuan berusia 28 tahun itu. ”Saya juga telah memprediksi sebelumnya bahwa kandungan cerita itu bakal mengundang kontroversi.Tapi,saya berharap, itu tidak berkepanjangan,” imbuhnya seperti dikutip dari ArabNews. Kesuksesan novel tersebut bisa dilihat dari penerjemahan ke puluhan bahasa pascaterbit September 2005.

Novel tersebut sempat masuk dalam jajaran buku laris di Timur Tengah. Novel itu mengalir dalam cerita dari satu bab ke bab lain. Bahasa yang digunakan Rajaa mampu menggugah para pembacanya.”Awalnya, saya menulis beberapa bab novel itu dengan gaya cerita klasik Arab. Namun, saya mengubahnya kemudian karena cerita klasik tidak tepat untuk menceritakan kisah para gadis.

Hingga akhirnya saya menulis dengan menggunakan bahasa percakapan untuk menjalin komunikasi dengan pembaca,” paparnya. Ketika disinggung motivasi menulis novel, Rajaa mengungkapkan dirinya memang menyukai dunia tulismenulis. Baginya,menulis itu sama seperti menyanyi dan melukis.Menulis merupakan sebuah seni besar. ”Saya tidak yakin jika seseorang memberikan sebuah alasan untuk menulis atau melukis. Karena alasannya adalah seni,”katanya.

Rajaa juga tidak menganggap bahwa novelnya itu merupakan sebuah propaganda yang memengaruhi citra dari sebuah realitas pada pembaca. Dia juga menganggap dirinya bukan sebagai penghasut, tetapi sebagai penulis. ”Saya hanya anggota sebuah masyarakat yang memberikan pada pembaca mengenai sebuah kesempatan melalui pintu kecil dan berbagi mengenai sebuah kisah,”paparnya.

Dengan berpegang pada idealismenya, dia pun percaya bahwa sebuah cerita dapat ditulis dengan aspekaspek yang berbeda untuk menggapai ide dan menuangkannya dalam sebuah tulisan. Dalam novelnya, Rajaa ingin menceritakan banyaknya pembatasan bagi seorang perempuan di Arab Saudi. ”Kita tinggal di abad ke-21, tapi di sana masih memegang prinsip-prinsip abad ke-19,” keluhnya. Dia menceritakan, di negaranya warga mampu mengakses internet dan memberikan toleransi mengenai kebebasan berpendapat. Fasilitas kesehatan dan sekolah modern pun lengkap.

”Tapi,kamu akan merasakan semuanya menjadi tak ada manfaatnya ketika kamu menikah,”paparnya. Dia mengaku, menjadi tugasnya sebagai warga Saudi untuk mencoba mengingatkan kesalahan-kesalahan itu. ”Saya tidak berusaha untuk memperbaiki pemerintahan. Saya hanya mencoba untuk mengubah atau minimal memengaruhi mentalitas dan cara pandang rakyat Saudi. Saya percaya tradisi itu bisa diubah,” imbuhnya. Menurut dia, apa yang dikritiknya bukanlah syariah Islam, melainkan tradisi. ”Saya berpegang teguh pada agama Islam.

Dia mengungkapkan, banyak tradisi rakyat Saudi yang bukan berpegang teguh pada syariah Islam.” Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan harian Asharq al-Awsat, dia ingin menyibak mitos bahwa kehidupan perempuan Arab itu tertutup. Dia menilai bahwa pria Saudi merupakan sebuah produk utama dari masyarakat yang konservatif. Tapi dia mengaku bukan pembenci kaum pria. Rajaa tetap menyebut perempuan Saudi hanya menjadi sebuah produk sampingan dalam masyarakat. (andika hendra mustaqim)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/217639/

Komentar

Unknown mengatakan…
kalo boleh tau beritanya dapat dari mana ?

Postingan populer dari blog ini

Inovasi Belanda Tak Terpisahkan dari Bangsa Indonesia

Belajar Inovasi dari (di) Belanda

Ingin Bertemu Para Penemu “Kotak Ajaib” dari Belanda